Polemik Kebijakan PNBP Perikanan
Melonjaknya pungutan dan pajak di sektor perikanan dan kelautan, mengancam kelangsungan hidup pelaku usaha perikanan tangkap. Ini ironi dengan UU Cipta Kerja yang mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja.
Melonjaknya berbagai pungutan dan pajak di sektor perikanan dan kelautan, kian mengancam kelangsungan hidup para pelaku usaha perikanan tangkap.
Peraturan Pemerintah (PP) No 85/2021 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah ditetapkan dan diundangkan pada 19 Agustus 2021.
Dalam peraturan sebelumnya, penarikan PNBP hanya pada pra-produksi, sedangkan pada peraturan baru, ada tiga formula penarikan PNBP, yaitu penarikan pra-produksi, pasca-produksi dan sistem kontrak.
Perbedaan lainnya, obyek Pungutan Hasil Perikanan (PHP) untuk kapal penangkap ikan sebelumnya hanya kapal dengan ukuran 30 GT (gross tonnage) ke atas (izin pusat). Pada peraturan yang baru, untuk pra-produksi ada ekstensifikasi pungutan terhadap ukuran kapal, tarifnya sama namun jangkauannya lebih luas: 5-60 GT dikenai tarif 5 persen, 60-1.000 GT tarif 10 persen dan 1.000 GT ke atas tarif 25 persen. Penarikan PNBP pra-produksi berlaku sampai 31 Desember 2022, setelah itu berlaku penarikan pasca-produksi.
Penarikan pasca-produksi diberlakukan untuk semua ukuran kapal penangkap ikan: sampai dengan 60 GT dikenai pungutan dengan tarif 5 persen (termasuk yang di bawah 5 GT), untuk kapal 60 GT ke atas tarif 10 persen . Untuk melengkapi perhitungan PHP, KKP menetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 86/2021 tentang harga patokan ikan dan No 87/2021 tentang produktivitas kapal penangkap ikan.
Melonjaknya berbagai pungutan dan pajak di sektor perikanan dan kelautan, kian mengancam kelangsungan hidup para pelaku usaha perikanan tangkap.
Melonjak terlalu tinggi
Kenaikan komponen produktivitas dan harga patokan ikan secara sekaligus banyak dikeluhkan para pelaku usaha perikanan tangkap, karena nilai PHP yang harus dibayarkan melonjak terlampau tinggi. Kemungkinan banyak pemilik kapal yang memutuskan tak membayar dan terpaksa memilih menghentikan operasi kapal penangkap ikannya.
Tarif PHP pada 2015 untuk kapal 30 GT ke atas yang naik 5-10 kali lipat ternyata dianggap tak cukup mendongkrak PNBP perikanan tangkap, sehingga diperlukan jalan pintas yang lain yang mudah dilakukan dengan cara menaikkan dua komponen pungutan lainnya.
Jika dianalisis, komponen produktivitas tak semuanya naik. Ada juga yang turun signifikan 41,67 persen, misalnya kapal dengan alat tangkap huhate (pole and line) dari 1,80 turun menjadi 1,05, namun. Sebaliknya ada yang produktivi- tasnya naik signifikan 34,67 persen seperti pancing cumi dari 0,75 ke 1,01. Begi- tu pula produktivitas rawai tuna naik 25,33 persen dari 0,75 menjadi 0,94.
Naik turunnya produktivitas sebenarnya hal yang wajar, namun seharusnya mengacu pada rekam data rata-rata hasil tangkapan yang sebaiknya dibuka ke publik dan dibahas bersama dengan nelayan untuk dijadikan pedoman yang adil dalam menentukan angka produktivitas dan komposisi hasil tangkapan.
Dalam PP No 85/2021, komponen tarif tak berubah, hanya ada ekstensifi- kasi jangkauan ukuran kapalnya saja, sehingga yang memengaruhi kenaikan pungutan hasil perikanan adalah dua komponen PNBP lainnya, namun yang lebih dominan memengaruhi kenaikan penarikan PNBP adalah harga patokan ikan (HPI). Ini karena jika kita analisis dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 86/2021, semua harga patokan jenis ikan naik signifikan terkecuali jenis udang lain-lain (udang krosok) turun Rp 1.000 per kilogram.
Yang menarik, meski produktivitas huhate turun signifikan, PHP per GT tetap naik 1,03 kali lipat akibat naiknya HPI, namun kenaikan PHP per GT alat tangkap huhate terendah di antara semua jenis alat tangkap. Kemungkinan diskresi ini karena huhate dikategorikan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Harga patokan ikan cumi-cumi naik hampir lima kali lipat (500 persen) dari Rp 16.000 ke Rp 75.000. Persentase kenaikan harganya tertinggi, diikuti albakor tuna hampir empat kali lipat (400 persen), dan tuna madidihang naik tiga kali lipat (300 persen). Kenaikan produktivitas, dan HPI sekaligus, berdampak sangat signifikan terhadap PHP per GT. Misalnya untuk kapal pancing cumi 100 GT, nilai PHP Rp 699.425.000 atau Rp 6.994.250 per GT. Sebelumnya Rp 120.000.000 atau hanya Rp 1,2 juta per GT, naik 5,83 kali lipat (583 persen).
Bahkan jika menggunakan tarif PHP berdasarkan PP No 19/2006, nilai PHP kapal pancing cumi melonjak luar biasa, yakni 58 kali lipat atau 5.829 persen.
Untuk kapal dengan alat tangkap rawai tuna (long line) di atas 60 GT, tarif PHP per GT sebelumnya Rp 1.192.688, naik menjadi Rp 4.026.537, atau meningkat 3,38 kali lipat (338 persen). Ini akan berdampak pada kian menyusutnya alat tangkap rawai tuna yang relatif ramah lingkungan, sekaligus kian mempercepat kepunahannya. Pupus sudah harapan mengembalikan kejayaan masa lalu rawai tuna di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas.
