Belum adanya peraturan turunan Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur hendaknya tidak dijadikan alasan untuk menghentikan proses perizinan berusaha. Ini berdampak negatif bagi nelayan pelaku usaha.
Oleh
HENDRA SUGANDHI
·5 menit baca
Setelah menuai pro-kontra sekitar dua tahun, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) akhirnya ditetapkan dan diundangkan pada 6 Maret 2023. Tujuan PIT ini untuk memastikan kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan dapat memberikan kesejahteraan nelayan, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil perikanan, kepastian berusaha, kontribusi bagi dunia usaha serta bagi negara.
Namun, ironisnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mempersiapkan peraturan turunannya sehingga implementasi PIT menjadi terkatung-katung. Lebih miris lagi, Direktorat Perizinan KKP menghentikan proses permohonan izin berusaha termasuk surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) dengan alasan masih menunggu implementasi PP No 11/2023. Ini sangat kontraproduktif dan bertentangan dengan tujuan PIT sehingga menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakpastian berusaha.
Konsep pengendalian PIT dilakukan dengan perizinan yang mempertimbangkan kuota per kapal (output control). Kuota penangkapan ikan di zona penangkapan ikan terukur dibagi tiga, yaitu kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.
Penetapan kuota industri pada prinsipnya berdasarkan wilayah zona maritim, yaitu di atas 12 mil laut yang merupakan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) menjadi kewenangan KKP (izin pusat). Sementara kuota nelayan lokal merupakan wilayah teritorial (di bawah 12 mil laut) dan menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Kuota industri diberikan oleh menteri kepada orang perseorangan, badan usaha yang berbadan hukum. Orang perseorangan yang dimaksud merupakan nelayan kecil diutamakan yang tergabung dalam koperasi. KKP memberikan prioritas nelayan kecil memperoleh kuota industri, seolah-olah ingin menunjukkan PIT berpihak kepada nelayan kecil. Ada kerancuan berpikir tentang pengaturan zona penangkapan ikan. Terlalu gegabah mendorong nelayan kecil menangkap ikan di atas 12 mil laut karena akan membahayakan keselamatannya.
Definisi nelayan kecil
Definisi nelayan kecil perlu dirumuskan ulang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 jo UU No 31/2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gros ton (GT). Sementara UU No 7/2016 menyebutkan, nelayan kecil dikategorikan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2022 jo PP No 11/2023 definisinya sama sekali tidak menyinggung ukuran GT kapal. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.
Kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil sehingga definisi nelayan kecil harus diperjelas.
Berdasarkan data tanda daftar kapal perikanan (TDKP) per 18 April 2023 untuk nelayan kecil di bawah 10 GT, jumlah kapal perikanan yang terdaftar 37.219 unit setara 90.640 atau rata-rata 2,7 GT. Dengan asumsi 1 kapal berisi 3-4 orang, maka jumlah nelayan kecil nasional tidak lebih dari 150.000 orang.
Pemantauan kapal perikanan melalui vessel monitoring system (VMS) selama ini hanya diberlakukan untuk kapal di atas 30 GT yang beroperasi di ZEEI dan laut lepas. Dalam PP No 11/2023 juga ada ketentuan bahwa setiap orang, pemerintah pusat, atau pemerintah daerah wajib memasang dan mengaktifkan transmitter sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) di kapal perikanan sebelum melakukan kegiatan perikanan.
Transmitter SPKP digunakan untuk mengetahui pergerakan dan aktivitas kapal perikanan yang memperoleh perizinan berusaha atau persetujuan dari gubernur atau menteri. Kapal perikanan yang perizinan berusaha atau persetujuannya diterbitkan gubernur dan belum dapat memenuhi kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP, diberi tenggang memenuhi kewajiban ini paling lama satu tahun sejak PP ini diundangkan.
Namun, kewajiban pemasangan dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil sehingga definisi nelayan kecil harus diperjelas. Apakah kategorinya berdasarkan kegiatan menangkap ikan untuk kebutuhan sehari hari atau berdasarkan ukuran GT kapal penangkap ikannya.
Pemantauan dan pengendalian di wilayah teritorial tidak kalah penting untuk keberlanjutan sumber daya ikan, apalagi area penangkapannya padat dan tumpang tindih sehingga berpotensi konflik dengan nelayan kecil, tetapi kewenangan perizinan kapal di bawah 30 GT di pemda. Selain pemantauan SPKP, pengendalian jumlah kapal, jenis alat tangkap di wilayah teritorial juga tidak kalah penting untuk keberlanjutan, tetapi bukan kewenangan KKP melainkan pemda.
