Anomali Kampus Merdeka
Meski telah diatur prinsip demokrasi, nyatanya pendekatan kekuasaan justru lebih nampak dalam demokrasi kampus. Politik transaksional berpotensi besar terjadi dalam demokrasi kampus. Apakah otonomi kampus masih ada ?
Di tengah ingar-bingar menuju politik elektoral 2024, demokrasi kampus seolah luput dari diskursus publik. Padahal, sirkulasi kekuasaan di lingkungan kampus kerap bernuansa politis. Aroma politik praktis dalam pemilihan rektor tercium begitu kentara.
Apalagi, pengaruh dan wajah kekuasaan seakan nampak jelas dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN), khususnya yang berstatus badan hukum (PTN BH). Kampus yang sejatinya miniatur demokrasi menjadi gelanggang pertarungan perebutan kekuasaan dari kekuatan luar kampus untuk mengusung calon rektor.
Akibatnya, demokrasi kampus acap menimbulkan polemik dan mengganggu iklim akademik. Menilik fenomena adu kekuatan, dapat dilihat ke belakang bagaimana polemik pemilihan rektor terjadi di Universitas Padjadjaran (Unpad) dan yang terbaru terjadi di Universitas Sebelas Maret (UNS).
Konflik yang terjadi tentu akan merusak keadaban, kolegialitas, dan keakraban sivitas akademika. Hubungan kolektif kolegial yang dibangun sesama sivitas akademika kian retak, penuh rasa curiga, dan intrik politik. Keterbelahan pun perlahan akan terjadi manakala peta politik telah terbentuk dan masing-masing tim sukses memiliki jagoannya tersendiri.
Kampus yang sejatinya miniatur demokrasi menjadi gelanggang pertarungan perebutan kekuasaan dari kekuatan luar kampus untuk mengusung calon rektor.
Kondisi seperti ini tentu sangat kontraproduktif bagi dunia akademik di perguruan tinggi. Agenda-agenda peningkatan kualitas dan kapasitas kampus bisa jadi akan terabaikan. Padahal, kampus saat ini sedang berjuang mati-matian guna menuju status universitas kelas dunia (world class university).
William Kirby (2022) mengemukakan bahwa terdapat potensi ancaman terbesar yang dihadapi universitas dalam mewujudkan universitas kelas dunia, yakni adanya gangguan pemegang kekuasaan birokrasi pemerintahan terhadap kebebasan akademik di kampus (government intrusion into the freedom of academic inquiry).
Kirby juga menyebut adanya ancaman lain, yakni fenomena perapuhan kapabilitas kampus dari dalam akibat maraknya pelacuran oleh para oknum akademisi yang menghamba pada kekuasaan. Dengan kata lain, maraknya para pengemis intelektual yang memperparah kehidupan kampus.
Lalu, apa yang menjadi akar persoalan dikebirinya demokrasi kampus? Padahal, Pasal 6 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) secara tegas menyebutkan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi ialah demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Ilustrasi
”Pseudo democracy” di kampus
Meski telah diatur prinsip demokratis tersebut, nyatanya pendekatan kekuasaan justru yang lebih nampak dalam demokrasi kampus.
Bisa dilihat di beberapa statuta PTN BH yang diatur oleh peraturan pemerintah, dalam pemilihan dan pemberhentian rektor yang berlangsung di Majelis Wali Amanat (MWA), anggota MWA dari unsur menteri memiliki hak suara 35 persen.
Dari mana sebenarnya asal-muasal ketentuan tersebut? Apa landasan dan kajian akademiknya? Bagaimana perhitungannya sehingga memunculkan angka tersebut? Padahal, jika ditelusuri dalam UU Dikti, tidak ada satu pasal pun yang mengatur terkait pemilihan, pengangkatan, maupun pemberhentian rektor. Apalagi, hak suara yang amat dominan dimiliki oleh menteri dalam pemilihan rektor tersebut.
Hak suara yang cukup besar dimiliki oleh menteri seakan menunjukkan bagaimana pilar kekuasaan tertancap di tubuh kampus. Dalam praktiknya, tentu akan mengebiri demokrasi kampus. Demokrasi kampus seolah-olah berjalan demokratis, padahal sejatinya sedang menerapkan demokrasi semu.
Demokrasi yang penuh kepura-puraan dan teatrikal. Suatu ironi yang dipertontonkan dalam dunia kampus hari ini.
