Tantangan Pasar Kerja Masa Depan Indonesia
Membangun manusia andal adalah keniscayaan untuk mengimbangi laju digitalisasi dan otomatisasi yang berlangsung masif dan cepat. Pengembangan kompetensi tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru butuh ekosistem.
Indonesia berada di urutan ketiga dari lima negara ASEAN yang akan paling terdampak revolusi industri.
Di kawasan regional ASEAN, 56 persen pekerjaan terancam tergantikan otomatisasi, 35 persen pekerjaan menempati risiko medium, dan hanya 9 persen pekerjaan yang berisiko paling rendah tak tergantikan otomatisasi.
Teknologi, otomatisasi, dan disrupsi berdampak langsung pada masa depan tenaga kerja dan pekerjaan. Revolusi industri tengah berlangsung di depan mata, didorong perkembangan teknologi berbasis high speed mobile internet melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), automation, big data analytics, hingga cloud technology.
Semua itu mengakibatkan disrupsi cara kerja, pola kerja-interaksi-aktivitas ekonomi, pendidikan, hingga keterampilan yang dibutuhkan pekerjaan.
Laporan Future of Jobs Report World Economic Forum memprediksi 85 juta pekerjaan akan tergantikan oleh mesin, tetapi 97 juta jenis pekerjaan baru akan bermunculan.
Studi Organisasi Buruh Internasional (ILO) terhadap lima negara anggota ASEAN, yakni Indonesia, Kamboja, Filipina, Thailand, dan Vietnam, sebagai lima negara penyumbang 80 persen penyerapan tenaga kerja di ASEAN, menyebutkan, 56 persen tenaga kerja rentan kehilangan pekerjaan. Tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah dan upah rendah berisiko tertinggi kehilangan pekerjaan.
Pekerjaan repetitif, seperti kasir, juru tik, hingga operator mesin, berisiko tertinggi terancam tergantikan mesin.
Pekerjaan masa depan akan membutuhkan keterampilan kognitif dan keterampilan sosial (social skill). Social perceptiveness, kemampuan negosiasi, kemampuan persuasi, kemampuan memecahkan masalah (problem solving skill), hingga kemampuan menghasilkan gagasan baru menjadi kunci soft skill di pekerjaan masa depan, tidak semata penguasaan teknologi.
Baca juga: Penyerapan Tenaga Kerja Berisiko Susut Tahun Depan
Presidensi G20 yang diemban Indonesia tahun lalu secara gamblang mengangkat isu ini dengan menitikberatkan kolaborasi tak hanya antarnegara, tetapi juga antarsektor agar dalam mengoptimalkan perkembangan teknologi bisa mengambil langkah mitigasi untuk meminimalisasi dampak.
G20 Leaders Statement dengan tegas menyebutkan, kolaborasi diperlukan untuk meningkatkan literasi dan keterampilan digital, adaptasi penggunaan teknologi dalam memastikan kesiapan tenaga kerja.
Mitigasi risiko akibat otomatisasi dan digitalisasi menjadi prioritas untuk beradaptasi bagi wajah baru pekerjaan dan menjadi fokus kerja B20 selaku business engagement G20. Gugus tugas B20—The Future of Work and Education—telah menghasilkan rekomendasi kebijakan yang berlandaskan prinsip inklusivitas untuk menjadi motor penyediaan pekerjaan, meningkatkan kapasitas pendidikan untuk mendukung produktivitas.
Konsensus bersama Communique B20 untuk isu pekerjaan terefleksikan dalam rekomendasi kebijakan yang mendukung ketersediaan peluang kerja dan selaras dengan sektor pekerjaan yang dibutuhkan masa depan, meningkatkan kualitas pendidikan, proses belajar-mengajar, hingga transisi pekerjaan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja untuk menghilangkan kesenjangan keterampilan.
Namun, karena hasil rekomendasi konsensus multilateral B20 ini bersifat tak mengikat serta dalam tataran high level, hasil kerja ini perlu membumi dengan memastikan langkah strategis disertai indikator pencapaian untuk mengawal komitmen agar terefleksikan dalam level nasional. Tanpa adanya implementasi multidisipliner dan lintas sektor, kesepakatan kolektif G20 Indonesia akan jauh panggang dari api.
Persiapan Indonesia
Sebagai salah satu dari negara yang akan paling terdampak oleh revolusi industri, Indonesia harus bertindak cepat. Apalagi kita juga masih menghadapi masalah klasik yang belum usai, yakni produktivitas dan daya saing tenaga kerja yang rendah.
Hasil survei IMD World Digital Competitiveness Ranking menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37 dari total 64 negara. Bahkan, angka penyerapan lulusan balai latihan kerja (BLK) oleh sektor industri hanya mencapai 59,9 persen.
Suara Indonesia untuk mengarahkan isu dan kebijakan dalam presidensi G20 perlu dikawal untuk diimplementasikan ke level nasional. Legitimasi dan kredibilitas Indonesia yang memimpin presidensi G20 teruji lewat ambisi, target, dan relevansi komitmen kita. Seperti apa solusi yang dibutuhkan?
Sinergi, kolaborasi, konsolidasi, dan inovasi seperti apa yang diperlukan untuk merespons tantangan masa depan ini?
Indonesia sudah memiliki Road Map Making Indonesia 4.0 yang digagas Kementerian Perindustrian sebagai wujud revitalisasi industri dengan target ketersediaan 10 juta lapangan pekerjaan baru di 2030. Kita juga sudah memiliki terobosan lewat Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai arahan percepatan transformasi digital Indonesia.
Peta jalan terintegrasi dan komprehensif dibutuhkan agar Indonesia siap menciptakan nilai tambah strategis yang mampu mendorong pemanfaatan teknologi dalam mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, diperlukan pendekatan holistik untuk memecahkan masalah melalui kolaborasi dan konsolidasi lintas sektor yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) lewat sinergi pentahelix. Peta jalan terintegrasi dan komprehensif dibutuhkan agar Indonesia siap menciptakan nilai tambah strategis yang mampu mendorong pemanfaatan teknologi dalam mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sinergi sektor pendidikan, industri hulu-hilir, ketenagakerjaan, hukum dan regulasi, UMKM, komunikasi publik, investasi, teknologi-informasi untuk menyiapkan infrastruktur digital guna memastikan akses digital yang inklusif. Semua perlu berjalan beriringan dalam rangka akselerasi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Semua stakeholders perlu duduk bersama mengembangkan peta jalan besar. Memetakan dampak negatif terhadap setiap sektor industri, due diligence sebagai upaya preventif dan mitigasi serta kebijakan dalam bentuk aturan hukum dan regulasi.
Semua mengerucut pada tiga tujuan. Pertama, memastikan penciptaan pekerjaan berkelanjutan yang mendorong penciptaan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan masa depan. Kedua, memetakan pendidikan dan keterampilan yang sesuai dengan produktivitas dunia kerja dalam mengatasi kesenjangan keterampilan SDM sekaligus mendorong life long learning.
Baca juga: Masa Depan Kerja Hibrida dan Motivasi ”Ngantor” Tahun 2023
Ketiga, aksi strategis untuk keterlibatan dan penyertaan lapisan masyarakat, termasuk memastikan link and match antara instansi pendidikan dan kebutuhan industri masa depan.
Dengan demikian, peta jalan perlu menjabarkan klasifikasi rinci untuk sektor industri hulu-hilir yang memetakan sektor mana memiliki risiko tertinggi hingga terendah terancam disrupsi. Kita bisa mengembangkan dan mengaplikasikan studi komprehensif yang dilakukan ILO untuk kawasan ASEAN terkait pekerjaan dan sektor yang paling terdampak akibat otomatisasi sebagai hulu mengembangkan peta jalan yang sesuai konteks permasalahan Indonesia.
Dari segi pendidikan sebagai fondasi menyiapkan SDM, level keterampilan seperti apa yang dibutuhkan berdasarkan klasifikasi sektor yang terdampak paling signifikan? Di tengah perkembangan teknologi, skill mendasar dan skill baru apa yang paling dibutuhkan sektor yang menyumbang produk domestik bruto terbesar?
Bagaimana skilling, upskilling, dan reskilling yang sesuai dengan kebutuhan industri masa depan, khususnya untuk jenis pekerjaan yang paling terdampak. Pendidikan dan pelatihan perlu modul inovatif sebagai mitigasi transisi pekerjaan masa depan. Keberadaan Perpres Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi adalah langkah baik dalam meningkatkan kualitas kompetensi.
Namun, kemudian, seperti apa perbaikan sistem pendidikan vokasi yang diperlukan dan indikator pencapaian yang terukur? Lalu yang krusial, bagaimana menyiapkan SDM yang memiliki keterampilan kognitif dan social skill yang tidak tergantikan mesin?
Kebijakan dan aksi strategis terkait program jaring pengaman sosial dan kesehatan mutlak disediakan pemerintah bagi mereka yang kehilangan pekerjaan.
Jangan lupakan menyiapkan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan wirausaha baru disertai kemampuan inovasi produk dan jasa yang menjadi tren pasar masa depan agar UMKM siap melakukan penetrasi pasar global dalam memperluas skala usaha. Ini mengingat UMKM nadi perekonomian Indonesia yang mampu menyerap tenaga kerja hingga 97 persen dengan kontribusi 61,97 persen terhadap PDB nasional.
Transformasi pendidikan tak hanya dengan mempersiapkan lulusan yang andal, tetapi juga mempersiapkan tenaga pengajar yang mampu memberi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja.
Dengan begitu, link and match antara kebutuhan dunia kerja dan perguruan tinggi perlu diperkuat agar mahasiswa siap memasuki dunia kerja melalui pembelajaran berbasis experience learning yang melibatkan sektor usaha dalam penyusunan kurikulum pembelajaran.
Khususnya agar dunia pendidikan bisa mengakomodasi kebutuhan industri. Link and match harus menyelaraskan pelaksanaan, kebutuhan belajar, riset dunia pendidikan, standar kompetensi, kesempatan magang yang dititikberatkan pada industri yang berpotensi menyerap tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan kompetensi industri hulu-hilir. Learning outcome adalah untuk memastikan dunia pendidikan menghasilkan SDM yang siap, tangguh, dan andal.
Komunikasi publik yang intens dibutuhkan dalam memperbesar kesempatan industri berkontribusi dalam pengembangan keterampilan vokasi.
Namun, ini perlu didukung kesiapan infrastruktur digital mengingat ketimpangan antara negara maju dan berkembang masih jadi persoalan. Peta jalan terintegrasi perlu merumuskan skema dan insentif pembiayaan investasi infrastruktur digital melalui skema public private participation yang akan membuat investasi infrastruktur digital kian bergairah. Kebijakan dan aksi strategis terkait program jaring pengaman sosial dan kesehatan mutlak disediakan pemerintah bagi mereka yang kehilangan pekerjaan.
Dari sisi regulasi dan legislasi sebagai upaya preventif, perlu penyesuaian terkait aturan perlindungan hukum yang mengatur ketenagakerjaan, hubungan industrial, jaminan sosial untuk peningkatan kompetensi, aturan hak dan kewajiban sebagai implikasi karakteristik pekerjaan baru, bentuk kesepakatan kerja, serta harmonisasi hukum-teknologi. Optimalisasi lembaga tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja diperlukan untuk menyesuaikan implikasi era baru ketenagakerjaan.
Peta jalan tanpa indikator pencapaian adalah sia-sia. Diperlukan standar monitoring dan evaluasi. Kita bisa mengadopsi indikator yang dicanangkan The International Organisation of Employers yang memantau hasil kerja B20 Employment and Education, yang direkomendasikan ke kementerian yang mengurusi isu ketenagakerjaan negara G20 sebagai bentuk national level-assessment. Ini esensial sebagai metrics untuk memantau pencapaian Future of Work and Education Task Forces, salah satu gugus tugas B20 selaku business engagement G20.
Membangun manusia andal adalah keniscayaan untuk mengimbangi laju digitalisasi dan otomatisasi yang berlangsung masif dan cepat. Pengembangan kompetensi tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru memerlukan ekosistem yang mendukung semua stakeholders. Ini pekerjaan rumah bersama. Semua pihak tak bisa berjalan sendirian. Diperlukan navigasi yang menjadi payung besar untuk mencapai tujuan lewat konsolidasi, kolaborasi untuk melahirkan inovasi.
Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Umum Apindo, CEO Sintesa Group