Relasi Dollar AS dan Harga Minyak
Terlalu tingginya harga minyak dan harga komoditas lain serta indeks dollar AS tidak dapat bertahan dalam jangka panjang karena tidak sesuai dengan daya dukung perekonomian dunia.

Mata uang euro dan dollar AS.
Harga internasional berbagai komoditas pada umumnya dinyatakan dalam dollar AS, termasuk minyak mentah. Secara historis, harga minyak berhubungan terbalik dengan kekuatan mata uang dollar AS (Verleger; 2023). Bagi negara-negara pengimpor bersih minyak, hal ini memberikan semacam efek kompensasi parsial yang meringankan biaya impor minyak.
Hubungan terbalik ini terjadi karena untuk jangka waktu lama, tahun 1980 sampai 2020, Amerika Serikat masih pengimpor bersih minyak. Harga minyak yang naik akan membuat nilai impor minyak meningkat sehingga AS harus memompa dollar lebih banyak ke sirkulasi dunia sehingga membuat dollar melemah.
Relasi terbalik atau negatif ini berubah jadi searah sejak AS menjadi eksportir bersih minyak pada 2020 dengan ekspor 8,51 juta barel per hari (Farley; 2022). Sejak itu, peningkatan harga minyak cenderung membuat dollar AS menguat karena meningkatkan permintaan dunia terhadap mata uang dollar AS.
Perang Ukraina-Rusia yang sudah berlangsung setahun lebih makin memperkuat relasi positif ini. Sanksi ekonomi terhadap Rusia yang merupakan produsen minyak membuat permintaan terhadap minyak AS meningkat. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) hampir menyentuh 120 dollar AS per barel pada pertengahan Juni 2022.
Sanksi ekonomi terhadap Rusia yang merupakan produsen minyak membuat permintaan terhadap minyak AS meningkat.
Secara berantai, hubungan searah antara harga minyak dunia dan komoditas lainnya juga terjadi, baik melalui substitusi di rantai produksi maupun ekspektasi di bursa berjangka. Setelah harga minyak mencapai titik tertingginya, tak lama kemudian disusul oleh komoditas pangan dan energi.
Sebagai ilustrasi, harga gandum mendekati 13 dollar AS per gantang. Harga minyak sawit mentah (CPO) mencapai 7.000 ringgit per ton. Harga batubara mencapai puncaknya pada 460 dollar AS per ton, awal September 2022. Adapun harga gas alam tercatat 9,75 dollar per juta metrik british thermal unit (MMBTU).
Baca juga: Interaksi Ekspektasi dan Dilema Kebijakan

Foto diambil pada 31 Juli 2022 menggambarkan panen gandum di dekat Novoazovsk, Mariupol, Ukraina, di tengah aksi militer Rusia ke kawasan ini.
Lingkaran reaksi berantai
Inflasi global kemudian kembali ke perekonomian AS melalui rantai pasokan dunia sehingga inflasi dalam negeri mencapai puncaknya 9,1 persen pada Juni 2022. Inflasi yang tinggi ini disikapi oleh bank sentral AS (The Fed) dengan meningkatkan suku bunga acuan.
Dampaknya memperkuat apresiasi dollar AS karena modal yang kembali ke AS menambah eksodus modal akibat konflik Rusia-Ukraina. Indeks dollar AS mencapai angka 114 pada awal Oktober 2022.
Hal ini merupakan pukulan ganda bagi negara-negara berkembang yang merupakan importir bersih pangan dan energi. Tidak hanya harga komoditas yang melambung tinggi, tetapi nilai dollar AS juga menguat sehingga biaya impor dalam mata uang dalam negeri meningkat.
Terlalu tingginya harga minyak, komoditas yang lain, dan indeks dollar AS tidak dapat bertahan dalam jangka panjang karena tidak sesuai dengan daya dukung perekonomian dunia. Peluang resesi global makin meningkat terutama karena lokomotif dunia, seperti AS dan negara-negara zona euro, menaikkan suku bunga acuan untuk meredam inflasi. Hal ini berdampak juga pada kontraksi sisi produksi melalui jalur kredit modal kerja.
Terlalu tingginya harga minyak, komoditas yang lain, dan indeks dollar AS tidak dapat bertahan dalam jangka panjang karena tidak sesuai dengan daya dukung perekonomian dunia.
Indeks pembelian manajer (PMI) untuk sektor manufaktur di zona euro yang dikeluarkan oleh institusi S&P berada di zona kontraksi (di bawah 50) dan terus menurun dalam tiga bulan pertama di 2023. Pada Maret 2023, posisinya 47,3. Hal yang sama juga terjadi di Inggris, di mana posisi PMI manufaktur terkini tercatat pada 47,9. Hanya AS yang PMI manufakturnya, setelah terkontraksi lima bulan berturut-turut, kembali ke angka ekspansi pada 50,4 pada April.
Kompleksitas ini membuat usaha untuk menurunkan inflasi memakan waktu lama sehingga dibutuhkan kenaikan suku bunga acuan beberapa kali. Untuk AS dibutuhkan sembilan bulan untuk menurunkan inflasi secara konsisten dari puncaknya pada Juni 2022 ke 5 persen pada Maret 2023.
Di zona euro, inflasi malah naik dulu dari ke 10,6 persen pada Oktober 2022 karena output gap (permintaan dibanding sisi produksi) yang melebar sebelum turun ke 6,9 persen pada Maret 2023. Inggris merupakan pengecualian, di mana persistensi output gap membuat inflasi tetap bertahan di tingkat double-digit 10,1 persen.
Baca juga: Dogma Kurva Phillips dan Pelajaran SVB

