Mencermati Pergeseran Pola Migrasi
Perubahan demografi seperti pergeseran pola migrasi di Indonesia perlu direspons dengan penyesuaian perencanaan pembangunan dan pelayanan publik yang tepat. Ketersediaan dan pemanfaatan data migrasi jadi sangat penting.
Liputan utama Kompas selama dua hari berturut-turut, Kamis-Jumat (4-5/5/2023), mengangkat tema menarik tentang migrasi. Diungkapkan, dalam sepuluh tahun terakhir terjadi pergeseran pola migrasi risen, di mana kota utama tidak lagi jadi tujuan migrasi, tetapi kota penyangga.
Dalam demografi, migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif dengan tujuan menetap. Migrasi bersama dengan angka kelahiran dan kematian memengaruhi jumlah, struktur, dan persebaran penduduk suatu wilayah. Dalam liputannya, Kompas membahas migrasi risen di mana seseorang dianggap migran risen jika tempat tinggal saat dicacah berbeda dengan lima tahun sebelumnya.
Pengolahan data Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan daerah tujuan migrasi sejak 2013 hingga 2022 didominasi daerah penyangga di wilayah metropolitan. Selama sepuluh tahun terakhir, wilayah administratif DKI Jakarta tidak menjadi tujuan utama migrasi, tetapi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Bahkan, periode 2017-2022, penduduk DKI berkurang 5,75 persen akibat migrasi.
Baca juga: Jakarta Bukan Lagi Tujuan Migrasi
Data long form Sensus Penduduk 2020 memperlihatkan, selain DKI Jakarta, Papua dan Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan angka migrasi neto risen terendah di Indonesia, bernilai negatif—yang berarti migran keluar lebih banyak daripada migran masuk selama 2017–2022. Ini berbeda dengan kondisi 1990-2010, di mana migrasi keluar paling banyak dialami Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Tahun 2022, Kota Depok dan Deli Serdang menjadi daerah dengan jumlah migrasi risen tertinggi di Indonesia. Sidoarjo daerah dengan jumlah migran risen tertinggi di wilayah metropolitan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan.
Menarik dicermati bahwa daerah pengirim migran umumnya daerah tetangga. Sebagai contoh, migrasi masuk terbesar ke Depok berasal dari Jakarta Selatan. Migrasi masuk ke Kota Bogor mayoritas dari Kabupaten Bogor. Migrasi masuk ke Kabupaten Sidoarjo didominasi penduduk asal Kota Surabaya. Kabupaten Gresik juga menerima banyak migran masuk dari Kota Surabaya.
Hampir 90 persen migrasi masuk ke Kabupaten Deli Serdang berasal dari Kota Medan, sebagian kecil sisanya dari Aceh Singkil, Lahat, dan Asahan. Di wilayah metropolitan Makassar, Maros, Sungguminasa, serta Takalar, Gowa dan Maros memiliki migran risen tertinggi, 70 persen di antaranya berasal dari Kota Makassar. Fakta ini terjadi di hampir seluruh wilayah metropolitan.
Migrasi internal di negara lain
Badan Migrasi PBB memperkirakan migrasi penduduk global mencapai 1,044 miliar jiwa (2020). Rinciannya, 281 juta jiwa melakukan migrasi internasional dan sisanya 763 juta jiwa migrasi internal (dalam negara). Satu dari tujuh penduduk dunia adalah migran dan lebih dari 73 persen pelaku migrasi berusia produktif.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (2013) menjelaskan, migrasi erat kaitannya dengan kesejahteraan. Migrasi penduduk dari desa ke kota berdampak signifikan bagi penurunan angka kemiskinan. Perpindahan penduduk dari sektor pertanian ke non-pertanian menghasilkan nilai tambah dan kesejahteraan lebih baik. Namun, pola migrasi di sejumlah negara mulai berubah.
Dari yang awalnya perpindahan penduduk perdesaan ke perkotaan menjadi perkotaan ke perkotaan, mengikuti perubahan struktur ekonomi dan tingkat urbanisasi. Semakin tinggi proporsi penduduk perkotaan suatu negara, makin dominan migrasi perkotaan ke perkotaan.
Kita bisa belajar dari pola migrasi di Jepang dan negara-negara Amerika Latin. Di awal 1950-an, migrasi internal di Jepang terjadi dari perdesaan menuju kota utama di wilayah metropolitan, seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya. Angka migrasi mengalami puncak pada 1972 dan perlahan turun hingga 2020. Pola migrasi perlahan berubah dari perdesaan ke perkotaan dengan jarak relatif jauh, menjadi migrasi berjarak dekat, antarkota dalam satu metropolitan. Selama 60 tahun terakhir, pola migrasi di Jepang cenderung berubah dari rural to urban menjadi urban to urban migration, sesuai temuan Yoshitaka Ishikawa (2020).
