Memang tak ada cara yang mudah, tetapi perlu dilakukan dengan rencana yang baik. Tak ada cara yang cepat, tetapi perlu ketekunan menjalankan koordinasi yang berfokus pada implementasi.
Oleh
A Prasetyantoko
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Lanskap gedung pencakar langit di Jakarta, Senin (8/5/2023). Perekonomian RI tumbuh 5,03 persen pada triwulan I-2023.
Akhir pekan lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2023 mencapai 5,03 persen atau lebih tinggi dari perkiraan banyak pihak yang 4,5-4,8 persen. Meski lebih tinggi dari perkiraan, muncul juga gugatan mengapa pertumbuhan ekonomi tak mampu lebih tinggi dari kisaran 5 persen. Padahal, untuk keluar dari jebakan bangsa berpenghasilan menengah atau middle income trap diperlukan pertumbuhan setidaknya 7 persen pada periode mendatang.
Di tengah situasi global yang tumbuh rendah atau slowbalisation, pertumbuhan 5 persen sudah bagus. Masalahnya, bagus sudah tak lagi mencukupi, good is not enough. Perlu lompatan agar kesejahteraan masyarakat meningkat sehingga bisa menjadi negara maju pada waktunya.
Dari kinerja triwulan I-2023 kita bisa mengamati beberapa kecenderungan (struktural) penting. Pertama, pertumbuhan didominasi sektor jasa. Sektor transportasi dan pergudangan tumbuh paling tinggi sebesar 15,93 persen, disusul sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum yang tumbuh 11,55 persen, serta sektor jasa lain yang tumbuh 8,9 persen.
Kedua, sektor penyerap tenaga kerja, seperti pertanian, pertambangan, dan manufaktur, tumbuh di bawah angka pertumbuhan nasional. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh 0,34 persen, sedangkan sektor manufaktur bertumbuh 4,43 persen.
Sektor penyerap tenaga kerja, seperti pertanian, pertambangan, dan manufaktur, tumbuh di bawah angka pertumbuhan nasional.
Dari data di atas, pekerjaan rumahnya sudah tampak jelas, yaitu menyusun strategi industri agar sektor penyokong utama pertumbuhan yang menyerap tenaga kerja banyak bisa tumbuh optimal. Persoalan ini sama sekali bukan hal baru.
Strategi pertumbuhan
Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah melakukan banyak hal, tetapi skala persoalan yang dihadapi bangsa ini terlalu besar untuk ditangani sekaligus. Oleh karena itu, perlu strategi, kebijakan, dan program yang berkelanjutan guna mengakselerasi pertumbuhan demi peningkatan kesejahteraan. Pertanyaannya, bagaimanakah strategi itu?
Sekelompok peneliti dari Harvard Kennedy School of Government (HKS), yakni Ricardo Hausmann, Dani Rodrik, dan Andreas Valesco (2005), memelopori pendekatan Growth Diagnostics. Pendekatan ini menawarkan alternatif dalam teori pembangunan dengan fokus pada hambatan yang membatasi (binding constraints) pertumbuhan sehingga tak maksimal.
Skenario pertumbuhan umumnya dibuat berbasis pada peluang (opportunity-driven) sehingga proyeksi ekonomi lebih bersifat hipotetis atau mengandaikan beberapa asumsi terpenuhi. Pendekatan ini lazim digunakan, seperti McKinsey (2012) ketika memproyeksikan perekonomian Indonesia akan menjadi kekuatan ketujuh terbesar pada 2030. Peluang memang ada, tetapi berbagai prasyarat diperlukan sebagaimana ditunjukkan dalam catatan kaki laporan tersebut.
Sebaliknya, Growth Diagnostics berbasis pada kendala utama yang dihadapi dalam pembangunan. Jika berbagai hambatan bisa diatasi, pertumbuhan bisa dihela lebih kencang. Pendekatan ini lebih realistis atau berbasis pada kenyataan lapangan. Bagaikan dokter, sebelum merumuskan obat (strategi) perlu mendiagnosis persoalan (hambatan) utamanya.
