Relasi Manusia dengan Alam Tertuang dalam Semua Ajaran Agama
Semua ajaran agama yang diakui di Indonesia mengatur tentang relasi manusia dengan alam. Dengan menjalankan tuntunan agama ini, diharapkan manusia dapat menjaga alam dari berbagai kerusakan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Masyarakat sekitar turut ikut memunguti sampah yang berada di sekitar Pantai Botutonuo, Bone Bolango, Gorontalo.
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan lingkungan dan beragam dampak dari krisis iklim saat ini tidak terlepas dari peran manusia yang abai dalam menjaga atau memelihara alam. Padahal, seluruh ajaran agama yang diakui di Indonesia mengatur tentang relasi manusia dengan alam agar kehidupan berjalan lebih lestari dan harmonis.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Relasi Manusia sebagai Makhluk Spiritual dengan Bumi yang Menjadi Rumah Bersama”, Kamis (28/4/2022). Diskusi ini menghadirkan para pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha untuk mengetahui perspektif setiap agama dalam menyikapi masalah lingkungan.
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hayu Prabowo mengemukakan, dalam ajaran Islam memang disebutkan bahwa Bumi diciptakan Tuhan untuk manusia. Namun, di konteks lain, terdapat hakikat fundamental atas penciptaan alam untuk manusia.
”Islam memandang bahwa kita semua, baik manusia maupun alam, adalah makhluk hidup yang diciptakan Allah. Manusia sendiri diciptakan Allah sebagai khalifah atau wakil di Bumi. Oleh karena itu, selain berkuasa, manusia juga mengemban amanah dan bertanggung jawab untuk memakmurkan Bumi beserta isinya,” ujarnya.
Semua orang perlu berdamai dengan segala sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia, termasuk alam.
Menurut Hayu, dalam mengemban amanah ini, manusia perlu mengetahui ecosofi atau prinsip yang memupuk hubungan interaksi dengan alam semesta melalui dimensi intelektual dan spiritual. Dalam dimensi intelektual, manusia secara terus- menerus harus mempelajari, memahami, dan meneliti segala hal terkait alam dan lingkungan. Sementara dari dimensi spiritual, manusia harus memuliakan dan menghargai alam sebagai tanggung jawab.
RIZA FATHONI
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan akhir instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020). Pemanfaatan panel surya ini sebagai upaya mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan, efektif, dan efisien.
Hayu meyakini bahwa krisis lingkungan yang terjadi saat ini menandakan adanya krisis moral sehingga perlu peran agama untuk memperbaiki hal ini. Agama dapat memberikan tuntunan pelestarian alam yang direalisasikan dalam bentuk atau aksi nyata di kehidupan sehari-hari.
”MUI juga telah mengeluarkan tujuh fatwa terkait pelestarian lingkungan. Fatwa ini tidak hanya berbentuk dokumen, tetapi juga dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk pedoman dan khotbah serta disosialisasikan kepada para dai atau pendakwah. Kita sudah punya ratusan dai, seperti dai konservasi, sanitasi, ramah gambut, dan pengelolaan sampah,” katanya.
Pemerhati lingkungan sekaligus Pendeta Indonesian Presbyterian Amerika Serikat yang mewakili agama Kristen, Evangeline Pua, mengatakan, dalam menyikapi krisis iklim harus diakui bahwa semua orang menghadapi satu kekuatan atau keputusan besar yang tidak mudah direspons bersama. Namun, dengan melihat salah satu kisah spiritualitas Yokhebed, sebenarnya semua orang dapat mengambil tindakan untuk menghadapi keputusan besar.
”Untuk memerangi krisis iklim dan karakter manusia yang cenderung konsumtif, kita perlu kembali ke tradisi. Jadi, perlu dilihat apa yang menolong nenek moyang kita bisa hidup bertahan pada zamannya,” ujarnya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Petugas kebersihan memungut sampah di bantaran Sungai Martapura, Desa Sungai Rangas Tengah, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Sabtu (5/6/2021).
Evangeline menuturkan, spiritualitas Yokhebed mengajarkan bahwa semua orang perlu berdamai dengan segala sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia, termasuk alam. Sikap berdamai ini diyakini menjadikan alam sebagai ruang yang dapat mendatangkan kehidupan bagi semua.
Seruan Paus
Selain Islam dan Kristen, ajaran Katolik juga telah banyak menyinggung soal relasi manusia dengan alam. Ajaran dan seruan kepada para penganut Katolik agar senantiasa menjaga alam juga kerap disampaikan para Paus yang merupakan pemimpin gereja Katolik sedunia.
Pemuka agama Katolik yang juga pendiri Eco Camp, Romo Ferry Sutrisna Widjaya, mengatakan, mengutipPaus Santo Yohanes Paulus II, selain pertobatan dengan Tuhan, semua orang juga perlu pertobatan ekologis. Pertobatan ini bertujuan untuk mengakui kesalahan dan menjalin relasi kembali dengan alam.
”Paus Santo saat Hari Perdamaian Internasional pada 1990 juga pernah menyebut bahwa bila ingin membangun damai dengan Tuhan Sang Pencipta, kita juga harus berdamai dengan seluruh ciptaan. Paus Benediktus XVI juga sering disebut ”The Green Pope”karena menjadikan Vatikan sebagai negara pertama karbon netral dengan memasang solar panel,” ujarnya.
AP/RICCARDO DE LUCA
Paus Fransiskus melambaikan tangannya ketika tiba di aula Paulus VI di Vatikan, Rabu (4/8/2021).
Sementara pada 2015, Paus Fransiskus menerbitkan Surat Gembala Laudato Si’. Surat tersebut menekankan bahwa saat ini Bumi tengah mengalami kerusakan akibat penyalahgunaan dan beragam perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, Bumi yang merupakan rumah bersama harus senantiasa dipelihara dan dijaga.
”Paus Fransiskus mengajak bahwa kita barangkali memerlukan perubahan besar dalam gaya hidup, pola produksi, dan konsumsi. Begitu juga perlu perubahan dalam sistem ataupun struktur pemerintahan yang sudah membaku,” katanya, menambahkan.