Indonesia perlu meningkatkan indeks kompleksitas ekonominya paling tidak menjadi sepuluh besar dunia dalam sepuluh tahun mendatang. Peta jalan ini perlu dijalankan oleh siapa pun presiden terpilih mendatang.
Oleh
A Prasetyantoko
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Lampu penerangan menyala menjelang malam di gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (31/7/2022). Dana Moneter Internasional (IMF) menilai perekonomian Indonesia dalam kondisi baik.
Majalah The Economist, Rabu (29/3/2023), menyebut Indonesia dan India tengah bersaing menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat dalam kelompok G20. Menariknya, dinamika ini terjadi di tengah perubahan konstelasi perekonomian global sebagai implikasi dari fragmentasi geopolitik.
Biaya produksi dan logistik semakin mahal sehingga inflasi cenderung tinggi, sementara keputusan investasi dan aliran modal tak lagi mengedepankan efisiensi, tetapi resiliensi.
Laporan berkala World Economic Outlook terbitan Dana Moneter Internasional (IMF) edisi April 2023 menyoroti implikasi fragmentasi geopolitik terhadap relokasi investasi asing di banyak negara berkembang. Ketegangan geopolitik mendorong perusahaan dan pembuat kebijakan bersikap defensif dengan cara memindahkan portofolio investasinya kembali ke negara asalnya atau ke negara mitra yang lebih aman. Strategi off-shoring berubah menjadi friend-shoring.
Pada April 2022, Menteri keuangan Amerika Serikat mendorong perusahaan AS memindahkan industrinya ke negara mitra. Komisi Eropa mengusulkan Net Zero Industry Act sebagai balasan atas subsidi di AS dengan dikeluarkannya Inflation Reduction Act. Sebagai respons dari CHIP (Creating Helpful Incentives to Produce Semiconductors) and Science Act oleh AS, China berupaya keras mengembangkan sendiri teknologi, seperti semikonduktor, yang selama ini diimpor.
Di tengah situasi seperti ini, Indonesia dan India mencari peluang tumbuh lebih tinggi dengan menerima lebih banyak relokasi investasi asing serta masuk lebih jauh dalam mata rantai pasok global. Di Indonesia, keberlanjutan program hilirisasi menjadi kunci penting. Jangan sampai pergantian rezim politik pada Pemilu 2024 justru akan menghambat proses transformasi menjadi negara maju.
Kompleksitas
Ricardo Hausmann dari Universitas Harvard dan Cesar Hidalgo dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan metodologi pengukuran kompleksitas ekonomi sebagai indikator kemajuan bangsa. Sederhananya, kompleksitas ekonomi diukur dari seberapa variasi produk ekspor yang dihasilkan suatu negara (diversity) dan seberapa unik (ubiquity). Semakin tinggi variasi dan keunikan produk ekspor, semakin tinggi peringkat kompleksitas ekonominya (Economic Complexity Index/ECI).
Hausmann dan Hidalgo berargumen, dibandingkan dengan indeks lainnya, seperti indeks daya saing dan indeks pembangunan manusia, ECI lebih baik dalam menggambarkan tingkat kemakmuran dan ketimpangan sosial suatu negara. Mendorong industrialisasi guna menghasilkan produk ekspor yang lebih bervariasi dan berdaya saing merupakan strategi kunci negara berkembang menjadi negara maju.
Merujuk data terkini (2021) The Observatory of Economic Complexity (OEC) yang dikembangkan Media Lab MIT, tiga peringkat teratas indeks kompleksitas ekonomi ditempati Jepang, Swiss, dan Taiwan. Dalam sepuluh tahun terakhir, Singapura dan Korea mengalami peningkatan penting. Pada 2011, Singapura berada di peringkat ke-9 dan pada 2021 naik menjadi peringkat ke-6. Pada periode yang sama, Korea Selatan melonjak dari peringkat ke-10 menjadi ke-4.
Mendorong industrialisasi guna menghasilkan produk ekspor yang lebih bervariasi dan berdaya saing merupakan strategi kunci negara berkembang menjadi negara maju.
Bagaimana dengan India dan Indonesia? Pada 2021, India berada di posisi ke-41 atau naik sepuluh peringkat dibandingkan 2011 pada posisi ke-51. Sementara Indonesia menempati peringkat ke-61 pada 2021 atau mengalami peningkatan drastis dari posisi ke-78 pada 2011.
Ada pekerjaan rumah besar bagi kita untuk terus meningkatkan peringkat kompleksitas ekonomi. Data Atlas of Economic Complexity yang dikembangkan Growth Lab Universitas Harvard menunjukkan ekspor kita masih didominasi barang komoditas. Pada 2020, total ekspor kita 177 miliar dollar AS dan didominasi oleh minyak sawit (9,19 persen), batubara (8,19 persen), serta produk teknologi dan informatika (4,74 persen).
Sementara India dengan total ekspor 475 miliar dollar AS didominasi produk teknologi dan informatika (33,8 persen), minyak olahan (5,4 persen), dan berlian (3,14 persen). Pada periode tersebut, neraca transaksi berjalan Indonesia surplus sebesar 3,3 miliar dollar AS dan India 32,7 miliar dollar AS.
Tujuan utama ekspor Indonesia adalah China (19,32 persen), Amerika Serikat (10,57 persen), dan Jepang (8,22 persen). Sementara India mengekspor ke Amerika Serikat (17,03), China (6,99 persen), dan Uni Emirat Arab (6,59 persen).
Kebijakan hilirisasi perlu diteruskan dengan visi 2045 sebagai negara maju dengan basis industri yang kuat.
Kebijakan hilirisasi perlu diteruskan dengan visi 2045 sebagai negara maju dengan basis industri yang kuat, salah satunya sebagai produsen utama baterai mobil listrik yang mengedepankan prinsip keberlanjutan. Pemerintah sudah mencanangkan pada 2030 akan menghasilkan 140 GWh baterai listrik dan menjadi negara terbesar keempat di dunia sebagai penghasil energi bersih.
Sepuluh tahun ke depan akan menjadi fase transisi paling menentukan, apakah kita akan berhasil menjadi negara maju atau tidak. Salah satu ukurannya, apakah dalam periode tersebut kita berhasil membangun basis industri domestik yang kuat. Untuk itu, diperlukan upaya lebih sistematis dan terorganisasi membangun ekosistem mata rantai industri yang bervariasi dan berdaya saing.
Untuk menjadi negara maju, Indonesia perlu meningkatkan indeks kompleksitas ekonominya paling tidak menjadi sepuluh besar dunia dalam sepuluh tahun mendatang. Diperlukan strategi turunan yang rinci menyangkut ekosistem industri penopang, pendanaan serta regulasi pendukung.
Peta jalan ini perlu dijalankan oleh siapa pun presiden terpilih mendatang.