Untuk mengatasi problem lingkungan dan meminimalisasi bencana ekologis, industri wisata perlu mulai diupayakan untuk beralih ke model bisnis wisata rendah karbon. Begitu juga gaya berwisata para wisatawan.
Oleh
R WULANDARI
·4 menit baca
Libur Lebaran tahun ini bukan hanya dihadapkan kepada kenaikan jumlah pemudik, tetapi juga dihadapkan kepada kemungkinan melonjaknya jumlah wisatawan. Menurut Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik tahun 2023 ini diperkirakan 123,8 juta jiwa, naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 85 juta jiwa.
Selain pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahmi, sudah barang tentu banyak pemudik juga berkunjung ke sejumlah lokasi wisata. Beberapa destinasi wisata bahkan telah memprediksi meningkat jumlah wisatawannya, hingga 80 persen pada libur Lebaran tahun ini.
Hasil survei Kementerian Perhubungan menyebut Pulau Jawa tetap menjadi pusat pergerakan masyarakat pada momen Lebaran tahun ini, baik daerah asal maupun daerah tujuan perjalanan. Provinsi tertinggi yang menjadi daerah asal perjalanan adalah Jawa Timur, yakni 17,1 persen. Wilayah asal berikutnya dengan persentase terbesar adalah Jawa Tengah (15,1 persen), diikuti Jabodetabek (14,1 persen), serta Jawa Barat (non-Jabodetabek) sebesar 12,1 persen (Kompas, 10/4/2023).
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, seperti dikutip kompas.com, mengatakan terdapat beberapa lokasi yang diprediksi mengalami kenaikan lonjakan wisatawan pada musim libur Lebaran kali ini. Pertama, di Jawa Barat, beberapa tempat wisata yang diprediksi ramai dikunjungi wisatawan meliputi Puncak Bogor, Cipanas, Cianjur, Tangkuban Parahu, Kawah Putih Ciwidey, dan beberapa pantai.
Kedua, di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mencakup Dieng, Batu Raden, Bandungan Semarang, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan beberapa destinasi wisata lainnya. Ketiga, di Jawa Timur, beberapa tempat wisata favorit meliputi Gunung Bromo, Jatim Park, Kota Batu, dan Taman Kebun Binatang.
Intensif karbon
Kendati industri wisata dapat mendatangkan sejumlah manfaat, seperti menghasilkan keuntungan finansial, menciptakan lapangan kerja, memperkuat ekonomi lokal, berkontribusi kepada pembangunan infrastruktur lokal, dan dapat ikut membantu melestarikan aset budaya serta tradisi lokal, ataupun mengurangi tingkat kemiskinan, toh sektor ini merupakan bisnis intensif karbon. Pasalnya, sektor wisata menyumbang sekitar 8 persen dari emisi gas rumah kaca global. Mulai dari aktivitas konstruksi destinasi wisata, mobilitas wisatawan, menginap, aktivitas makan-minum, hingga ke pembelian suvenir wisatawan, semua menghasilkan jejak karbon.
Sektor wisata menyumbang sekitar 8 persen dari emisi gas rumah kaca global.
Wisata rendah karbon adalah sebuah konsep yang baru muncul pada tahun 2009-an sebagai bagian dari wisata berkelanjutan. Tujuan wisata rendah karbon adalah untuk mencapai pengalaman wisata yang maksimal, baik bagi industri wisata maupun para wisatawan, guna memperoleh manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih besar, dengan jalan mengurangi emisi karbon yang terjadi pada aktivitas wisata (Wang et al. 2019).
Pada dasarnya, wisata rendah karbon adalah komponen yang tak terpisahkan dari ekonomi rendah karbon. Tak bisa dimungkiri, aktivitas ekonomi dan bisnis kita selama ini senantiasa tinggi karbon, termasuk sektor wisata. Aktivitas wisata kita menghasilkan emisi karbon dioksida antara lain dari konsumsi energi dalam hal transportasi, pembangunan dan pengoperasian infrastruktur wisata, ataupun sejumlah aktivitas lainnya.
