Menguji Kepemimpinan Global RI
Tantangan yang dihadapi dunia saat ini sangat beragam dan kompleks. Adakah peluang bersejarah bagi kepemimpinan global Indonesia untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian dunia dalam tantangan kompleksitas global itu?
Pidato tahunan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada 6 Januari 2022 menggambarkan, posisi diplomatik Indonesia kian diperhitungkan di pentas politik, ekonomi, dan geostrategis global.
Ditinjau dari perspektif outward looking, presidensi Jakarta pada panggung elite negara-negara terkuat dunia di forum G20 pada 2022 serta keketuaan ASEAN di 2023 adalah suatu langkah strategis dan memiliki peran sangat dominan, khususnya di masa-masa pandemi Covid-19 kini, dan terlebih di kala dampak perang Rusia-Ukraina telah berkembang jadi diskursus politik dan ekonomi global.
Sementara dari perspektif inward looking, rangkaian kepemimpinan Indonesia—dimulai dari keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB periode 2019-2020, terpilihnya Menlu RI sebagai co-chair (pimpinan) Covid-19 Vaccines Global Access (Covax) Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group pada 2021, hingga kepemimpinan agenda G20 dan ASEAN secara estafet pada dua tahun mendatang—adalah pencapaian dan keberhasilan monumental dalam tonggak sejarah diplomasi politik luar negeri Indonesia pada abad ke 21.
Tantangan yang dihadapi dunia saat ini sangat beragam dan kompleks, diwarnai oleh sejumlah agenda kelompok kepentingan ( interest group).
Tantangan yang dihadapi dunia saat ini sangat beragam dan kompleks, diwarnai oleh sejumlah agenda kelompok kepentingan (interest group). Sistem ketahanan kesehatan global (global health resilience system), pemulihan ekonomi dunia, reformasi struktural tatanan global, tensi militer yang terus meningkat di kawasan Indo-Pasifik, serta bayang-bayang kekhawatiran terjadinya Perang Dunia III menjadi wacana tak terelakkan dalam menata ulang kenormalan baru (new normal) masa depan dunia.
Lantas, adakah peluang bagi kepemimpinan global Indonesia untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian dunia dalam tantangan kompleksitas global itu sehingga dapat disebut sebagai historical milestone dalam sejarah politik luar negeri Indonesia modern?
Kompleksitas global
Kompleksitas politik global saat ini tak terlepas dari peran aktor-aktor negara yang memiliki kekhawatiran dan tantangan tersendiri terkait isu keamanan teritorial serta agenda eksistensi pengaruh politik regional hingga global. Tatanan berbagai instrumen struktural internasional yang sudah cukup uzur dan tak sepenuhnya merepresentasikan peta politik dunia kini menjadi beban tak terpisahkan dalam menilai kompleksitas antarnegara-bangsa.
Hal ini menciptakan suasana pola kerja global yang dinamis dan kompleks pada kehidupan sosio-politik bangsa-bangsa serta kerap menciptakan kekhawatiran dan ketidakpastian terkait konsep multilateralisme. Contoh nyata adalah perang dan ketegangan yang kini terjadi di wilayah Eropa Timur akibat invasi Rusia ke Ukraina dan respons negara-negara Barat terhadap invasi ini.
G20 dihadapkan pada tantangan untuk menjawab persoalan di masa pandemi hingga solusi untuk mencapai pemulihan ekonomi global secara bersama-sama untuk kepentingan semua negara di dunia tanpa terkecuali.
Baca juga : Mampukah G20 Menavigasi Krisis Multidimensi
Forum multilateral G20 memang mempersiapkan berbagai konsep dan mekanisme liberal beyond the pandemic (pascapandemi) dalam mitigasi dan reformasi investasi, keuangan, perdagangan, serta mempromosikan cita-cita keterbukaan, transparansi, keadilan, dan keberlanjutan. Setidaknya ini menjadi salah satu sudut pandang sebagaimana diutarakan Menlu RI dengan menekankan pentingnya sebuah pakta kesehatan global.
Terlebih, meski pandangan serupa kerap disuarakan pada berbagai forum multilateral, urgensi peran serta negara-negara maju terkait keseriusan konsep sistem ketahanan kesehatan global saat ini belum optimal. Bahkan belum sepenuhnya berpacu seiring dengan lembaga multilateral lain, yaitu WHO. Padahal, hanya dengan bumi yang sehat, roda perekonomian dunia bisa menghasilkan kinerja, stabilitas, dan kemakmuran guna mengatasi dampak kemiskinan yang meningkat di masa pandemi.
Suasana ini masih tampak hampa pada pergelaran ajang multilateral G20 hingga kini. Bahkan, Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun 2020 mengingatkan bahwa dunia sedang menantikan kepemimpinan G20 untuk secara paralel keluar dari krisis kesehatan pandemi Covid-19 dan keterpurukan ekonomi global.
Namun, kini agenda-agenda prioritas G20 yang sudah dirancang secara matang oleh Jakarta dihadapkan pada tantangan lebih besar, yaitu menyelamatkan forum G20 itu sendiri dari terjadinya polarisasi geopolitik global. Ini sebuah realitas politik di mana sifat plural yang saharusnya menjadi “roh kolektif“ G20 kerap bertentangan dengan dinamika kepentingan setiap negara dalam hal diskursus paradigma global terhadap negara lain.
