Politik luar negeri Indonesia perlu mengembalikan fungsi diplomasi multilateral sebagai sarana memainkan peran kepemimpinan Indonesia di kancah regional dan global.
Oleh
MOHAMAD ROSYIDIN
·2 menit baca
Dalam pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemilihan Labuan Bajo sebagai tempat penyelenggaran acara tersebut adalah untuk ”me-marketing-i Labuan Bajo sehingga semua dunia tahu di Indonesia ada yang namanya Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur” (Sekretariat Kabinet, 2023). Pernyataan secara eksplisit mencerminkan upaya pemerintah mempromosikan potensi pariwisata nasional, terutama Labuan Bajo yang sejak 2022 ditetapkan sebagai salah satu dari lima destinasi pariwisata superprioritas (DPSP).
Indonesia biasa memanfaatkan momen keketuaan di forum-forum multilateral untuk mempromosikan kekayaan budaya maupun potensi wisata. Presidensi G20 Indonesia pada 2022, misalnya, telah meninggalkan kesan kuat kecenderungan tersebut. Sebagai tuan rumah, Indonesia menyelenggarakan acara jamuan makan malam yang sangat spektakuler dengan suguhan tari-tarian dan nyanyian lagu Nusantara. Hal itu diakui banyak pihak sebagai bukti keberhasilan Indonesia menjalankan Keketuaan G20.
Diplomasi multilateral pada dasarnya adalah forum para pemimpin dunia bertemu untuk mendiskusikan dan mencari kesepakatan tentang isu-isu krusial di tingkat global. Artinya, multilateralisme memfokuskan kepada upaya mencari pemecahan masalah atas pelbagai krisis yang berdampak kepada kepentingan seluruh umat manusia. Kishore Mahbubani (dalam Cooper, Heine and Thakur, 2013) menyebut diplomasi multilateral sebagai parliament of man, yakni representasi dari aspirasi umat manusia menyangkut tantangan-tantangan global.
Di banyak literatur kajian hubungan internasional, fungsi pokok diplomasi multilateral adalah sebagai instrumen pencipta norma (norms setter) demi terselenggaranya tata kelola global yang berlandaskan prinsip-prinsip perdamaian, kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan. Kendati setiap negara peserta membawa kepentingan nasionalnya masing-masing, namun kepentingan itu secara normatif tidak semestinya mendahului kepentingan global.
Bagi Indonesia, khususnya di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, multilateralisme memainkan peran penting sebagai instrumen kepentingan nasional. Di bawah payung gagasan diplomasi pro-rakyat, diplomasi multilateral Indonesia diorientasikan untuk mencapai tujuan-tujuan yang berdampak konkret bagi kepentingan masyarakat Indonesia. Frasa membumikan multilateralisme lantas menjadi panduan kebijakan luar negeri Indonesia (Djumala, 2018).
Pemikiran bahwa diplomasi multilateral harus semaksimal mungkin memberikan manfaat konkret bagi rakyat mencerminkan pragmatisme politik luar negeri Indonesia. Indonesia kerap memanfaatkan forum-forum multilateral untuk melakukan pertemuan bilateral dengan para delegasi. Tujuannya untuk menjajaki kerja sama di sektor-sektor yang dianggap strategis dan bisa ditindaklanjuti. Kesuksesan diplomasi multilateral diukur dari seberapa banyak kesepakatan bilateral yang dicapai dengan nilai nominal tertentu.
Indonesia kerap memanfaatkan forum-forum multilateral untuk melakukan pertemuan bilateral dengan para delegasi.
Tentu saja, kita tidak menutup mata dari fakta komitmen Indonesia terhadap multilateralisme. Di KTT Ke-34 ASEAN di Thailand pada 2019, misalnya, Indonesia menginisiasi gagasan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific dan disepakati oleh seluruh negara anggota. Menyusul aksi kudeta militer di Myanmar pada 2021, Indonesia juga menginisiasi KTT ASEAN di Jakarta yang menghasilkan Lima Poin Konsensus ASEAN mengenai Myanmar.
Kontribusi ini patut diapresiasi. Namun, komitmen tersebut tetap tidak menghapus landasan pragmatisme politik luar negeri Indonesia di forum multilateral. Untuk menanggapi kritik sebagian publik yang menyatakan G20 tidak memberikan manfaat konkret bagi rakyat, pemerintah berusaha meyakinkan bahwa momen keketuaan Indonesia di G20 akan menghasilkan pemasukan lebih dari Rp 1,4 triliun (Kementerian Luar Negeri, 2022). Di KTT ASEAN Labuan Bajo 2023, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga meyakinkan publik bahwa pemerintah memastikan penyelenggaraan KTT tersebut akan mendorong kebangkitan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja.
Peran kepemimpinan
Menjadikan diplomasi multilateral sebagai sarana meraih tujuan-tujuan jangka pendek seperti itu di satu sisi bisa dipandang sebagai langkah kreatif pemerintah untuk mendapatkan keuntungan material. Akan tetapi di sisi lain, pragmatisme yang berlebihan akan memberikan konsekuensi negatif bagi postur diplomasi Indonesia. Pragmatisme dapat menghambat jalan Indonesia menjadi kekuatan global abad ke-21.
Melalui forum-forum multilateral, Indonesia diharapkan mampu memainkan peran kepemimpinan, terutama dalam mengkooptasi negara-negara menyangkut isu tertentu. Hal ini penting sebab sebagai salah satu kekuatan menengah (middle power) yang perannya semakin dipandang penting oleh dunia, Indonesia dituntut turut memikul tanggung jawab menyelesaikan pelbagai permasalahan global. Indonesia harus mampu menjadi aktor global yang bertanggung jawab (responsible stakeholder).
Diplomasi multilateral Indonesia semestinya diorientasikan lebih kepada upaya membangun reputasi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang dapat diandalkan ketimbang terobsesi dengan tujuan-tujuan jangka pendek. Dalam hubungan antarnegara, reputasi sama pentingnya dengan mengejar keuntungan material, misalnya kesepakatan investasi atau bantuan finansial. Reputasi merupakan modal sosial (social capital) karena di dalamnya mengandung nilai-nilai kepercayaan pihak lain dan menentukan bagaimana pola relasi antarnegara akan terjalin di kemudian hari (Mercer, 1996).
Ke depan, politik luar negeri Indonesia perlu mengembalikan fungsi diplomasi multilateral sebagai sarana memainkan peran kepemimpinan Indonesia, baik di kancah regional maupun global. Hal ini tidak berarti menghilangkan sama sekali upaya mengais remah-remah keuntungan dari penyelenggaran event internasional. Namun begitu, pemerintah hendaknya tidak menjadikan tujuan pragmatis itu sebagai prioritas. Dengan kata lain, Indonesia perlu memperlakukan kepentingan internasional yang diperjuangkan dalam forum multilateral sebagai bagian dari kepentingan nasional.
Menjadi tuan rumah penyelenggaran diplomasi multilateral hendaknya juga tidak sekadar menunjukkan kehebatan Indonesia dalam urusan teknis acara. Diplomasi event organizer semacam ini tak akan berkontribusi bagi pembangunan postur politik luar negeri yang berwibawa. Mengukur keberhasilan diplomasi multilateral dari kesan mendalam para delegasi terhadap prosesi penyelenggarana acara adalah gagasan artifisial. Alih-alih, layaknya konduktor dalam sebuah orkestra, diplomasi multilateral Indonesia harus mampu mengatur harmonisasi di tengah perbedaan kepentingan negara-negara tanpa memaksakan keinginannya.