Inti demokrasi adalah merawat perbedaan yang disebabkan oleh kepentingan, pilihan politik, agama, suku, dan budaya. Idul Fitri merupakan momen yang dapat merawat perbedaan itu agar tidak mengalami benturan tajam.
Sekilas, judul tersebut terkesan kontras. Sebab, Idul Fitri merupakan perayaan kemenangan umat Islam setelah satu bulan penuh melawan hawa nafsu. Puncaknya pada 1 Syawal ketika umat Islam diperbolehkan untuk melakukan sesuatu di siang hari yang sebelumnya dilarang. Mulai dari makan, minum, hingga berhubungan suami-istri. Sementara itu, demokrasi merupakan nilai-nilai dalam rangka menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang disertai dengan prinsip keadilan dan kesetaran menuju kesejahteraan bersama.
Akan tetapi, meski Idul Fitri dan demokrasi berbeda, ada irisan yang dapat dipertemukan di antara keduanya. Idul Fitri dapat menjadi penguat praktik demokrasi karena nilai-nilai kebersamaan, juga komunikasi di dalamnya. Idul Fitri menjadi momentum yang mempertemukan perbedaan pandangan dalam forum silaturahmi baik antar saudara, teman, hingga musuh sekalipun. Perbedaan tersebut akan dikesampingkan bagi pribadi yang ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk merayakan lebaran.
Idul Fitri secara bahasa berarti kembali suci. Orang yang puasanya diterima oleh Allah SWT laksana anak yang baru lahir, bersih dan suci dari segala macam dosa. Berlebaran berarti merayakan kembalinya pada ‘kesucian baru’ setelah fisik dan mental digembleng melalui berbagai ibadah selama satu bulan. Setiap muslim merayakan Idul Fitri dengan gegap gempita untuk menunjukkan bahwa dirinya telah lulus dari ujian berat selama bulan Ramadhan.
Beragam cara bisa digunakan untuk menunjukkan ‘pesta kelulusan’ tersebut. Salah satunya, dengan bertemu saudara, teman, sahabat dan tetangga. Tidak cukup hanya bertemu dan bersalaman, namun sebagian juga menyediakan hidangan makanan yang siap disantap sewaktu-waktu.
Momentum bertemu dan silaturahmi menjadi ruang yang sangat penting dalam membangun hubungan. Silaturahmi dapat mempererat persaudaraan, mencairkan ketegangan, dan bahkan dapat mempertemukan berbagai perbedaan. Saat itu, orang-orang saling bersalaman, serta meminta dan memberikan maaf. Setiap insan ingin menunjukkan ‘kepantasan’ bahwa ia sudah benar-benar fitri di hadapan orang lain.
Momen seperti ini terus berlanjut dalam forum formal. Berbagai kantor, perusahaan, lembaga publik, Ormas, partai politik, bahkan di tingkat RT/RW, merayakan acara tahunan yang disebut Halalbihalal. Mereka berada dalam satu forum untuk saling menyapa, senyum, dan bermaafan. Tidak jarang hingga menghadirkan penceramah untuk meyakinkan dan menjelaskan arti pentingnya silaturahmi.
Halalbihalal dapat mempertemukan perbedaan karena perbedaan pilihan politik dalam satu forum, bahkan satu meja. Dalam banyak kasus, kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh kaum muslim saja bahkan semua agama. Bahkan instansi yang dipimpin oleh non-muslim juga menyelenggarakan Halal bihalal.
Silaturahmi pun menjadi agenda wajib. Beberapa di antaranya digunakan sebagai momen koordinasi dan pembinaan oleh pimpinan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena pegawai atau karyawan setelah Idul fitri memiliki kecenderungan sulit move on setelah terbawa libur yang cukup panjang
Persaudaran
Idul Fitri bukan hanya bermakna acara ritual melainkan memiliki nilai sosial yang tinggi. Idul Fitri juga bermakna sebagai pondasi persaudaraan, persahabatan dan persatuan. Persatuan yang kuat merupakan modal dalam menjalankan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia yang memiliki penduduk besar, wilayah yang luas, dan beragam suku, memerlukan modal persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat tidak dapat berjalan sendiri tanpa melalui instrumen dan pranata sosial yang mapan. Idul Fitri merupakan salah satu instrumen utama yang dapat memperkuat pranata sosial itu. Dengannya, kebhinnekaan atau keberagaman bangsa dapat terawat hingga sekarang.
Tradisi mudik yang cukup kuat setiap perayaan Idul Fitri merupakan manifestasi dari semangat menjaga persaudaraan, persahabatan dan cinta pada tanah leluhur. Melalui tradisi mudik, momen silaturahmi antar masyarakat tetap terjaga. Tradisi ini berkontribusi pada penguatan kohesi sosial yang tercerabut karena urbanisasi, industrialisasi, dan modernisasi. Mudik Idul Fitri merupakan momentum yang terus dijaga secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Hanya di Indonesia tradisi mudik begitu kuat dibandingkan dengan negara lainnya. Meskipun mudik dapat dilakukan kapan saja akan tetapi nilai mudik akan berbeda bila saat Idul Fitri tiba. Karenanya, tidak akan ada cerita mudik bila tidak ada Idul Fitri.
Saya memandang bahwa Idul Fitri ikut mengantarkan Indonesia dapat tegak dan kuat sampai sekarang di tengah gejolak dan perbedaan pilihan politik. Hari kemenangan umat Islam ini berkontribusi terhadap pengembangan budaya demokrasi yang sehat melalui silaturahmi.
Idul Fitri dapat mencairkan ketegangan, merajut perbedaan dan mempertemukan beragam kepentingan dalam satu meja. Inti demokrasi adalah merawat perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, pilihan politik, perbedaan agama, suku, dan budaya. Idul Fitri merupakan momen yang dapat merawat perbedaan itu agar tidak mengalami benturan yang tajam.