Kiamat Politik Identitas
Isu politik identitas di India pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Menurut Bawaslu, tren penggunaan politik identitas tetap terbuka pada Pemilu 2024. Jangan anggap enteng, jika tereskalasi akan sulit dihentikan.
Khushwant Singh, jurnalis, sejarawan, dan politikus India, menulis sebuah buku yang kemudian menjadi kontroversial, The End of India (2003). Buku itu membicarakan masa depan suram negara yang dihuni 1,4 miliar penduduk itu.
Menurut Singh, India sedang berjalan ke arah yang salah sebagai bangsa yang besar. ”Aku lihat bangsa ini sedang menuju kiamat”, tulisnya dengan nada ramalan. Buku itu ditulis merespons dampak buruk kerusuhan anti-Muslim di Gujarat 2002.
Tragedi Gujarat itu merupakan resultan dari belum selesainya nasionalisme India dalam memahami keberagaman yang dimiliki dengan populasi kedua terbesar di dunia dan jumlah Muslim terbesar ketiga. India menjadi negara bagi minoritas Muslim terbesar di dunia.
India, menurut Singh, telah dihantam berbagai bentuk tragedi kemanusiaan berbasis agama. Hal itu terlihat sejak partisi dengan Pakistan pada 1947, kerusuhan anti-Singh 1984, aksi terorisme di Punjab dan Kashmir, dan terakhir kerusuhan di Gujarat—salah satu titik genealogi Islam di Nusantara.
Baca juga : Menjaga Indonesia dari Politik Identitas
Baca juga : Eufemisme Politik Identitas
Penulis pernah menyaksikan penampungan para pengungsi dan mendengar kisah kelam Muslim di Gujarat pada 2006.
Salah satu yang menyebabkan India masih gamang untuk menjadi negara-bangsa yang menaungi lebih dari 600 etnik dan bahasa ada pada identitas nasionalismenya.
Menurut Singh, Mahatma Gandhi mengonsepsionalisasi India sebagai negara sekuler dengan berbasiskan hinduisme sebagai identitas bangsa. Namun, Jawaharlal Nehru menginginkan India tegak sebagai negara sekuler untuk memberikan perlindungan pada keberagaman yang setara.
”Akhirnya, menurutku Gandhi keliru dan Nehru yang benar!”, tulisnya. Singh juga mengkritisi keberadaan Bharatiya Janata Party (BJP), parpol sayap kanan, yang terus memanaskan sentimen Hindu dalam mobilisasi politiknya.
Ilustrasi
Dampak politik identitas
Kejadian terbaru yang dengan cepat tersebar di seluruh dunia adalah pembunuhan mantan politikus dan pengacara dari Negara Bagian Uttar Pradesh, Atiq Ahmed, dan saudaranya, Ashraf, pada Sabtu, 15 April 2023, malam.
Kasus itu terjadi di kota Prayagraj atau dikenal dengan nama Allahabad. Allahabad adalah kota tempat kelahiran beberapa mantan perdana menteri India, seperti Jawaharlal Nehru, Lal Bahadur Shastri, Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, dan VP Singh.
Kasus ini viral karena ia dibunuh ketika sedang diwawancarai sejumlah wartawan televisi dengan pengawalan polisi. Sejumlah penembak juga tergabung dalam rombongan wartawan. Setelah membunuh, sang penembak meneriakkan ”Jai Shri Ram” (Hiduplah Dewa Rama!), yang menunjukkan bahwa pembunuhan itu memang bermotifkan sentimen agama.
Lima hari sebelumnya, seorang pendeta anti-Muslim, Yati Narsinghanand, membuat pidato bernada provokatif yang menyebut umat Hindu harus merebut Kabah, Mekkah, untuk mengecilkan peran umat Islam di dunia. ”Jika kalian tidak merebut Makkeshwar Mandir (Kabah), maka tidak ada kekuatan bumi yang dapat mengalahkan Islam,” ujarnya.
Apakah peristiwa itu berkorelasi? Dalam konteks perkembangan media informasi dan digital saat ini, semua hal beresonansi dengan cepat, apalagi konteks sosial-politik sebuah negara ikut menjadi percakapan masif warganya.