Anehnya dalam berbagai forum KKP berupaya meyakinkan PIT akan memberikan banyak keistimewaan kepada nelayan kecil, salah satunya pembebasan pungutan hasil perikanan. Padahal faktanya, sejak dahulu urusan nelayan kecil merupakan kewenangan pemda dan tidak pernah dipungut penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pada 2022, PNBP perikanan tangkap mencapai Rp 1,279 triliun, seluruhnya berasal dari kapal penangkap ikan di atas 30 GT. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) pada 2022 mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 793,8 miliar, tetapi realisasi anggaran DJPT 2022 hanya Rp 408 miliar (51 persen). Perolehan PNBP perikanan tangkap sebenarnya relatif tinggi karena nilainya lebih dari tiga kali lipat realisasi anggaran DJPT.
Masih banyak pihak yang percaya penyebab minimnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing serta eksploitasi sumber daya perikanan oleh oligarki. Jika kita analisis data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) selama sembilan tahun (2014-2022), khususnya realisasi investasi penanaman modal asing dan dalam negeri di sektor perikanan sangat minim sekali, hanya Rp 7,97 triliun atau rata-rata Rp 879 miliar per tahun.
Peringkat realisasi investasi sektor perikanan selalu terseok-seok di peringkat terbawah dari 23 sektor sehingga sangat wajar jika kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil, hanya 2,8 persen. Peningkatan investasi di sektor perikanan merupakan kunci meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional termasuk peningkatan PNBP yang wajar.
Zona maritim
Litbang Kompas (26/1/2023) juga menyoroti ironi kemiskinan wilayah pesisir yang kaya potensi ekonomi kelautan dan perikanan. PNBP akan dikembalikan ke masyarakat nelayan, salah satunya melalui program prioritas kampung nelayan maju (Kalaju). Namun, program ini masih diragukan apakah mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan secara signifikan mengingat alokasi anggaran untuk Kalaju terbatas.
Di lain pihak, beberapa lembaga swadaya masyarakat justru mengkhawatirkan penangkapan ikan terukur tidak pro nelayan kecil dengan alasan akan kalah bersaing dengan kapal nelayan besar. Namun, kekhawatiran ini menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai batas zona maritim.
Pengaturan zona penangkapan ikan sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/Permen-KP/2020 tentang jalur penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara RI dan laut lepas. Ada tiga jalur penangkapan ikan, yaitu jalur I (0-4 mil), jalur II (4-12 mil), jalur III (12-200 mil).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) melalui UU No 17/1985.
Sebelum Deklarasi Djuanda diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1982, setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh 3 mil dari garis pantai. Jalur I dan II termasuk wilayah teritorial, sedangkan jalur III adalah wilayah ZEEI. Jalur II dan III murni perluasan wilayah pengelolaan laut Indonesia. Jalur III yang merupakan wilayah ZEEI di mana Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign right) untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk sumber daya ikan yang pengelolaannya di bawah wewenang KKP (izin pusat).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) melalui UU No 17/1985. Wilayah ZEEI yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut wajib dimanfaatkan secara optimal. Jika ada surplus dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan, maka negara lain yang tidak memiliki pantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung memperoleh kesempatan untuk turut serta memanfaatkan ZEEI.
Perjuangan Ir H Djuanda Kartawidjaja berhasil menjadikan Indonesia sebagai archipelagic states sekaligus menambah luas wilayah laut Indonesia 2,5 kali lipat. Sebagai generasi penerus, seharusnya kita menghormati dan menghargai perjuangan beliau dengan cara memanfaatkan sumber daya di wilayah ZEEI secara optimal dan tidak perlu berbagi dengan negara lain kecuali memang tidak mampu.
Dikotomi pendekatan pengendalian penangkapan ikan konvensional yang berdasarkan input control dan PIT yang berdasarkan output control tidak perlu dipertentangkan, seharusnya dapat saling melengkapi. Yang harus dihindari adalah kebijakan open access yang tanpa pengendalian sama sekali sehingga membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan dan keberlanjutan usaha nelayan.
Kementerian (KKP) sebaiknya tidak membuat peraturan atau kebijakan baru yang menimbulkan polemik baru sementara persoalan lama masih belum tuntas. Akademisi sebagai the last resort juga diharapkan menjadi wasit yang adil, dan berani mengambil sikap tegas dan obyektif untuk membantu menuntaskan polemik PNBP dan PIT.
Percepatan pelaksanaan PIT tidak cukup sekadar membentuk tim percepatan PIT. Tidak siapnya KKP dalam penyusunan peraturan turunan untuk melaksanakan PIT merupakan masalah internal dan jangan dijadikan alasan untuk menghentikan proses perizinan. Stop proses perizinan adalah tindakan yang sangat kontraproduktif dan menunjukkan tidak berfungsinya tim percepatan.
Reaktualisasi revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi perlu segera diterapkan di KKP untuk memperbaiki iklim usaha agar kondusif agar realisasi investasi dapat meningkat signifikan. Cita-cita menjadikan laut masa depan bangsa dan Indonesia sebagai poros maritim dunia sulit terwujud jika tidak ada perubahan arah kebijakan.