Kleptokrasi, rasisme dan rasialisme, serta xenofobia apabila tidak ditangani dengan baik dan secepat mungkin bisa berakibat fatal bagi kelangsungan hidup bangsa.
Oleh
Rizal Sukma
·3 menit baca
Thomas Hobbes, dalam karya klasiknya, Leviathan (1651), menggambarkan negara sebagai artificial man (manusia artifisial) yang bisa mengalami kematian akibat berbagai penyakit yang dideritanya. Hobbes menggambarkan negara (yang disebutnya sebagai commonwealth) bisa bubar akibat perang ataupun karena berbagai ”penyakit dari dalam” (internal diseases) negara itu sendiri.
Dalam konteks masa sekarang, di antara berbagai penyakit yang dapat diderita oleh sebuah negara, ada tiga penyakit yang merupakan jenis-jenis penyakit yang sangat berbahaya. Ketiga penyakit itu, kleptokrasi, rasisme dan rasialisme, serta xenofobia, apabila tidak ditangani dengan baik dan secepat mungkin bisa berakibat fatal bagi kelangsungan hidup bangsa dan bahkan dapat menyebabkan ”kematian” sebuah negara.
Pertama, kegelisahan dan kemarahan pemikir masalah kebinekaan, Sukidi, mengenai ”Kemiskinan di Tengah Ketamakan Pemimpin” (Kompas, 4 Mei 2023) bermuara dari menyebarnya penyakit berupa praktik pencurian/korupsi yang dilakukan para penyelenggara negara atau para kleptokrat. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus penangkapan kleptokrat, baik di ibukota maupun di sejumlah daerah.
Perilaku para kleptokrat ini, apabila tidak diberantas, akan melanggengkan kemiskinan, merusak kepercayaan publik pada penyelenggara negara, dan menyuburkan kemarahan rakyat. Dari sejarah jatuh bangunnya bangsa-bangsa, kita tahu bahwa tiga hal ini, kemiskinan, ketidakpercayaan publik, dan kemarahan rakyat, akan jadi pemicu lahirnya revolusi sosial dan tindakan anarkis massa yang akhirnya melahirkan situasi yang mempercepat kehancuran atau ”matinya” sebuah negara.
Kedua, rasisme atau rasialisme atau pandangan yang menganggap diri dan kelompoknya, berdasarkan genetik (ras, suku atau etnik), lebih superior dari orang atau kelompok lainnya adalah penyakit yang tidak kalah bahayanya dari kleptokrasi.
Rasisme dan rasialisme ini adalah pangkal perpecahan yang muncul dalam sebuah negara. Konflik etnik, misalnya, kerap bermula atau berakar dari pandangan rasialisme dalam masyarakat yang majemuk. Tak jarang pula konflik yang dipicu dari rasialisme berkembang menjadi lebih serius berupa perang saudara (civil war) yang kerap diikuti dengan tindakan kejahatan genosida dan pembersihan etnik (ethnic cleansing).
Ketiga, xenofobia (xenophobia), yakni sikap kebencian dan ketakutan ekstrem terhadap orang, bangsa, dan budaya asing, juga menjadi penyakit yang harus dicegah. Sikap ini merupakan hal yang tidak sehat bagi kelangsungan hidup bangsa/negara dalam masyarakat internasional yang sarat dengan salingketergantungan dewasa ini.
Bangsa terisolasi
Sikap anti-asing yang ekstrem, yang dilandasi oleh kecurigaan bahwa pihak asing pasti selalu berniat buruk dan destruktif, akan membuat sebuah bangsa terisolasi dari perkembangan dunia. Bangsa yang dihinggapi penyakit xenophobia demikian tidak akan pernah mampu mengambil manfaat dari kerja sama internasional dan, akibatnya, akan sulit untuk berkembang menjadi negara maju.
Indonesia tidak boleh menganggap remeh atau mengecilkan arti berbagai penyakit yang mengancam kesehatan negara itu. Kita harus mampu menyiapkan obat penawar (antidote) terhadap penyakit kleptokrasi, rasialisme, dan xenofobia ini.
Pertama, meskipun terasa klise, pendidikan, penataan sistem dan penegakan hukum tetap merupakan obat yang dapat menekan jumlah kleptokrat dan mencegah Indonesia menjadi kleptokrasi. Meskipun tidak mudah, reformasi sektor penegakan hukum harus dijadikan agenda mendesak.
Kedua, memupuk sikap nasionalisme dan patriotisme. Berbeda dengan sikap rasialisme dan xenofobia yang negatif, nasionalisme dan patriotisme adalah sikap positif yang harus dibangun sejak dini dalam jiwa setiap warga negara Indonesia. Nasionalisme akan mendorong setiap warga untuk bekerja bersama membangun negerinya, bukan menjarahnya bersama-sama. Patriotisme akan menampilkan warga negara yang siap berkorban untuk menjaga bangsa dan negaranya dari berbagai ancaman, termasuk ancaman penyakit kleptokrasi, rasialisme, dan xenofobia.
Terakhir, seperti yang kerap disampaikan oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto, sosialisasi nilai-nilai Pancasila harus selalu dilakukan. Artinya, setiap manusia Indonesia diharapkan dapat memahami, meresapi, dan menjalankan nilai-nilai Pancasila. Tentunya hal tersebut perlu dilakukan secara natural, bukan melalui cara-cara indoktrinasi ala Orde Baru.