Mengeksploitasi dan merusak alam sama artinya menyalahi fitrah manusia sebagai khalifah. Di hari Idul Fitri yang bertepatan dengan Hari Bumi ini semoga menumbuhkan nilai solidaritas ekologis, untuk melindungi Bumi.
Oleh
KHALISAH KHALID
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Ramadhan tidak lama lagi akan beranjak pergi, dan umat Muslim di seluruh belahan dunia bersiap menyambut hari yang fitri. Ramadhan bagi umat Islam juga menjadi ruang untuk merefleksikan diri, sejauh mana kehidupannya bermanfaat bagi sesama dan makhluk hidup lainnya. Khalifatul fil Ardh yang menjadi amanah bagi manusia, mestinya dapat dimaknai lebih luas lagi dalam penjagaan dan perlindungan manusia atas Bumi, tempat tinggal semua makhluk.
Nurcholis Madjid dalam pemikirannya tentang alam dan relasinya dengan tugas manusia di muka Bumi menyatakan bahwa alam semesta sebagai sebuah jalan untuk mencapai apa yang disebut dengan spiritualitas tertinggi sebagai khalifatul fil ardli, karena itu alam seharusnya ditempatkan sebagai penciptaan Allah SWT yang telah dianugerahkan kepada manusia untuk dikelola dan dijaga sebagaimana yang menjadi pelaksanaan tugas manusia dengan tetap berpegang teguh kepada petunjuk Ilahi, pemilik semesta. Mengeksploitasi dan merusak alam sama artinya dengan menyalahi fitrah manusia sebagai khalifah.
Sayangnya, tugas sebagai khalifah di muka Bumi ini ”dipelintir” oleh segelintir manusia yang merasa memiliki kuasa yang lebih besar dari makhluk hidup lain, dan dengan kekuatan modal dan kekuatan politiknya melihat alam sebagai tujuan akhir mencapai kepuasan duniawinya, menguasai atau mendominasi atas alam dan manusia yang lain. Bahkan tidak jarang, agama menjadi legitimasi dengan selalu mengatakan bencana alam sebagai takdir, tanpa melihat musabab mengapa bencana terjadi. Padahal Al Quran jelas telah mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut karena ulah tangan atau perbuatan tangan manusia (QS Ar-Rum 41).
DOK FORUM KONSERVASI LEUSER
Banjir bandang yang menerjang Aceh Tenggara pada November 2018 difoto dari udara. Aceh Tenggara kerap dilanda bencana alam karena intensitas hujan tinggi dan kerusakan alam yang masif.
Tantangan umat manusia
Laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan bahwa kenaikan suhu Bumi telah mencapai batas aman pada 2030. Dalam laporan terakhirnya, IPCC menyebutkan warga yang tinggal di wilayah yang rentan, berisiko 15 kali lebih besar meninggal akibat banjir, kekeringan, dan badai yang semakin intens terjadi.
Generasi yang akan datang bahkan akan mengalami risiko yang lebih besar jika tidak ada upaya yang serius dan ambisius dari berbagai pihak atas ancaman dan dampak krisis iklim. Kondisi ini tentu akan lebih berat dialami oleh masyarakat miskin dan kelompok marjinal lainnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah merilis laporan yang menyebutkan selama 2022, Indonesia telah mengalami 3.544 kejadian bencana, 90 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologi. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga menunjukkan, peningkatan signifikan tren bencana hidrometeorologi Indonesia dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Dampak turunan dari bencana iklim seperti krisis air, krisis pangan, dan berbagai penyakit yang akan menjadi ancaman nyata.
Agama memiliki kekuatan untuk melakukan aksi iklim yang nyata, dan para pemuka agama memiliki peran yang signifikan, di antaranya melalui syiar agama, khotbah-khotbah.
Namun di tengah tantangan tersebut, ada kabar baik yang dapat menjadi harapan untuk mencegah suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Kesadaran krisis iklim tidak hanya dari organisasi atau aktivis lingkungan hidup. Dalam beberapa tahun belakangan, para pemuka agama dan kelompok agama menyadari praktik penghancuran alam dan krisis iklim menjadi persoalan serius yang harus disikapi, termasuk dari tokoh Muslim di Indonesia. Terlebih kita tahu bahwa terdapat 1,8 miliar penduduk Muslim di dunia atau seperempat dari jumlah populasi global dengan tingkat kerentanan dan risiko yang tinggi.
Ya, agama memiliki kekuatan untuk melakukan aksi iklim yang nyata, dan para pemuka agama memiliki peran yang signifikan, di antaranya melalui syiar agama, khotbah-khotbah di mimbar untuk mengajak umat memaknai dan menjalani kehidupan beragama secara kafah. Bagaimana memaknai dan menjalani secara utuh relasi antara Tuhan, alam, dan manusia. Hablum Minallah, Hablum Minannas, Hablum Minal ‘Alam. Memulai perubahan mulai dari tingkat perubahan kultur individu hingga perubahan kolektif umat.
TOFIK ROZAQ UNTUK KOMPAS
Anak-anak mengikuti aksi jeda untuk iklim dengan membawa poster di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu, (23/2/2020). Aksi yang diikuti sekitar 150 orang ini untuk mendeklarasikan darurat iklim sebagai bentuk imbauan terhadap terjadinya perubahan iklim secara global.
Kita telah melihat contoh-contoh baik aksi iklim yang dilakukan oleh kelompok agama, seperti yang dilakukan oleh pesantren-pesantren yang mengajarkan kesadaran lingkungan hidup, kajian kritis lingkungan dan sumber daya alam yang di antaranya dilakukan oleh kawan-kawan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, atau pemasangan energi surya seperti yang dilakukan Masjid Istiqlal, meski baru 15 persen dari kebutuhan listrik yang digunakan. Ke depan, kita berharap berbagai aksi iklim ini lebih banyak dilakukan oleh sehingga dapat meluas menjadi sebuah movement.
Harapannya, dari kesadaran kolektif ini kemudian dapat dimajukan menjadi sebuah kesadaran politik warga, untuk mendorong perubahan struktural dan memastikan komitmen iklim dijalankan oleh pengurus negara secara benar dan berbasiskan pada ilmu dan pengetahuan. Tindakan adaptasi untuk memastikan adanya langkah-langkah yang serius dan termasuk pembiayaan atas loss and damage, dengan melibatkan partisipasi warga secara bermakna. Tindakan mitigasi dengan mendorong kebijakan transisi energi yang bersih dan berkeadilan, serta mencegah deforestasi.
Sebagai pihak yang suaranya sangat didengar oleh kekuasaan, kita berharap para tokoh agama mendorong pengurus negara untuk melakukan aksi nyata dekarbonisasi ekonomi Indonesia dengan mengoreksi paradigma ekonomi yang eksploitatif, ke arah ekonomi hijau yang berkeadilan dan berkelanjutan. Koreksi atas model ekonomi dunia saat ini menjadi penting karena selain dapat menjawab krisis iklim, sekaligus juga dapat menjawab problem umat, yakni ketimpangan, kemiskinan, dan sekaligus konflik agraria yang hingga hari ini belum dapat diselesaikan.
Pada akhirnya, semoga Ramadhan dan Idul Fitri kali ini yang bertepatan dengan Hari Bumi dapat menjadikan kita sebagai pribadi yang lebih baik, dengan meningkatkan kualitas beragama kita, di antaranya dengan menumbuhkan nilai solidaritas ekologis, dan menjalankan tugas kemanusiaan kita untuk menjaga dan melindungi bumi, Ummah for Earth.