Kita harus akui energi adalah kebutuhan kita semua. Semua aktivitas manusia membutuhkan konsumsi energi. Sayangnya, energi yang kita gunakan selama ini sepenuhnya masih berbasis fosil yang notabene sangat mencemari lingkungan, selain harganya yang juga semakin mahal.
Kita memerlukan energi yang murah, melimpah, dan juga bersih alias tidak mencemari lingkungan. Kita tidak boleh terus bergantung kepada energi berbasis fosil yang tinggi karbon. Maka, industri wisata kita perlu mulai diupayakan agar segera beralih ke model bisnis wisata rendah karbon. Begitu juga gaya berwisata para wisatawan. Bisnis wisata rendah karbon dan gaya berwisata rendah karbon adalah opsi terbaik yang harus menjadi pilihan kita bersama jika ingin industri wisata kita berkelanjutan.
Sekarang ini, seluruh umat manusia sedang dihadapkan pada sejumlah problem lingkungan genting akibat pemanasan global dan perubahan iklim, yang ditandai dengan terus meningkatnya permukaan air laut, hilangnya keanekaragaman hayati, serta berbagai ancaman bencana ekologis yang semakin sering melanda berbagai kawasan di muka Bumi kita.
Gaya wisata rendah karbon
Upaya-upaya untuk mengatasi problem-problem lingkungan dan meminimalisasi bencana-bencana ekologis wajib kita lakukan. Penerapan bisnis wisata rendah karbon serta adopsi gaya berwisata rendah karbon merupakan ikhtiar dalam ikut mengatasi berbagai problem lingkungan dan juga dalam upaya ikut meminimalisasi risiko-risiko bencana ekologis.
Dalam bisnis wisata rendah karbon, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan dari sektor wisata didorong investasi publik dan swasta ke dalam kegiatan ekonomi, infrastruktur, dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon, pengurangan polusi, serta peningkatan efisiensi energi dan sumber daya.
Untuk mendorong gaya berwisata rendah karbon, pemerintah perlu lebih serius menata manajemen transportasi umum.
Pada saat yang sama, praktik bisnis wisata rendah karbon perlu disokong pula dengan gaya berwisata rendah karbon dari para wisatawan. Selama ini, didukung gampangnya proses kredit pemilikan kendaraan bermotor, dan buruknya manajemen transportasi umum yang dibarengi dengan masih rendahnya kesadaran lingkungan masyarakat, para wisatawan cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang naik angkutan umum, naik sepeda ataupun berjalan kaki untuk melakukan berbagai aktivitas wisata mereka.
Kencenderungan ini tentu saja memiliki sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah semakin borosnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, kecenderungan untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas wisata juga berdampak pada makin meningkatnya kemacetan dan polusi, baik itu polusi udara maupun suara, yang berujung pada makin beratnya beban lingkungan kawasan wisata.
Untuk mendorong gaya berwisata rendah karbon, pemerintah perlu lebih serius menata manajemen transportasi umum sehingga tercipta sistem transportasi umum yang aman, nyaman, serta murah untuk menopang aktivitas wisata masyarakat. Ini untuk mendorong masyarakat agar mau beralih menggunakan transportasi umum ketimbang menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi untuk aktivitas wisata mereka.
Selain itu, perlu pula dilakukan penataan dan perbaikan infrastruktur destinasi wisata. Dalam hal ini, infrastruktur destinasi wisata harus pula diarahkan untuk membuat semakin banyak wisatawan mau menggunakan transportasi nonmesin atau berbahan bakar nonfosil untuk mendukung mobilitas mereka di dalam dan di sekitar lokasi wisata, yang dibarengi dengan tersedianya insentif yang menarik.
Begitu juga dengan sektor-sektor lainnya yang terkait dengan aktivitas wisata, seperti penginapan, makan-minum, ataupun suvenir wisata, semua perlu didorong agar lebih rendah karbon.
R Wulandari, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Bisnis Keberlanjutan