Hasilnya telah melahirkan perang dagang, saling embargo, hingga boikot politik yang makin berkelanjutan. Perilaku negara sebagai aktor ini akhirnya memengaruhi iklim usaha bagi negara lain ataupun para aktor non-negara (non-state actors). Contoh nyata yang dapat kita simak adalah perang dagang AS-China, tensi boikot investasi dalam perseteruan India-China hingga persaingan konsep-konsep mega-investasi seperti Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) oleh China, serta munculnya tandingan program-program investasi dan infrastruktur dalam kerangka kerja sama Indo-Pasifik yang diprakarsai AS, Jepang, India, dan Australia. Bahkan, kini ada perseteruan NATO dan Rusia menyikapi persoalan Ukraina.
Namun, sangat menarik dikarenakan peristiwa-peristiwa ini terjadi saat Indonesia sedang berperan memimpin berbagai forum multilateral strategis.
Sejalan dengan kompleksitas persaingan ekonomi politik global, kondisi power politics kawasan Indo-Pasifik makin mengkhawatirkan. Terlebih mengingat kawasan ini adalah wilayah geoekonomi yang paling strategis di dunia dan merupakan jantung perdagangan maritim global. Namun, di saat yang sama, pemikiran konsepsi Indo-Pasifik menjadi makin relevan dalam menata ulang tatanan global berbasis hukum internasional serta reformasi berbagai instrumen kerja sama multilateral, termasuk di antaranya pada badan PBB.
Dalam hal ini, the long run (jalan panjang) adu pengaruh antara aktor-aktor Barat dengan aktor-aktor Timur menjadi dinamika diskursus abad ini. Ironisnya, berbagai peristiwa geopolitik ini terjadi tepat di halaman ASEAN sehingga dibutuhkan pendekatan khusus serta pengalaman dalam menanganinya agar tidak meluas menjadi disaster of the century (bencana abad ini).
Namun, sangat menarik dikarenakan peristiwa-peristiwa ini terjadi saat Indonesia sedang berperan memimpin berbagai forum multilateral strategis. Pertanyaan besar yang dinantikan adalah mampukah Indonesia menjaga netralitas pada percaturan politik internasional sebagaimana menjadi semangat Gerakan Non-Blok?
Supriyanto
Indonesia sebagai harapan
Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari dinamika kompleksitas global terkini. Maka, sangat relavan bagi Jakarta untuk mempersiapkan kepemimpinannya di panggung G20 dengan slogan ajakan untuk recover together, recover stronger (pulih bersama, pulih lebih kuat). Hal ini mencerminkan suasana yang dihadapi Indonesia serta merepresentasikan harapan semua negara-bangsa di dunia.
Keseriusan Jakarta bukanlah hal baru, bahkan mewujudkan kesetaraan dan kemerdekaan adalah ciri khas bangsa Indonesia yang tecermin dalam inisiasi dan semangat KTT Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, hingga amanah Pembukaan UUD 1945. Pengalaman sejarah panjang dan identitas politik luar negeri sebagai peacemaker inilah yang dinantikan dunia saat ini karena Indonesia dikenal sebagai fasilitator perdamaian dunia.
Kementerian Luar Negeri AS pernah memuji kepemimpinan regional dan global Indonesia di ASEAN dalam hal memperjuangkan isu demokrasi di Myanmar, upaya perdamaian di Afghanistan, ambisi perubahan iklim, hingga peran Indonesia dalam menciptakan kawasan Indo-Pasifik yang inklusif, damai, serta berasaskan norma dan hukum internasional. Bahkan, India pun bisa diasumsikan rela menukar tahun kepemimpinan G20 kepada Indonesia sebagai bentuk kepercayaan dan keyakinan atas kemampuan kepemimpinan global pemerintahan Jokowi.
Pada akhirnya, ini adalah era strategis kepemimpinan Indonesia yang dinantikan dunia dengan penuh harapan serta di saat yang sama menguji konsistensi politik luar negeri bebas-aktif.
Keberhasilan lobi diplomatik dan citra positif ini selanjutnya memberi kesempatan berkelanjutan dalam kepemimpinan global Indonesia untuk mencapai usahanya dalam menciptakan stabilitas global.
Kepemimpinan di G20 dan ASEAN secara estafet akan memberi peluang bagi Jakarta untuk menyelaraskan agenda sehingga seluruh kompleksitas aspek geopolitik, geoekonomi, dan geostrategis dapat disinergikan secara berkelanjutan dalam merakit kesepahaman global dalam bingkai perdamaian dunia serta khususnya mengedepankan asas kemanusian yang adil dan beradab dalam usaha bersama menuju stabilitas global.
Pada akhirnya, ini adalah era strategis kepemimpinan Indonesia yang dinantikan dunia dengan penuh harapan serta di saat yang sama menguji konsistensi politik luar negeri bebas-aktif. Jika berhasil dengan baik, bisa dipastikan gugus momentum besar ini akan dikenang oleh kaum muda masa depan sebagaimana kita mengenang sejarah perjuangan diplomasi luar negeri Indonesia di masa lalu.
Abhiram Singh Yadav,Peneliti Politik Hubungan Internasional; Ketua Umum IKA-MHI Universitas Pelita Harapan