Nasabah berbaris di depan kantor cabang Silicon Valley Bank pada 13 Maret 2023, di Wellesley, AS. Secara mendadak terjadi krisis pada industri perbankan di AS.
Hal yang menarik, rentetan kenaikan suku bunga acuan ini meningkatkan ekspektasi resesi dan memicu krisis perbankan di AS. Ini adalah dua faktor penting yang turut berkontribusi menurunkan inflasi global melalui jalur pasar berjangka minyak dan komoditas.
Harga minyak WTI anjlok di bawah 70 dollar AS per barel kemudian naik lagi ke kisaran 80 dollar AS. Pekan lalu, hatganya kembali anjlok ke sekitar 75 dollar AS. Adapun minyak Brent ada pada posisi 80-an dollar AS per barel.
Harga komoditas lain pun menyusul turun. Harga gandum di pasar komoditas berjangka, misalnya, turun di bawah 6,5 dollar per gantang yang merupakan harga terendah dalam 21 bulan terakhir. Harga CPO minggu lalu berada di bawah 3.500 ringgit per ton. Adapun harga batubara sebagai salah satu sumber energi sudah turun ke sekitar 190 dollar AS per ton.
Dampak global
Faktor-faktor di atas juga mempercepat penurunan indeks dollar AS mendekati angka netral 100. Tren ini diperkuat oleh arus modal portepel yang kembali melirik negara-negara emerging, termasuk Indonesia. Pada akhir September 2022, indeks dollar AS sempat mencapai 114, tetapi kemudian berangsur turun ke kisaran 101-102 pada Maret-April 2023.
Relasi searah dollar AS dan harga minyak ini juga menimbulkan masalah baru.
Di sini korelasi positif antara harga minyak dan indeks dollar AS berbalik meringankan beban negara-negara lain. Namun, relasi searah dollar AS dan harga minyak ini juga menimbulkan masalah baru, yaitu fluktuasi siklus komoditas antara masa berlimpah (boom) dan paceklik (bust) menjadi melebar.
Selain ketegangan geopolitik, faktor ini juga menjadi pertimbangan untuk melakukan diversifikasi alat pembayaran luar negeri, tak lagi semata bergantung pada dollar AS. Idenya meminjam dari model nilai tukar efektif (Meese dan Rogoff; 1996) yang mirip diversifikasi risiko berdasarkan pembobotan nilai perdagangan dengan beberapa mitra terbesar (trade-weighted effective exchange rate).

Negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) membawa ide ini lebih jauh ke arah dedolarisasi, mencari alternatif mata uang untuk transaksi internasional. Usaha mengurangi fluktuasi nilai tukar ini sudah dilakukan Indonesia dalam bentuk local currency settlement.
Perekonomian dalam negeri yang tumbuh berbasis mobilitas berorientasi rupiah merupakan bantalan terhadap apresiasi dan fluktuasi dollar AS. Walaupun terdepresiasi di akhir November 2022, rupiah dapat bertahan di bilangan Rp 15.700-an per dollar AS.
Indeks dollar AS dan harga minyak yang turun kemudian membalikkan momentum. Sejak Januari 2023, rupiah kembali menguat ke arah ekuilibrium idealnya. Sampai akhir minggu lalu sudah mencapai Rp 14.800-an per dollar AS.
Tren ini membuat inflasi yang diimpor tetap terkendali selama triwulan I-2023. Inflasi bulan Maret, misalnya, turun ke 4,97 persen dari 5,47 persen pada sebelumnya. Hal ini merupakan landasan untuk mempertahankan momentum pertumbuhan dalam negeri pada 2023, mengantisipasi perlambatan pertumbuhan AS sebagai lokomotif dunia.
*Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia