Karya Chairil Anwar dan Abdullah Idrus sudah dikenal dunia, tetapi perlu terus ditingkatkan. Anak Idrus, Rick Idrus, misalnya, mempersiapkan antologi dwibahasa berisi 30 puisi Chairil, 22 di antaranya pilihan Idrus.
Oleh
NOVITA DEWI
·3 menit baca
Sepanjang tahun 2022, Indonesia merayakan 100 Tahun Kelahiran Chairil Anwar dengan penerbitan, kompetisi baca-tulis, seminar, dan aneka gelaran perpuisian khusus tentang penyair berdarah Minangkabau ini. Setahun sebelumnya, tepatnya pada 22 September 2021, sastrawan seangkatan Chairil yang juga berasal dari keluarga berlatar belakang budaya asli Sumatera Barat, Abdullah Idrus, juga dikenang seabad kelahirannya.
Serangkaian acara dihelat oleh Program Bahasa Indonesia di Australian National University (ANU). Idrus Prize diperebutkan pada kompetisi menulis/membaca prosa internasional bagi pelajar Indonesia di Australia.
Setelah 100 tahun, kedua nama sastrawan ini tetap menggema di jagat sastra. Chairil merupakan penyair Indonesia pertama yang menerbitkan karya sebagai penulis tunggal untuk dinikmati oleh pembaca Amerika sejak awal 1960-an (Raffel, 1964). Idrus menggoreskan penanya dalam bahasa Indonesia yang kelak dipakai sebagai bahasa komunikasi, edukasi, dan sekaligus bahasa persatuan Indonesia.
Setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu sekitar September-Oktober 1945, penerbit Balai Pustaka dikuasai oleh pemuda-pemuda Republik dan lahirlah majalah baru Pantja Raj yang kerap memuat karya Chairil dan Idrus (Cove, 2015). Bersama sejumlah penulis muda, keduanya merupakan arsitek Angkatan ’45.
Gerakan sastra revolusioner ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia modern. Tepatlah yang dikatakan HB Jassin, paus sastra Indonesia, bahwa pendudukan Jepang di Hindia Belanda telah melahirkan dua raksasa sastra Indonesia, yakni penyair Chairil Anwar dan penulis karya prosa Idrus.
Chairil dan Idrus berkawan baik dan memiliki beberapa persamaan selain darah Minang yang mengalir dalam tubuh mereka. Chairil seorang otodidak dan menguasai setidaknya lima bahasa Eropa yang dibuktikan dengan terjemahan dan adaptasi yang dihasilkan Chairil atas karya Hemingway, TS Eliot, Lorca, Du Peron untuk menyebut beberapa saja. Pengaruh penulis Barat inilah yang membuat puisi-puisi Chairil sempat dianggap berbau plagiasi.
Seperti halnya Chairil, paparan budaya kosmopolitan Barat dialami oleh Idrus. Keduanya akrab dengan karya penyair Belanda Slauerhoff yang dimunculkan sebagai tokoh dalam cerpen Idrus berjudul ”Aki”.
Chairil dan Idrus fasih berbahasa asing, tetapi tetap mencintai budaya Minangkabau yang mewarnai cara mereka berkisah: lugas, terus-terang, dan tajam. Mereka saling bertukar pengaruh, menurut Slamet Riyadi Idrus, putra Idrus, yang menjadi salah satu pembicara pada webinar di ANU dua tahun yang lalu.
Idrus mengalihbahasakan puisi-puisi Chairil Anwar untuk menggaungkan suara dan cita rasa budaya Minangkabau agar dipahami oleh pembaca sasaran, yaitu khalayak berbahasa Inggris.
Sebagai perintis prosa Indonesia modern, Idrus tidak ragu bermaklumat bahwa hanya dia yang bisa membaca pikiran Chairil dengan baik. Hanya dia yang bisa mengetahui dan menjelaskan secara komprehensif apa yang dimaksud Chairil dalam puisi-puisinya. Hanya dia yang pertama kali menulis sebuah naskah akademik tentang Chairil.
Idrus yang bermukim di Australia sejak 1965 memperoleh gelar Master of Arts dari Universitas Monash Australia dengan tesis tentang isi puisi Chairil Anwar. Tesis tertanggal Juli 1975 ini terdiri dari 45 halaman, dilampiri dengan 56 halaman yang berisi 32 buah puisi yang diteliti. Setiap puisi dilengkapi dengan analisis, interpretasi, terjemahan, dan parafrase.