Perpindahan penduduk dari sektor pertanian ke non-pertanian menghasilkan nilai tambah dan kesejahteraan lebih baik. Namun, pola migrasi di sejumlah negara mulai berubah.
Penelitian Rodriguez-Vignoli dan Rowe (2018) menunjukkan bahwa pola migrasi di Amerika Latin berubah dari rural to urban migration menjadi urban to urban migration, mengikuti perubahan struktur ekonomi yang awalnya didominasi sektor pertanian menjadi industri dan jasa. Urbanisasi terus terjadi, seiring bertambahnya jumlah penduduk di kota kecil dan sedang, pola migrasi didominasi antarwilayah perkotaan.
Data migrasi
Tentu butuh penelitian khusus untuk menganalisis pergeseran pola migrasi internal di Indonesia. Namun, data menunjukkan migrasi di Indonesia saat ini cenderung didominasi pola urban to urban migration, dalam jarak pendek, melibatkan perpindahan penduduk antardaerah di wilayah metropolitan yang sama.
Apa dugaan penyebab fenomena ini? Pertama, perlu dipahami bahwa semua wilayah penyangga menjadi satu kesatuan wilayah ekonomi kota inti metropolitan. DKI Jakarta secara administratif lebih kecil wilayahnya daripada secara ekonomi yang mencakup keseluruhan metropolitan Jabodetabek. Dengan demikian, meski terjadi pergeseran daerah tujuan migrasi secara administratif, daerah tujuan ekonominya masih sama. Ini menunjukkan motif ekonomi menjadi alasan utama migrasi penduduk, dibandingkan dengan alasan lain, seperti pendidikan dan keluarga.
Kedua, urban to urban migration terkait perkembangan ekonomi dan pembangunan permukiman di wilayah penyangga. Data migrasi mengacu pada tempat tinggal, bukan tempat kerja, jelas migrasi mencerminkan perubahan pola tempat tinggal menurut wilayah.
Besarnya migrasi internal dalam wilayah metropolitan dapat dianalisis dengan gravity model of migration. Arus migrasi ditentukan besarnya kekuatan ekonomi dan jarak antarwilayah. Aktivitas ekonomi yang membesar di wilayah penyangga akan menarik pendatang.
Di saat bersamaan, akses transportasi antardaerah dalam wilayah metropolitan membaik, menurunkan biaya transportasi dan menarik penduduk daerah lain yang berdekatan secara jarak. Harga tanah mahal di kota inti juga berdampak pada mahalnya biaya hidup, mendorong mobilitas penduduk ke kota penyangga dengan biaya hidup lebih murah.
Pergeseran pola migrasi di Indonesia tampak serupa dengan yang terjadi di Jepang dan negara-negara Amerika Latin. Meningkatnya aktivitas ekonomi nonpertanian, diikuti peningkatan proporsi penduduk perkotaan (urbanisasi), mengubah pola migrasi dari sebelumnya rural to urban menjadi urban to urban.
Baca juga: Daerah Tujuan Migrasi Menyimpan Banyak Masalah
Tren penurunan angka kelahiran dan kematian akan menyebabkan migrasi menjadi faktor utama perubahan demografi di Indonesia. Perubahan demografi perlu direspons dengan penyesuaian perencanaan pembangunan yang tepat. Pelayanan publik, seperti transportasi, pendidikan, kesehatan, ataupun perumahan dan persebaran spasial tenaga kerja, harus mengikuti perubahan demografi. Ketersediaan dan pemanfaatan data migrasi menjadi sangat penting.
Tantangannya, tak ada survei khusus migrasi dan pemanfaatan data migrasi masih terbatas. Berbeda dengan peristiwa kelahiran dan kematian yang hanya terjadi sekali, migrasi adalah peristiwa kependudukan yang dapat berulang.
Perlu strategi untuk membangun data migrasi yang lebih baik. Pertama, dengan memperkuat administrasi kependudukan melalui tertib pencatatan perpindahan penduduk. Migrasi adalah peristiwa kependudukan yang harus dilaporkan karena berakibat pada perubahan dokumen kependudukan. Dibutuhkan mekanisme insentif bagi migran agar melaporkan perpindahan secara sukarela.
Kedua, dengan survei rumah tangga, khusus migrasi. Tujuannya untuk mengestimasi secara akurat jumlah dan arah migrasi serta karakteristik migran. Untuk migrasi ulang-alik dan sirkuler, kita bisa memanfaatkan big data dari telepon seluler ataupun media sosial. Bermodal data migrasi penduduk yang lengkap dan akurat, Indonesia bisa menyusun matriks origin–destination migrasi penduduk antardaerah. Jika terwujud, niscaya kinerja pembangunan nasional dan regional lebih optimal, adaptif terhadap setiap perubahan demografi.
Sonny Harry B Harmadi, Ketua Pokja Statistik Sosial FMS, Ketua Umum KKI, Pengajar Ekonomi dan Demografi di ITS