Idul Fitri, ”Kenosis”, dan Penghormatan kepada Sakralitas
Kenosis yang memungkinkan seseorang bisa menumbuhkan empati, welas asih, gotong royong, dan solidaritas sosial. Puasa adalah ekspresi dari wujud kenosis itu. Wujud itu secara sosial menemukan katupnya pada momen Lebaran.
Tanggal 22 April 2023 bertepatan dengan 1 Syawal 1444. Umat Islam memperingatinya, terhubung dengan peristiwa hari raya Idul Fitri, selepas berpuasa satu bulan penuh.
Hari Lebaran pada titik tertentu mengajarkan pentingnya memberikan rasa hormat akan sakralitas yang jejaknya diletakkan kepada orang lain yang boleh jadi kita jumpai ketika mudik ke kampung halaman.
Perjumpaan dengan lian menjadi penanda untuk membangun persekutuan yang solid. Kita bisa saling belajar satu dengan lainnya. Kembali pada kebersamaan (minal aidin) dengan penuh rasa riang, tulus dan lapang (wal faizin).
Keseluruhan cara orang lain menyingkapkan dirinya, yang disebut filsuf Levinas sebagai ”wajah orang lain” (face of the other), yang pada gilirannya akan mampu mendobrak pertahanan diri kita dan memperlihatkan kerapuhan kita.
Karena wajah manusia, sebagaimana diulas Thomas Hidya Tjaya (2018), bukanlah sekadar fenomena, melainkan sebuah enigma.
Baca juga: Anatomi Lebaran Berkeadaban
Seluruh kehadiran kita direpresentasikan lewat wajah. Termasuk pada wajah terletak asal-usul jejak ilahiah yang tak terbatas (the infinite) yang mengandaikan penghormatan apa adanya sesuai dengan martabat manusia lengkap dengan karakteristiknya yang unik dan berlainan (alterity).
Mudik secara filosofis artinya kembali menggali kepada bentuk asli manusia yang beragam. Kembali kepada asas kemajemukan yang dalam konteks bernegara menjadi halaman muka bangsa Indonesia. Secara kultural diwadahi dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika yang dianggit dari buku Empu Tantular, kitab Sutasoma.
Secara geografis tentu kembali pada kampung halaman tempat kita menimba segenap kenangan, berpulang kepada cerita masa silam supaya sanggup membuat sejarah masa depan yang dibayangkan lebih gemilang.
Satu pesan moral yang hendak dimunculkan pada Lebaran adalah kewajiban pemeluk agama agar mampu melucuti segenap kemungkinan potensi yang bisa menghancurkan kualitas kediriannya.
Secara teologis artinya pulang kepada akar spiritualisme dan kesadaran keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), dan moderat (tawasuth).
Ketika sakralitas itu punah. Hal ini telah cukup menjadi awal bagi mencuatnya tindakan serampangan yang tidak hanya menghancurkan diri, tetapi juga kemanusiaan secara keseluruhan.
Satu pesan moral yang hendak dimunculkan pada Lebaran adalah kewajiban pemeluk agama agar mampu melucuti segenap kemungkinan potensi yang bisa menghancurkan kualitas kediriannya. Dapat menurunkan mutu kemanusiaan ke tubir kehinaan yang paling dalam.
Pelepasan egoisme
Proses-proses seperti itu dalam agama disebut pelepasan dari egoisme atau dalam bahasa Yunani, kenosis (pengosongan diri), yang notabene menjadi tema sentral setiap kitab suci.
Kenosis menjadi jalan terbaik menggapai transendensi. Kenosis yang memungkinkan seseorang bisa menumbuhkan empati, welas asih, gotong royong, dan solidaritas sosial. Puasa adalah ekspresi dari wujud kenosis itu. Wujud itu secara sosial menemukan katupnya pada momen Lebaran. Satu sama lain saling memaafkan khilaf kesalahan dan bertekad untuk tak mengulanginya lagi.
Kenosis dalam tubuh manusia mengambil tempat di otak kanan. Hari ini banyak keburukan mencuat ke permukaan, termasuk yang mengatasnamakan agama dan diinspirasi kitab suci, salah satu faktornya adalah karena dimensi kenosis hilang dalam kesadaran kita sehingga kebajikan yang kita lakukan hanya tertuju pada kelompoknya sendiri. Sementara, kepada mereka yang berbeda, yang dimunculkan adalah kecurigaan dan kebencian.
