Generalisasi/kesimpulan bahwa puisi/sastra lama bersifat anonim, tidak jelas siapa pengarangnya, adalah tidak benar. Pernyataan itu benar bagi karya sastra Indonesia lama prapengaruh Islam, seperti dongeng atau mantra.
Oleh
SUKRON KAMIL
·6 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda ketika pemuda Indonesia pada 1928 menyatakan berbahasa satu bahasa Indonesia, tulisan ini akan menganalisis soal generalisasi sastra Indonesia lama yang agaknya keliru. Tujuannya, untuk menempatkan bahasa dan sastra Indonesia pada tempatnya, demi pengagungan dan pemeliharaan bahasa dan sastra Indonesia, karena isu itu diajarkan kepada siswa Indonesia sejak SD, paling tidak sejak SLTP.
Sebagaimana yang bisa dibaca dari berbagai literatur sastra, sastra Indonesia lama dipandang sebagai kebalikan sastra Indonesia modern yang ditandai dengan lahirnya Angkatan Balai Pustaka, terutama Pujangga Baru. Jika sastra Indonesia baru tidak anonim, progresif, dinamis, individualis, berbasis bahasa dalam fakta, dan idealis, sastra Indonesia lama sebaliknya. Jika sastra Indonesia baru temanya adalah perjuangan, emansipasi, rasa kebangsaan, kepincangan hidup dalam masyarakat, dan falsafah hidup berbasis rasionalisme, sastra Indonesia lama sebaliknya.
Asal-usulnya agaknya bersumber dari pandangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang pandangannya lebih clear lagi. Menurut dia, sastra Indonesia lama demikian karena masyarakatnya yang komunal, yang hidup dalam persatuan yang rapat, pergaulan dengan bangsa lain yang tidak seberapa, tidak berani memutuskan diri dari ikatan, terutama ikatan adat istiadat. Karena itu, juga semuanya menjadi milik bersama.
Menurut Denys Lombard, apa yang saat ini sering disebut berasal dari Eropa yang modern sesungguhnya benih-benihnya sudah ditanam oleh Islam. Di antaranya paham individualisme, yaitu munculnya konsep pribadi atau individu.
Pandangan ini tampak dalam puisi-puisi Hamzah Fansuri. Di dalamnya disebut kata ”diri” dalam pengertian perorangan, yang makna pertama dari kata diri adalah berdiri tegak, yaitu dalam baris puisinya: ”Wahai muda kenali dirimu”. Juga dalam baris puisi: ”Hai Muda” Arif Budiman, dan Hamzah Fansuri di dalam ”Makkah”. Karya Hamzah Fansuri, seperti dalam Syair Perahu di atas, ditulis juga atas nama diri Hamzah Fansuri sendiri.
Karena itu, generalisasi/kesimpulan bahwa puisi/sastra lama bersifat anonim, tidak jelas siapa pengarangnya, tidak benar; sebagaimana diakui Braginsky dan juga A Johns. Pernyataan itu benar bagi karya sastra Indonesia lama prapengaruh Islam, seperti dongeng atau mantra, terutama cerita rakyat (foklor) yang berbasis kelisanan. Namun, tidak untuk karya-karya sastra/puisi seperti milik Hamzah Fansuri yang secara jelas-jelas mencantumkan nama penulisnya. Juga Syair Abdul Muluk karya Saleha, saudara Raja Ali Haji; prosa seperti Hikayat Syah Mardan yang ditulis oleh Syekh Muhammad Asyik Abd al-Fakar; Sejarah Melayu ditulis oleh Tun Seri Lanang; Hikayat Bayan Budiman oleh Kadi Hasan; Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham dikarang Syekh Abu Bakar; dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada masa sastra pengaruh Islam jelas sudah lahir konsep kepengarangan pribadi.
Secara bentuk, sastra Islam (sastra Indonesia lama pengaruh Islam) juga bisa dipandang modern, dilihat dari sisi bahwa bentuk bukan segalanya. Konsep keindahan sastra Melayu Islam terletak kepada keharmonisan bentuk bahasa/pengucapan yang memberi kesan/kesenangan pada jiwa karena adanya keserasian (tercapainya sesuatu yang serasi/simetris bagi jiwa), bahkan bercorak musik, dan juga keharmonisan antara bahasa (lafaẓ) dan isi/ide (makna).
Sastra pun bisa dipandang emosi yang diintelektualkan. Perubahan dari pantun ke syair juga memperlihatkan asumsi bahwa bentuk bukan segalanya.
Perubahan itu telah membebaskan para penyair dari keharusan adanya permainan bahasa yang tidak perlu untuk memberi ruang lebih banyak pada isi, adanya syair setengah bebas dengan tidak harus terikat pada jumlah suku kata 8-12 dan tidak terikat pada jumlah baris setiap baitnya harus empat. Juga pengayaan sastra dengan mendestruksinya lewat kemungkinan memasukkan banyak kosakata Arab ke dalam sastra, sebagaimana sastra modern Indonesia didestruksi dengan memasukkan kosakata asing bahasa Barat modern.
Terlebih lagi secara isi, sastra Islam Indonesia/Melayu lama, dalam banyak hal, bisa dipandang modern.