Sebenarnya hal itu semakin signifikan jika dilihat beberapa tahun belakangan konfigurasi politik nasional di India semakin buruk oleh isu-isu sentimen agama, terutama Hindu-Muslim.
Sebelumnya juga terjadi larangan bagi mahasiswi Muslim berhijab masuk ke kampus. Kontroversi ini mengemuka ketika disebutkan bahwa hijab tidak melambangkan representasi identitas India yang sebenarnya. Beberapa hujatan dilontarkan untuk meminta mereka ”pulang”, pergi ke Pakistan atau Bangladesh saja, dua negara yang sebelumnya juga merupakan bagian dari India.
Apa yang terjadi di India adalah sesuatu yang bisa sangat terbuka terjadi di belahan dunia mana pun ketika kebebasan dan demokrasi diartikan secara negatif, termasuk di Indonesia.
Efek kepakan kupu-kupu
Apa yang terjadi di India adalah sesuatu yang bisa sangat terbuka terjadi di belahan dunia mana pun ketika kebebasan dan demokrasi diartikan secara negatif, termasuk di Indonesia. Titik paling ekstremnya ketika masyarakat dalam konstruksi negara-bangsa tidak siap hidup harmoni dalam perbedaan.
Isu politik identitas memang semakin menguat menjadi puting beliung yang awalnya adalah kepakan kupu-kupu. Isu seperti itu bisa terus tereskalasi hingga suatu saat sampai pada titik yang tidak mudah dihentikan lagi.
Klaim bahwa setiap etnik, komunitas, dan agama, termasuk sistem kepercayaan, berhak untuk memelihara dan mengembangkan identitas sosio-kultural sebagaimana termaktub dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi-Sosial-Budaya akhirnya bisa mematikan.
Politik chauvinisme dan ekslusivisme awalnya berakar dari politik identitas yang kemudian bertunas menjadi praktik negasi terhadap pihak berbeda.
Seminar nasional yang dilaksanakan Lemhannas menyambut yudisium Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 63, pada Agustus 2022, telah melihat bahwa politik identitas awalnya diterima sebagai rekognisi dan preservasi kultural, tetapi di sirkuit pertemuan politik ia menjadi tragedi kemanusiaan yang menghanguskan nilai-nilai integrasi bangsa.
Tantangan itu mulai terlihat nyata dan bisa menjadi perulangan sejarah buruk Pemilu 2014 dan 2019, ketika anak bangsa tersegregasi dalam pertautan politik identitas secara destruktif.
Ilustrasi
Presiden Joko Widodo yang menjadi pembicara kunci dalam seminar itu menyebutkan bahwa pemilu serentak 2024 harus menjadi model dari pengelolaan demokrasi yang semakin matang. Menurut Presiden Jokowi, Pemilu 2024 dan 2029 harus menjadi momentum konsolidasi demokrasi, dengan mengadopsi teknologi digital secara bertanggung jawab dan dilaksanakan secara lebih tenang, aman, dan damai.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melihat bahwa tren penggunaan politik identitas sebagai model komunikasi dan mobilisasi politik tetap terbuka pada Pemilu 2024. Hal-hal seperti seharusnya, tidak hanya diyakini, tetapi diperlukan terapi kejut yang tepat melalui perangkat hukum yang bisa secara cermat digunakan untuk pencegahan dan penanganan pelanggaran.
Saat ini, dari 66 pasal (Pasal 488 hingga 554) tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 belum ada yang bisa digunakan dalam penanganan kasus penggunaan isu politik identitas sehingga diperlukan kehadiran peraturan Bawaslu khusus untuk menanganinya.
Terlepas dari itu, alert yang telah kita dapatkan dari kasus India jangan dianggap sepele. Sebagai negara nomor dua paling beragam di dunia dari segi etnik, bahasa, dan agama lokal, Indonesia adalah surga kultural yang akan menghadirkan antusiasme dunia, baik untuk kepentingan pengembangan riset, pariwisata, investasi bisnis, maupun perjumpaan kebudayaan secara global.
Namun, ia bisa menjadi kiamat ketika ditransfer menjadi energi negatif untuk memecah belah dan kepentingan pragmatis pilkada, pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden. Hasrat untuk menang kerap mudah merontokkan etika dan norma, termasuk memanipulasi identitas kultural dan agama, untuk banalitas politik dan kekuasaan.
Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikussaleh