Cipta Kerja Layak Makin Mendesak
Penciptaan lapangan kerja layak mesti jadi prioritas utama dalam satu tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, juga presiden-presiden berikutnya. Lapangan kerja ini juga harus bisa diakses semua kalangan.

”The best social program is a good job.” (Bill Clinton, Mantan Presiden Amerika Serikat)
Di tengah pertumbuhan ekonomi global yang sedang melambat, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk tinggi. Namun, tanpa adanya kebijakan inklusif, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya akan dinikmati segelintir orang. Karena itu, diperlukan penciptaan lapangan kerja layak (good job) yang bisa diakses oleh semua kalangan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan.
Di antara ragam dimensi kerja layak adalah adanya penghasilan yang layak, lingkungan kerja yang layak, dan adanya fasilitas non-finansial layak dalam bentuk lain. Fasilitas tersebut meliputi adanya asuransi, cuti, dan hari libur, kesempatan pengembangan diri, ataupun kesempatan membangun jejaring kolektif. Pada umumnya, kerja layak lebih mudah ditemukan di sektor pekerjaan formal, yaitu pekerjaan dengan ikatan kontrak yang jelas antara pekerja dan pemberi kerja.
Kerja layak menjadi penting dan relevan dalam upaya mendorong kemajuan ekonomi Indonesia karena setidaknya dua alasan. Pertama, di level individual, memiliki kerja layak adalah satu cara paling efektif untuk bisa naik kelas, menjadi bagian dari kelas menengah. Dengan upah layak, seorang pekerja bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, pendidikan, bahkan bisa mempunyai tabungan.
Baca juga: Krisis Kerja Layak
Baca juga: Pekerjaan Layak 2030
World Bank (2020) melansir bahwa saat ini populasi Indonesia, sayangnya, masih didominasi oleh calon kelas menengah (aspiring middle class). Kebanyakan dari mereka terjebak di sektor informal berisiko tinggi tanpa adanya kestabilan pendapatan dan minimnya jaring pengaman sosial. Dampaknya, efek kejut seperti pandemi dapat menurunkan posisi mereka ke status miskin.
Kedua, tersedianya kerja layak dipercaya dapat memberikan eksternalitas positif—sebagaimana diisyaratkan Bill Clinton. Manfaat bekerja tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga berdampak kepada lingkungan. Di tingkat lokal, hadirnya kerja layak dapat menurunkan kriminalitas, menekan konsumsi alkohol dan obat terlarang, dan menghindarkan pekerja dari depresi (Rodrik, 2019; Deaton, 2020).
Di bidang politik, kerja layak dapat membungkam isu populisme dan polarisasi. Banyak riset mengonfirmasi kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat pada 2016 dan hasil referendum keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) di tahun yang sama merupakan implikasi dari penurunan lapangan kerja layak dalam jangka panjang (Rodriguez-Pose dkk, 2021). Isu ini kemudian dimainkan oleh para politisi sayap kanan untuk menggalang dukungan dan memecah masyarakat.

Pemulung melintasi Jalan Satrio, Jakarta Selatan, Minggu (6/2/2022). Lapangan kerja yang layak, akses bagi masyarakat pekerja, serta program jaminan sosial dibutuhkan untuk menekan kemiskinan.
Potret tenaga kerja kita
Pada sektor tenaga kerja di Indonesia, dampak krisis setelah pandemi Covid-19 mereda masih terasa sampai sekarang. Berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) dari Badan Pusat Statistik pada Agustus 2022, tercatat terdapat 8,4 juta pengangguran (5,86 persen dari tenaga kerja). Angka ini lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi yang hanya 7 juta orang (5,28 persen).
Sementara, jumlah pekerja di sektor informal masih cukup signifikan. Pekerja lepas dan pekerja keluarga tidak dibayar saat ini jumlahnya mencapai 30,6 juta orang, meningkat 2,6 juta orang dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Kebanyakan mereka yang berusaha sendiri bukanlah wirausaha yang punya potensi untuk tumbuh karena adanya kesempatan, melainkan mereka yang tidak punya pilihan lain untuk bekerja di sektor formal.
Jika ditarik lebih jauh, sejak periode kepemimpinan Joko Widodo dari 2014 hingga kini, rasio pekerjaan di sektor formal stagnan di angka 41 persen. Jumlah buruh/pekerja di sektor formal hanya tumbuh 20 persen. Sementara jumlah mereka yang berusaha sendiri, termasuk di antaranya pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, dan para pekerja gig (tidak tetap) lainnya, tumbuh 46 persen.
Data di atas menunjukkan stagnasi potret tenaga kerja kita. Makin banyak tenaga kerja yang terjun ke sektor informal yang penuh risiko. Bahkan, kebanyakan mereka yang berusaha sendiri bukanlah wirausaha yang punya potensi untuk tumbuh karena adanya kesempatan, melainkan mereka yang tidak punya pilihan lain untuk bekerja di sektor formal.

Rekomendasi kebijakan
Kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yang baru-baru ini disahkan, merupakan salah satu upaya untuk membangun iklim kemudahan berusaha (ease of doing business) di Indonesia. Kebijakan ini diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal, mengingat 92 persen pekerjaan formal di Indonesia disediakan oleh sektor swasta.
Namun, evaluasi mendalam perlu dilakukan secara berkala dan kontinu. Jangan sampai kemudahan berusaha yang ditawarkan UUCK hanya menguntungkan pengusaha, tetapi tak berdampak kepada penambahan jumlah lapangan kerja baru.
Kebijakan yang mendukung iklim berusaha di tataran makro saja tidak cukup. Dibutuhkan instrumen-instrumen kebijakan yang lebih inovatif yang didukung komitmen visi, sumber daya, dan anggaran yang cukup dari pemerintah.
Baca juga: UU Cipta Kerja, Antara Janji dan Realitas
Di antaranya, pertama, kebijakan kewirausahaan yang lebih well-targeted. Yang diperlukan bukan menciptakan wirausaha sebanyak-banyaknya, melainkan mendukung wirausaha yang berpotensi tumbuh dan banyak menyerap tenaga kerja. Kebijakan tidak bisa lagi diarahkan kepada pendampingan untuk usaha mikro kecil di sektor informal. Bisnis informal cenderung stagnan, kurang produktif, dan tidak mendapatkan manfaat dengan program formalisasi (La Porta dan Shleifer, 2014; Smeru, 2020).
Bentuk kebijakan bisa jadi tetap sama: pelatihan, dukungan finansial, atau akses kepada pasar. Namun, perlu ada prioritas dalam pemilihan target peserta. Sebagai contoh, wirausaha yang perlu didukung adalah mereka yang bergerak di sektor formal, usahanya berukuran kecil-menengah (bukan usaha mikro), dan usia bisnisnya masih di bawah tiga tahun sehingga masih dalam fase bertumbuh.
Beberapa riset empiris menjelaskan bahwa jenis wirausaha tersebut bisa menciptakan trickledown effect; lapangan kerja yang terserap oleh bisnis mereka lebih banyak dibandingkan jenis wirausaha lainnya (Kane, 2010; Lawless, 2014). Tentu, perlu dicatat bahwa penyerapan tenaga kerja perlu jadi indikator utama yang menjustifikasi berhasil atau tidaknya program kewirausahaan tersebut.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki (kiri) memimpin rapat koordinasi pelaksanaan “Peraturan Presiden 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional” di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Kamis (12/5/2022),
Kedua, kebijakan industri (industrial policy) perlu berfokus kepada sektor prioritas. Sektor produksi atau manufaktur tidak hanya berpihak kepada pekerja berketerampilan tinggi, tetapi juga pekerja berketerampilan menengah dan rendah. Selain itu, sektor ini berpotensi memicu lapangan kerja di sektor lain dan menggerakkan ekonomi lokal. Sebagai contoh, berdirinya suatu pabrik bisa menarik aktivitas ekonomi lain yang beraglomerasi di sekitar lokasi tersebut.
Prioritas hilirisasi mineral kritis dan strategis perlu terus dilakukan. Sumber daya yang kita miliki, seperti nikel, timah, tembaga, dan bauksit, bisa menjadi daya tawar yang kuat untuk membangun industri masa depan, seperti kendaraan listrik, energi terbarukan, atau semi-konduktor. Langkah paling realistis tentunya adalah menarik investasi asing di sektor produksi yang kemudian berkontribusi menciptakan lapangan kerja di tingkat lokal.
Namun, secara bertahap, perusahaan lokal juga mesti dilibatkan dalam rantai nilai, baik dalam bentuk joint venture maupun sebagai mitra produksi atau rantai pasok. Transfer teknologi, riset, dan inovasi perlu jadi tulang punggung industrialisasi. Dengannya, pekerjaan yang tercipta bukan sekadar kerja ala kadarnya, melainkan lapangan kerja layak yang bisa menaikkan level ekonomi individu maupun negara secara agregat.
Baca juga: Tantangan Pasar Kerja Masa Depan Indonesia
Dalam perspektif regional, kebijakan industri mesti fokus pada daerah prioritas. Pengembangan Kluster Industri atau Kawasan Ekonomi Khusus diarahkan kepada daerah yang memiliki sumber daya yang kritis. Perlu juga dipikirkan bagaimana daerah-daerah tersebut terkoneksi dengan kluster industri lain yang berkaitan secara rantai nilai.
Pada akhirnya, penciptaan lapangan kerja mesti jadi prioritas utama dalam satu tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, sekaligus presiden-presiden berikutnya. Ragam kebijakan cipta kerja yang inovatif perlu menjadi diskursus yang terus diperdebatkan di ruang publik.
Yorga Permana, Kandidat Doktoral di London School of Economics; Dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB

Yorga Permana