Penghormatan kepada lian hilang. Mengaku Islam sebagai ”rahmat”, tetapi tindakannya menyebarkan ”laknat” kepada mereka yang tak sehaluan pikiran. Bahkan meneriakkan Allahu Akbar dengan tampilan wajah penuh sukacita ketika bisa menggembok rumah ibadah orang lain dan tragisnya dipimpin langsung kepala daerah yang seharusnya kehadirannya memayungi semua agama.
Baca juga: Tantangan Tahun Toleransi
Kenosis juga pada gilirannya meniscayakan kita untuk tak melulu menafsirkan kitab suci lewat otak kiri yang serba hitam putih, tetapi serentak pada saat yang sama melibatkan otak kanan. Dalam ulasan Karen Amstrong, perlu integrasi belahan otak kiri dan kanan dalam membaca kitab suci agar bunyi kitab suci kembali terdengar seperti musik yang menggetarkan jiwa, tak ubahnya tarian yang menebarkan daya pukau kepada semua penonton.
Pada masa lalu, kitab suci telah membantu manusia mentransendensi ikatan material dan duniawi, menghubungkan manusia dengan yang ilahi.
Kini, ketika pendidikan modern semakin cenderung pada sisi rasionalitas, logika, dan analisis, pembacaan kitab suci pun semakin kering dan kehilangan keindahannya. Lebih gawat lagi ketika kitab suci itu tafsirannya dimanfaatkan untuk mendulang suara dalam hiruk-pikuk demokrasi yang kerap berhenti sebatas elektoral.
Ihwal sakralitas
Tentu saja sakralitas yang menempel pada ritus puasa dan Lebaran tidak hanya dibaca sebatas ritual personal, tetapi efeknya mesti terlihat dalam kehidupan sosial. Lebaran menjejakkan pengaruhnya termasuk dalam kehidupan politik harian kita.
Politik yang tak melulu mengejar capaian kuantitas elektoral, tetapi berbasis pada kualitas moral. Politik yang berporos pada akal budi, nalar yang luhur, dan kekuatan etika.
Nabi dan empat sahabatnya telah memberikan teladan ihwal format politik berkeadaban seperti itu. Sebagaimana ditulis Ahmed T Kuru (2022), etos politik pada masa Nabi Muhammad dan empat khalifah penggantinya memiliki tiga ciri utama, mirip dengan identitas yang dilekatkan pada republikanisme.
Tentu saja sakralitas yang menempel pada ritus puasa dan Lebaran tidak hanya dibaca sebatas ritual personal, tetapi efeknya mesti terlihat dalam kehidupan sosial.
Pertama, etos itu berlawanan dengan patrimonialisme. Jenis budaya politik di mana raja beranggapan kerajaan sebagai miliknya pribadi. Nabi hidup sederhana dan bisa ditemui masyarakat secara langsung dan setiap saat. Ruang publik kultural, tempat khalayak mempercakapkan persoalan kesehariannya, terus dinyalakan.
Kedua, penolakan terhadap despotisme. Nabi menerima kesetiaan politik dari para pengikutnya (baiat) dengan cara berjabat tangan. Politik sebagai alat berkhidmat pada kepentingan khalayak.
Ketiga, komitmen yang kuat terhadap penegakan aturan atau supremasi hukum. Situasi politik yang melambangkan egalitarianisme (Louise Marlow), bahkan Robert Bellah menyebutnya sebagai politik yang amat progresif, maju, demokratis, dan tentu saja amat melampaui zamannya, sebelum pada akhirnya terhenti di tangan sistem Dinasti Umayyah yang korup.
Baca juga: Pembaruan Komitmen Kebangsaan
Kemanusiaan paripurna
Dengan kata lain, dari Lebaran kita diseru untuk mengaktifkan ingatan tentang pentingnya menjadi insan kamil.
Semacam manusia paripurna yang menjadi alas cermin yang memantulkan sifat-sifat Tuhan. Menjadi wadah di mana Tuhan bersinggasana, ”Bumi dan langit tidak akan bisa menampung Tuhan, kecuali hati yang bersih”. Sekali lagi, insan kamil. Bukan instan kamil yang sibuk dengan pencitraan dan kepalsuan yang hanya akan berujung pada penyesalan. Selamat ber-Lebaran. Maaf lahir dan batin.
Asep Salahudin Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya; Pembina Lesbumi PWNU Jawa Barat