Terlebih lagi secara isi, sastra Islam Indonesia/Melayu lama dalam banyak hal bisa dipandang modern. Di dalamnya ada banyak unsur isi dan plot yang memompakan semangat perubahan (dinamika/transformasi sosial), yang dalam literatur sastra dan ilmiah modern/kontemporer masih dibahas, dijadikan wacana (diperdebatkan secara ilmiah), dan dianjurkan, baik di Timur maupun di Barat.
Ada banyak fakta isi/gagasan yang terdapat di berbagai karya sastra Indonesia/Melayu lama yang membuktikan asumsi/kesimpulan itu. Di antaranya bisa dirujuk kepada ajaran ihsān (berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk) dalam hikayat Nabi Yusuf. Gagasan ini masih relevan dengan anjuran para ahli rekonsiliasi (resolusi konflik) kontemporer yang menekankan gagasan bahwa kekerasan jangan dilawan dengan kekerasan lagi karena itu akan melahirkan kekerasan kembali.
Juga adanya kenyataan teks yang hampir sama dengan teori kontrak sosial dalam teori politik modern meski lebih sebagai perjanjian sosial sukarela, sebagaimana disebut dalam Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Isinya anak negeri (rakyat) bersumpah setia kepada raja, sementara raja bersumpah untuk tidak memperhina anak negeri dengan menjunjung tinggi hukum (syari’at).
Misalnya. harus berbuat adil kepada rakyat, tidak menyentuh segala milik anak negeri, dan tidak menjatuhi hukuman bagi mereka tanpa pemeriksaan yang cermat (tanpa proses perdailan). Jika dilanggar, diyakini kerajaannya akan binasa seperti yang dialami Raja Malaka pertama yang diserang Majapahit. Ia sebelumnya telah menjatuhkan hukuman mati kepada salah seorang selirnya karena difitnah berzina.
Bahkan, dalam teks sastra Indonesia lama, pengaruh Islam terdapat plot land reform, isu yang terdapat dalam pemikiran sosialisme modern. Tepatnya plot pembagian harta Fir’aun dan elite Mesir lainnya kepada kaum Bani Israil yang dilakukan oleh Nabi Musa dalam kisah Nabi Musa.
Plot ini mengingatkan kita kepada sastra modern/kontemporer Arab, seperti Kifah Thibah dan Aulad Haratina Najib Mahfuzh. Juga mengingatkan kita kepada sastra-sastra realis historis dan realis sosiologis modern lainnya di Barat modern yang mementingkan trasformasi sosial. Juga wacana mengenai sikap tidak peduli terhadap ketidakadilan akan melahirkan bencana bagi para pelakunya seperti yang dialami Nabi Ayyub dalam kisah Nabi Ayyub.
Bahkan, sikap itu bisa melahirkan kekacauan sosial karena akan merajalelanya ketidakadilan yang tidak sesuai dengan prinsip keseimbangan/keadilan sebagai hukum alam dan sosial. Plot ini sejalan dengan demokrasi sebagai sistem politik modern yang mendorong terjadinya check and balance oleh rakyat dan juga pilar-pilarnya seperti CSO (civil socitey organization).
Di dalam sastra Indonesia lama juga dipentingkan keharusan para elite politik berintegritas dengan tidak melakukan korupsi, yang ditekankan dalam Hikayat Wasiat Luqman al-Hakim yang diperkuat oleh sastra adab Tāj as-Salāṭīn Bukhari al-Jauhari. Disebut penting/mendesak karena sikap berintegritas lebih penting ketimbang ilmu karena sikap tidak berintegritas akan menghancurkan diri pelaku, masyarakat, dan negara, sebagaimana pandangan Bukhari al-Juhari dalam Tāj as-Salāṭīn dan Peter F Drucker dalam ilmu manajemen modern.
Feminisme juga terdapat dalam karya Bukhari al-Jauhari, Taj as-Salāṭīn. Pandangannya berbeda dengan pandangan ulama Mekah yang konservatif. Baginya, saat keturunan raja yang laki-laki tidak ada, maka perempuan boleh menjadi ratu, yang kemudian dipraktikkan dalam sejarah Islam di Aceh. Bahkan, pandangan itu juga cenderung dibolehkan oleh ar-Raniri seperti tampak di bagian akhir Bustān as-Salatin.
Dalam Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Raja-raja Melayu juga terdapat gagasan pentingnya penguasaan laut lewat pelayaran, baik dalam tradisi Majapahit maupun dalam tradisi kerajaan Islam Melayu. Ini mengingatkan kita kepada gagasan Pramoedya Ananta Toer dalam berbagai prosa sastra modernnya.
Lebih jauh, berdasarkan teks sastra Islam Indonesia/Melayu lama ini juga, lagi-lagi Denys Lombard berkesimpulan bahwa Islam membawa serta struktur masyarakat baru berbasis niaga, meninggalkan struktur masyarakat berbasis pertanian yang menjadi basis ekonomi Indonesia di bawah pengaruh Hindu dan Buddha. Paling tidak, itu terjadi di Indonesia pesisir sebagai pusat-pusat Kerajaan Islam. Kesimpulannya ini didasarkan, di samping pada diberlakukannya mata uang emas dan perak, terutama kepastian niaga berdasaran hukum yang berlaku yang tampak dalam undang-undang sebagai bagian dari sastra Indonesia lama pengaruh Islam.