Bisa dikatakan bahwa marwah demokrasi kampus telah hilang. Bahkan, bisa jadi muncul preseden jika rektor yang terpilih ialah rektornya versi menteri. Bukan rektor yang muncul dari suara akar rumput demokrasi dari sivitas akademika kampus. Suara sivitas akademika kerap berkontestasi dengan calon pilihan menteri.
Bukan rektor yang muncul dari suara akar rumput demokrasi dari sivitas akademika kampus. Suara sivitas akademika kerap berkontestasi dengan calon pilihan menteri.
Terbukti, dalam pemilihan rektor di salah satu universitas, ada dugaan calon yang unggul pada suara internal kampus tersingkir begitu saja karena menteri memilih calon lainnya. Dalam kondisi ini, politik transaksional berpotensi besar terjadi dalam demokrasi kampus. Eksesnya tentu akan mencoreng moralitas dan integritas kampus sebagai pusat pengembangan peradaban demokrasi.
Otonomi kampus vs otoritas
Persoalan di atas sejatinya tak akan terjadi manakala otonomi kampus dijalankan secara utuh. Bukan yang terjadi seperti saat ini, otonomi yang diberikan cenderung setengah hati. Otonomi kampus seolah vis a vis dengan otoritas kekuasaan. Kampus layaknya dianggap entitas birokrasi biasa yang mudah diatur-atur tanpa otonomi.
UU Dikti telah mengatur otonomi perguruan tinggi sedemikian rupa. Pasal 62 Ayat (1) UU Dikti menyebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Pasal 64 Ayat (1) menjelaskan, otonomi pengelolaan perguruan tinggi meliputi bidang akademik dan nonakademik.
Bahkan, secara spesifik, khusus untuk PTN BH, pada Pasal 65 Ayat (3) huruf b UU Dikti disebutkan, PTN-BH memiliki kewenangan, salah satunya ialah dalam tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, pengambilan keputusan secara mandiri oleh PTN BH kerap dianulir dan tersandera oleh kekuasaan. Termasuk keputusan dalam pemilihan rektor di UNS.
Ilustrasi
Padahal, independensi dalam pengambilan keputusan merupakan salah satu prinsip tata kelola universitas yang baik (good university governance) di samping prinsip lain, yakni transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, penjaminan mutu dan relevansi, efektivitas, efisiensi, dan nirlaba.
Berbagai prinsip tata kelola universitas yang baik itu pada dasarnya menjadi landasan bagi penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 63 UU Dikti. Untuk menuju universitas kelas dunia, kampus mesti memiliki sistem tata kelola yang andal, fleksibel dan efektif, terbebas dari intervensi kekuasaan, dan mengelola sumber daya secara profesional.
Alangkah lebih bijak jika menteri menghormati pilihan sivitas akademika kampus terkait pemilihan rektor. Bukan sebaliknya, justru menampakkan kekuasaannya dengan menganulir keputusan atas kontestasi tersebut.
Jika ada hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan pemilihan rektor, tentu ada mekanisme yang lebih tepat dijalankan, seperti melalui musyawarah ataupun melalui mekanisme jalur hukum yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ke depan, kampus harus steril dari unsur-unsur kekuasaan yang dapat mengganggu jalannya sirkulasi kepemimpinan di kampus. Kampus harus memiliki imunitas politik agar terhindar dari pengaruh-pengaruh politik pihak-pihak di luar kampus. Kampus pun harus bebas dari intervensi kekuasaan yang menjurus pada politik praktis.
Baca juga : Perguruan Tinggi Masih Dominan Dianggap sebagai Lembaga Birokrasi
Fungsi dan peranan kampus pun perlu direvitalisasi dan direkontekstualisasi dalam kehidupan demokrasi kampus. Fungsi dan peranan kampus sebagai wadah pembelajaran mahasiswa dan masyarakat harus termasuk di dalamnya mencakup pembelajaran demokrasi dan pendidikan politik.
Begitu pun dengan fungsi dan peranan kampus sebagai wadah pendidikan calon pemimpin bangsa pun harus dimulai dari para pimpinan atau pejabat kampus yang terdidik dan berkarakter.
Terakhir, jika menteri menghendaki adanya Kampus Merdeka, hendaknya dimulai dengan pemberian otonomi secara penuh dan utuh bagi kampus baik dalam aspek akademik maupun nonakademik. Termasuk dalam mengelola demokrasi internal kampus itu sendiri.
Cecep DarmawanGuru Besar Ilmu Politik dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan UPI