Reaktivasi Masyarakat Adat dan Mendekolonisasi Politik Desa
Untuk mentransformasi komunitas masyarakat adat menjadi desa adat merupakan pekerjaan yang cukup berat. Namun, yang paling penting dilakukan secara kontinu ke depan adalah mereaktivasi masyarakat adat dalam desa.
Oleh
ERNEST L TEREDI
·3 menit baca
Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi sebuah zeitgeist dalam membangun Indonesia dari pelosok. Ini berpijak kepada dua asas dalam preambul UU Desa. Pertama, asas rekognisi menekankan kepada pengakuan–desa diberi kemandirian, dengan menghargai dan mengakomodasi, baik itu ihwal sejarah maupun asal-usul desa. Kedua, asas subsidiaritas, yaitu adanya kewenangan bagi desa dalam merumuskan, menentukan, dan menetapkan kepentingan masyarakat desa.
Namun, UU Desa sebagai pawang kemajuan justru di tengah jalan mulai mengalami kerusakan mesin. Kerusakan itu bukan karena internal dalam UU Desa, melainkan beban berat yang hadir dalam pelbagai aturan turunan yang ada. Semua itu hanya menjalankan kepentingan dari berbagai kementerian sektoral. Persis pada titik demikian, UU Desa akhirnya terkeok dari misi idealnya.
Persoalan ini sering disebut sebagai menguatnya rezim birokratisasi dan teknokratisasi dari negara pada desa atau negaraisasi desa. Model, pola, dan praktik yang dilakukan oleh negara pada desa hadir dalam ragam cara, seperti adanya SGDs Desa, Sistem Informasi Desa, dan semacamnya (Bdk. Eko, 2021). Semua hal ini menghambat desa untuk bertransformasi karena dibebani dengan hiruk-pikuk penetrasi negara pada desa.
Beragam kebijakan memaksa desa untuk mengeluarkan diri dari keidealan kebijakan versi desa. Desa akhirnya hanya menjalankan apa yang diperintahkan negara. Hasilnya kita petik, kerumitan pemerintah desa dalam membuat laporan dan tata kelola anggaran yang ribet. Hal ini menghadirkan wajah buram bagi desa, yakni pembangunan salah sasaran, lemahnya pemberdayaan masyarakat desa, bahkan terjadinya korupsi pada tubuh pemerintahan desa.
Persoalan demikian disebut (Eko, 2015) desa menjalankan sesuatu dengan spirit ”melakukan hal yang salah dengan cara yang benar”. Dalam arti, desa melakukan sesuatu yang kontradiksi dengan masyarakat desa, tetapi ketika sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh negara, maka itu dikatakan benar. Jika desa tidak melaksanakan apa yang diperintahkan negara, maka akan masuk dalam catatan kesalahan kebijakan, dan akhirnya dimasukkan dalam bingkai korupsi, dan semacamnya.
Intervensi dan penetrasi negara atas desa merupakan sisa berpikir kolonialis. Menurut Eko (2015), negara bukan saja gagal dari niat, melainkan menundukkan dan melemahkan desa melalui praktik tersebut. Karena dengan adanya teknokratis-birokratis, otomatis rumusan desa yang sangat kontekstual dalam arti sesuai dengan artikulasi warga akan dipinggirkan dengan sendirinya.
Defisiensi pengetahuan
Apa yang menjadi kerumitan dalam tata kelola pembangunan desa saat ini sebenarnya itu sebagai kristalisasi dari cara negara yang kental dengan tradisi kolonial dalam memperlakukan desa. Sejak masa Orde Baru sudah ada defisiensi pengetahuan tentang desa. Negara memandang desa sebagai sesuatu masyarakat yang seragam, tunggal, dan tidak maju. Jadi biarkan negara mengurus mereka melalui syarat yang dikeluarkan negara.
Mekanisme ini bisa kita ilustrasikan dalam konsep (Foucault, 1973) sebagai ortopedi, di mana sebatang pohon yang bengkok diikat pada tiang yang lurus dengan tujuan untuk meluruskan kayu yang bengkok. Sejak di sinilah muncul apa yang disebut sebagai disiplin (discipline) untuk kepatuhan (docility) dan kegunaan (utility).