Burton Raffel, penerjemah pertama semua puisi Chairil, ”hanya” memperhatikan teknik penulisan Chairil, bukan maknanya, jelas Idrus dalam tesisnya. Idrus mengalihbahasakan puisi-puisi Chairil Anwar untuk menggaungkan suara dan cita rasa budaya Minangkabau agar dipahami oleh pembaca sasaran, yaitu khalayak berbahasa Inggris.
Pertemuan Chairil Anwar dan Abdullah Idrus tidak lama, sekitar tiga tahun. Chairil keburu meninggal karena sakit pada 28 April 1949 yang kemudian dijadikan Hari Puisi Nasional. Sembilan windu lebih telah berlalu sejak hari berpulangnya Sang Maestro.
Chairil sering dianggap identik dengan Si Binatang jalang dalam puisi ”Alu”—terbuang dari kumpulannya dan ingin hidup seribu tahun lagi. Benarkah demikian? Tidakkah kepergiannya pada usia yang relatif muda meninggalkan banyak tanda tanya? Bukankah Chairil juga seorang guru kehidupan yang punya empati dan kedalaman?
Dua Idrus menguak Chairil
Karya Chairil dan Idrus sudah dikenal dunia, tetapi perlu terus ditingkatkan. Peningkatannya dapat dilakukan melalui alih wahana atau penerjemahan yang terus-menerus diperbaiki. Lebih dari sekadar proses sekunder untuk berkomunikasi, penerjemahan merupakan sarana untuk memperkenalkan gagasan baru dan bentuk ekspresi lintas budaya.
Slamet Riyadi atau akrab dipanggil Rick Idrus telah lama menaruh minat untuk menduniakan sastra Indonesia bagi pembaca internasional. Terinspirasi oleh buku The Rubayat of Omar Khayam karya Edward Fitzgerald yang terus menghibur pembaca berbahasa Inggris, Rick bertekad untuk memperluas cakrawala para penggemar puisi Chairil Anwar. Upaya Rick yang menetap di Gilmore, Australia, ini untuk menyempurnakan terjemahan sang ayah patut diapresiasi.
Antologi dwibahasa yang sedang dipersiapkan Rick Idrus bersama penerbit berisi 30 puisi Chairil Anwar, 22 di antaranya adalah pilihan Idrus senior yang diteroka dalam tesis magisternya.
Rick telah menerbitkan sebuah novel berjudul Klise dan sekitar 50 artikel dan esai sastra di majalah dan surat kabar seperti Topic, Asia Week, The Jakarta Post, The Sydney Morning Herald, dan Tempo. Seperti ayahandanya, Rick berniat menggali kepekaan Minangkabau seorang Chairil Anwar untuk pembaca internasional.
Antologi dwibahasa yang sedang dipersiapkan Rick Idrus bersama penerbit berisi 30 puisi Chairil Anwar, 22 di antaranya adalah pilihan Idrus senior yang diteroka dalam tesis magisternya. Sekadar contoh, kata duka pada puisi ”Nisan” diterjemahkan dalam tesis Idrus dengan sorrow. Oleh Rick Idrus, kata ini diganti dengan pity.
Chairil tidak ”sedih”, tetapi ia iba terhadap neneknya. Nenek tidak menolak kematian, tetapi berjuang mati-matian melawan getirnya kehidupan. Pilihan kata yang berkonotasi belarasa tersebut memberi pesan bahwa sebagai penyair yang kerap dianggap urakan, jenaka, dan sinis, Chairil juga berhati lembut. Terjemahan baru Rick Idrus secara tepat menyampaikan kepekaan ini kepada pembaca.
Chairil gemar menggunakan kata-kata asing dalam puisinya. Mengingat bahwa antologi dwibahasa ini berorientasi kepada pembaca internasional, kosa kata Belanda sonder dalam puisi ”Kepada Kawan” diterjemahkan menjadi sans dalam ”To a Friend” untuk mempertahankan niat Chairil. Orang Inggris, menurut Rick Idrus, cenderung memilih bahasa Perancis setiap kali mereka harus menggunakan kata-kata dalam bahasa asing.
Semoga antologi ini secepatnya dapat dinikmati pembaca menjelang peringatan 44 tahun wafat Abdullah Idrus pada 18 Mei mendatang. Penulisan dalam bentuk apa pun tentang pengarang besar seperti Chairil Anwar tentu membantu kita menjangkau pengalaman langsung dan sentimentalitas sang penyair yang dirawi untuk pembaca puisi-puisinya. Impian Idrus menguak Chairil adalah impian bersama untuk menjadikan sastra Indonesia bagian dari sastra dunia.