Jalan keluar yang dicapai dalam ”restorative justice” bukan merupakan penghentian perkara, melainkan penyelesaian dengan bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan korban. Kepentingan korban sebagai fokus utama.
Oleh
THERESA YOLANDA SIRAIT
·4 menit baca
Penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy, anak seorang pejabat Eselon II Direktorat Jenderal Pajak, terhadap David pada Feburari lalu tak hanya menyita perhatian publik ketika peristiwa itu terjadi, tetapi hingga kasus itu diproses secara hukum. Pada pertengahan Maret lalu, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan pernyataan bahwa akan mengajukan atau menawarkan keadilan restoratif (restorative justice/RJ) kepada David dan keluarganya.
Keluarga David tegas menolak penawaran tersebut. Pernyataan Kejati DKI Jakarta itu pun menuai kritik publik. Meskipun masih dalam bentuk penawaran pemberian RJ, publik beranggapan bahwa jaksa sudah keliru dalam hal tersebut.
Kekeliruan penerapan RJ bukan kali pertama dan bukan hanya terjadi di tingkat kejaksaan, tetapi juga di kepolisian. Sebelumnya, kasus pemerkosaan yang menimpa seorang perempuan yang mengalami keterbelakangan mental di Kota Serang, Banten, perkaranya diselesaikan melalui RJ. Setelah banyak keluhan dari masyarakat terhadap penerapan RJ tersebut, Polda Banten pun menyelidiki, dan diketahui bahwa penerapan RJ pada kasus ini tidak sesuai Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021.
Celakanya, pemaknaan terhadap RJ salah diartikan dan diimplementasikan oleh tak sedikit masyarakat, khususnya dalam hal ini aparat yang berwenang, yaitu para aparat penegak hukum di kepolisian dan kejaksaan. Mekanisme RJ di Indonesia menjadi polemik karena tercapainya perdamaian sebagai upaya pemulihan korban selalu diakhiri dengan penghentian proses pidana.
Permasalahan terjadi karena pengaturan penerapan RJ masih bersifat parsial oleh setiap aparat penegak hukum. Ironisnya, kondisi aturan yang masih parsial tersebut berpotensi mengakibatkan beragam praktik penerapan RJ, dan salah satunya ada kerancuan tentang tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan RJ. Alhasil, permasalahan yang muncul tersebut dapat mencerminkan adanya ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Penegasan ”restorative justice”
Istilah RJ baru diperkenalkan dalam beberapa tulisan Albert Eglash pada 1950-an dan baru marak digunakan pada 1977. Dalam tulisannya, Eglash mengemukakan RJ sebagai bentuk tindakan yang konstruktif, kreatif, ditentukan secara mandiri dengan adanya pendampingan serta membuka peluang keterlibatan kelompok. Ia menyebutkan bahwa upaya restoratif adalah sebagai bentuk sistem peradilan pidana yang fokus pada upaya untuk memulihkan atau merestorasi efek merugikan dari suatu tindakan seseorang dan secara aktif melibatkan semua pihak dalam proses peradilan.
Restorative justice menjadi bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia yang cenderung mengarah keadilan retributif. Yakni, menekankan keadilan pada pembalasan dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya. Singkatnya, RJ merupakan pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang berfokus dengan melibatkan para pihak, baik korban, pelaku, maupun pihak terkait dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan atau semata-mata menghukum pelaku.
’Restorative justice’ menjadi bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia yang cenderung mengarah keadilan retributif.
Indonesia telah memiliki hukum positif yang mengatur RJ. Pertama, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kedua, Nota Kesepahaman Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Polri tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif.
Ketiga, Surat Edaran Kapolri No SE/8/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif. Keempat, Peraturan Kepala Polri No 6/2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Kelima, Peraturan Polri No 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kelima, Peraturan Jaksa Agung No 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif. Kelima, Pedoman Kejaksaan No 18/2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. Keenam, Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung No 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.
Dari sejumlah peraturan tersebut, terdapat kesamaan yang mendasar tentang pengertian RJ, yaitu keseluruhan aturan tersebut masih berpusat pada orientasi ”penyelesaian perkara”. Hal ini dapat diartikan bahwa orientasi RJ masih terbatas sebagai ”hasil” dan bukan kombinasi dari ”proses dan tujuan”. Jika dilihat, ruang lingkup RJ dalam aturan tersebut juga berbeda-beda.
Misalnya pada tingkat kepolisian, tidak ada batasan tindak pidana yang bisa menerapkan RJ, kecuali yang sudah secara jelas dikecualikan, yaitu bukan tindak pidana terorisme, keamanan negara, korupsi, dan terhadap nyawa orang.
Pada tingkat kejaksaan, baru diperkenalkan dengan lahirnya Pedoman Kejaksaan No 18/2021. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No 15/2020, syarat melakukan RJ, yaitu tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan, kerugian di bawah Rp 2,5 juta, ada kesepakatan antara pelaku dan korban, tindak pidana hanya diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
‘Restorative justice’ tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai penghentian perkara. Penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif kadang dianggap tidak tepat dalam penggunaannya.
Penyelesaian perkara dengan RJ dikecualikan untuk tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selain itu, RJ tidak berlaku pada tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, lingkungan hidup, dan yang dilakukan korporasi.
Restorative justice tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai penghentian perkara. Penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif kadang dianggap tidak tepat dalam penggunaannya. Saat ini, konsep RJ di Indonesia belum sesuai dengan prinsip dasarnya, yang bertujuan agar semua pihak yang terlibat dalam sebuah perkara dapat mencari jalan keluar dari ketidakseimbangan yang ditimbulkan dari perbuatan pidana yang terjadi.
Konsep RJ menempatkan kepentingan korban sebagai fokus utama untuk mencari jalan keluar, berbeda dengan sistem peradilan konvensional yang sering kali membatasi ruang korban untuk didengar dan diakomodasi kebutuhannya. Jalan keluar yang dicapai dalam RJ bukan merupakan penghentian perkara, melainkan penyelesaian dengan bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan korban, yang inisiatifnya juga muncul dari sudut pandang korban secara bebas.
Hukuman tidak hanya berupa pidana penjara. Terdapat juga alternatif pidana yang bisa digunakan dalam penyelesaian perkara. Perdamaian pelaku dengan korban penting untuk pemulihan korban, bukan untuk penghentian perkara. Perlu diketahui bahwa RJ hanya sebuah pradigma/prinsip/pendekatan/cara pandang baru peradilan pidana dalam merespons kedudukan korban. Sifatnya melengkapi satu isu yang sejak dulu luput diperhatikan peradilan pidana, yaitu kepentingan/kebutuhan korban.
Harus digarisbawahi bahwa menerapkannya bukan sama dengan damai dan menghentikan perkara, melainkan mengutamakan hak korban yang berorientasi pada pemulihan untuk semua. Pemahaman yang tidak utuh pada konsep RJ oleh aparat penegak hukum, menjadikan pelaksanaan RJ sebagai sesuatu yang rentan disalahgunakan.