Pendekatan ini meyakini pertumbuhan ekonomi utamanya digerakkan oleh investasi dan aktivitas bisnis (kewirausahaan). Selanjutnya, ditawarkan pohon pengambilan keputusan guna mendiagnosis persoalan penghambat pertumbuhan.
Ada dua kluster hambatan yang membuat pertumbuhan tidak optimal, yaitu rendahnya tingkat penghasilan aktivitas ekonomi dan tingginya pembiayaan.
Ada dua kluster hambatan yang membuat pertumbuhan tidak optimal, yaitu rendahnya tingkat penghasilan aktivitas ekonomi dan tingginya pembiayaan. Dua faktor ini diturunkan dalam pemetaan akar masalah penghambat pertumbuhan yang lebih rinci. Ringkasnya, investasi dan aktivitas ekonomi akan pesat jika kendala di sektor riil dan sektor keuangan bisa diatasi.
Pekerja merampungkan proyek superblok di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (7/3/2023). Berperan sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia mengajak negara-negara Asia Tenggara menjadikan kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia.
Bappenas pada 2018 telah menginisiasi pendekatan Growth Diagnostics dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam proses yang juga menghadirkan Ricardo Hausmann itu ditemukan berbagai hambatan utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, di antaranya masalah geografi, mahalnya pembiayaan, fiskal, kualitas sumber daya manusia, regulasi dan kelembagaan, infrastruktur, serta kegagalan pasar.
Strategi dan kebijakan pembangunan yang selama ini dijalankan sebenarnya berorientasi mengatasi berbagai hambatan pokok, seperti infrastruktur, regulasi dan kelembagaan, serta kualitas manusia. Sayangnya, implementasinya masih belum terkoordinasi dengan baik. Pendekatan tersebut juga tak diturunkan di tingkat sektoral.
Pembangunan infrastruktur secara masif dan upaya melakukan perombakan perundang-undangan setidaknya merupakan upaya nyata untuk membongkar hambatan pembangunan. Dikeluarkannya omnibus law Cipta Kerja serta omnibus law sektor keuangan atau Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) bisa menjadi modal untuk mengatasi hambatan pertumbuhan di sektor riil dan keuangan.
Pembangunan infrastruktur secara masif dan upaya melakukan perombakan perundang-undangan setidaknya merupakan upaya nyata untuk membongkar hambatan pembangunan.
Berbasis pada upaya yang telah dimulai ini, pemerintah mendatang perlu fokus pada beberapa hal. Pertama, percepatan reformasi peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kebijakan yang komprehensif di bidang pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial.
Kedua, melakukan penataan kelembagaan setelah diterbitkannya omnibus law Cipta Kerja dan sektor keuangan. Termasuk di dalamnya sinkronisasi peraturan turunan dan koordinasi kelembagaan hingga ke daerah.
Ketiga, fokus pada reindustrialisasi sehingga kementerian terkait harus ditingkatkan kapasitasnya, khususnya kementerian perindustrian, pertambangan, pertanian, kehutanan, dan kelautan yang selama ini masih berjalan sendiri-sendiri. Fragmentasi kelembagaan, strategi, dan program kerja mengakibatkan luaran dan produktivitas di sektor tersebut belum optimal.
Memang tak ada cara yang mudah, tetapi perlu dilakukan dengan rencana yang baik. Tak ada cara yang cepat, tetapi perlu ketekunan menjalankan koordinasi yang berfokus pada implementasi.
Siapa pun presidennya, kita akan menghadapi tantangan yang sama, yaitu bagaimana keluar dari jebakan (kutukan) negara berpenghasilan menengah. Oleh karena itu, strategi, kebijakan, dan program kerja memang perlu berkelanjutan.