Pendisplinan untuk desa ini setidaknya muncul hingga kini, yakni hilangnya legitimasi komunitas masyarakat adat dalam berelasi dengan desa. Kalaupun berelasi, hanya sebatas sebagai partisan. Di sinilah kekaburan pemahaman terhadap masyarakat adat karena dengan adanya entitas desa seluruh Indonesia, maka itu seakan-akan eksistensi masyarakat adat di bawah desa.
Apa yang menjadi kerumitan dalam tata kelola pembangunan desa saat ini sebenarnya itu sebagai kristalisasi dari cara negara yang kental dengan tradisi kolonial dalam memperlakukan desa.
Inilah yang penulis sebut sebagai defisiensi pengetahuan tentang desa. Sebagai bukti konkret, dalam konteks UU Desa, maka masyarakat adat ditempatkan sebagai entitas yang partikular. Dengan demikian, mereka hanya sebatas berpartisipasi dan menyuarakan apa yang menjadi kepentingan masyarakat adat itu sendiri.
Padahal, kenyataannya ketika berbicara soal petani, nelayan, perempuan, dan pemuda, maka dalam konteks daerah tertentu di Indonesia, semua itu ada dalam bingkai masyarakat adat. Cara mereka bekerja dalam pertanian dan bernelayan tidak terlepas dari konsepsi mereka tentang adat.
Erica-Irene Daes, salah satu pakar dalam Deklarasi PBB 2007 tentang Hak-hak Masyarakat Pribumi (indigenous peoples), menjelaskan beberapa dimensi penting tentang masyarakat adat, yakni (i) suatu hubungan erat yang muncul antara masyarakat adat dengan tanahnya, teritori, dan sumber daya yang terdapat di dalam dan di atas tanah atau teritori mereka; (ii) hubungan ini memiliki berbagai dimensi sosial, kultural, spiritual, ekonomis, dan politik, dan juga mengimplikasikan adanya tanggung jawab; (iii) dimensi kolektif dari hubungan ini merupakan sesuatu yang sangat signifikan; dan (iv) aspek lintas-generasi dari hubungan semacam itu juga bersifat krusial bagi identitas masyarakat adat, dan bagi kelangsungan hidup serta kelanggengan (viabilitas) budayanya (Riyadi, 2017).
Reaktivasi masyarakat adat
Undang-Undang Desa mendefinisikan desa atau desa adat sebagai sebutan lainnya. Hingga kini, desa bisa menjadi sebuah desa adat selama ada peraturan provinsi dan kabupaten tentang pembentukan desa adat. Namun, peraturan daerah tersebut bisa dihitung dengan jari.
Meskipun pada kenyataannya untuk mentransformasi komunitas masyarakat adat menjadi desa adat merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang paling penting dilakukan secara kontinu menjadi perjuangan yang kronik ke depan adalah mereaktivasi masyarakat adat dalam desa. Tujuannya sederhana, agar masyarakat adat tidak menjadi domain, ruang, dan sirkuit dari negara dalam menjalankan program yang tidak sesuai dengan masyarakat adat itu sendiri yang akan menghilangkan dignitas dari masyarakat adat.
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah, pertama, mengaktivasikan kembali kesatuan masyarakat adat dalam tata kelola politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi pijakan kelompok masyarakat adat untuk memberi tuntutan politik di pemerintahan desa dan negara secara umum. Kedua, memetakan kembali aset-aset seperti tanah ulayat, hutan, dan sumber daya alam adat lainnya untuk dijaga oleh komunitas masyarakat adat. Ketiga, mengativasi pengetahuan adat secara umum untuk memperkuat konstruksi pemikiran masyarakat adat dan generasi selanjutnya.
Dengan memperkuat perjuangan masyarakat adat melalui tiga langkah tersebut, setidaknya masyarakat adat tidak menjadi korban negaraisasi pada masyarakat adat. Selain itu, perjuangan untuk pengakuan masyarakat adat dalam suatu bingkai undang-undang juga terus dilakukan untuk memperkuat masyarakat adat, bukan untuk mempermudah negara dalam akselerasi kekuasaannya di masyarakat adat.
Ernest L Teredi, Biro Politik, AMAN Nusa Bunga (Flores); Kordinator Devisi Penelitian di Rumah Baca Aksara Ruteng