Pupus sudah harapan mengembalikan kejayaan masa lalu rawai tuna di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas.
Menuai protes nelayan
Melonjaknya PHP berkali lipat mulai menuai protes, pertama kali dari himpunan nelayan Kalimantan Barat yang menolak kenaikan PHP hingga ratusan persen. Sengketa diperkirakan akan semakin meluas ke seluruh Indonesia.
Asumsi komposisi produktivitas kapal penangkap ikan juga dikeluhkan oleh para pelaku usaha. Misalnya, alat tangkap purse seine pelagis besar yang hasil tangkapannya delapan persen tuna sirip kuning grade A dengan harga patokan ikannya Rp 60.000. Hal ini tentu tak sesuai fakta karena harga ikan jaring dengan harga ikan hasil pancing berbeda jauh. Begitu pula harga ikan segar dan harga ikan beku, akan berbeda walaupun sama-sama grade A.
Contoh lain, asumsi bahwa ada tuna sirip biru dalam komposisi hasil tangkapan rawai tuna. Padahal, spesies ini hanya ada di wilayah tertentu yang menjadi jalur migrasinya, seperti selatan Jawa dan Bali, sementara di wilayah penangkapan lain tidak ada tuna sirip biru sama sekali. Keanehan asumsi harga patokan ikan dan komposisi hasil tangkapan yang digunakan KKP menunjukkan bahwa konsultasi publik tidak berjalan efektif. Lebih cenderung hanya basa basi dan aspirasi nelayan sebagai pelaku diabaikan.
Tiga komponen PNBP, yaitu tarif PHP, produktivitas dan HPI, akan menentukan besarnya PNBP, baik pra-produksi maupun pasca-produksi. Seharusnya yang perlu disesuaikan secara periodik adalah komponen produktivitas dan HPI, bukan komponen tarif.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan sebelumnya yang menaikkan komponen tarif PHP 5-10 kali lipat adalah awal dari kebijakan yang keliru, sedangkan untuk dua komponen produktivitas dan HPI sangat wajar ada penyesuaian secara periodik. Namun, karena sebelumnya komponen tarif sudah naik signifikan, maka kenaikan produktivitas dan HPI tak selayaknya dinaikkan. Nelayan protes akibat melonjaknya HPI, karena PNBP yang harus dibayarkan nelayan rata-rata naik ratusan persen.
Walaupun slogan PNBP adalah untuk kesejahteraan nelayan, faktanya pungutan ini diprotes secara meluas oleh para nelayan yang tidak sanggup lagi membayar PHP dan memilih untuk menghentikan operasi kapal ikannya. Hal ini tentu ironis dan bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja yang bertujuan mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja.
Paradoks sumber daya ikan — produksi melimpah namun ironisnya ekspor hasil perikanan minim—, begitu pula perolehan PNBP perikanan yang selalu didengungkan masih sangat minim.
Padahal jika ditelaah, perolehan PNBP perikanan tangkap dari izin pusat saja pada 2020 cukup tinggi jika dibandingkan realisasi anggaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap yang mencapai 11,20 persen. Namun jika PNBP perikanan tangkap diharapkan menutup anggaran kementerian, seharusnya setiap direktorat jenderal dan kepala badan ditargetkan sebagai profit center agar defisit Rp 5,26 triliun bisa ditutup.
Di sisi lain, pelaku usaha perikanan tangkap selain harus membayar PHP, juga terlalu banyak dibebani berbagai jenis pungutan dan pajak, mulai dari PBB Laut, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian BBM, retribusi daerah, PPN untuk jasa angkut ikan, Pajak Penjualan (PPh) 22 penjualan ikan, PPh Karyawan, bahkan jika masih memperoleh laba, akan dikenai pajak pula.
Pelaku usaha perikanan tangkap juga harus menanggung faktor risiko dan ketidakpastian, tergantung cuaca alam, dan musim serta sifat ikan yang terus bergerak. Hal ini sebaiknya dipahami oleh pengambil kebijakan, jangan serampangan menaikkan tarif, produktivitas dan harga patokan ikan.
Baca juga : Tarif Pungutan Ikan Meroket, Nelayan Tegal Kirim Surat Penolakan
Seharusnya ada kajian dampak kebijakan, jangan sampai nelayan menghentikan kegiatan penangkapan ikan karena tidak sanggup membayar pungutan hasil perikanan, hal ini akan berdampak luas terhadap pasokan untuk industri pengolahan ikan yang akan berkurang, naiknya harga ikan, melemahkan daya saing, turunnya devisa ekspor hasil perikanan serta berkurangnya lapangan kerja.
Penangkapan ikan terukur dalam mengelola Indonesia makmur tentu harus diwujudkan namun jangan menambah beban berat kepada nelayan yang tengah mengalami kesulitan dalam menghadapi wabah Covid-19.
Menaikkan tarif, produktivitas dan HPI ibarat berburu di kebun binatang, termasuk upaya yang sangat tak kreatif yang dapat dilakukan dengan mudah oleh siapa pun. Kementerian sebaiknya fokus bagaimana membuat kebijakan yang mampu mendorong pelaku usaha untuk memanfaatkan sumber daya ikan di ZEEI dan laut lepas secara optimal dan berkelanjutan sehingga strategi peningkatan PNBP lebih kreatif, elegan, terukur dan realistis melalui ekstensifikasi wilayah penangkapan di luar wilayah teritorial.
Hendra Sugandhi, Wakil Ketua Komite Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)