Halalbihalal Merajut ”Ukhuwah” Kebangsaan
Bulan Syawal ini merupakan momentum yang paling tepat bagi umat Islam saling memaafkan, ber-halalbihalal. Sangat tepat juga jika dilakukan rekonsiliasi nasional demi kepentingan bangsa dan keutuhan nasional.
Hari ini umat Islam baru saja menunaikan ritual besar selama satu bulan penuh, yaitu shiyam Ramadhan, plus seluruh rangkaian ibadah dan amal kebajikan lainnya, seperti shalat sunah, tadarus Al Quran, dan sedekah. Maka bulan Syawal ini, mereka digolongkan Allah menjadi orang menang dan kembali ke fitrahnya semula (ied al-fithri).
Idul Fitri ada karena adanya shiyam Ramadhan, maka tidak ada nilai dan identitas fitri jika tidak ada pelaksanaan shiyam Ramadhan tersebut. Kenapa orang mukmin saat ini dikembalikan ke fitrahnya?
Kembali ke fitrah
Selama bulan Ramadhan hingga Syawal, seluruh karunia ditumpahkan oleh Allah kepada orang mukmin. Ada tujuh macam karunia tersebut. Pertama adalah rahmat (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh pertama bulan Ramadhan/al-‘asyr al awwal).
Kedua, maghfirah (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh kedua atau pertengahan (al-‘asyr al-ausath). Ketiga, pembebasan dari siksa api neraka (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh terakhir (al-‘asyr al-awakhir). Keempat, adalah lailatulqadar yang diturunkan pada malam ganjil pada sepuluh terakhir (yang semalam nilainya lebih baik dari seribu bulan, setara dengan 83 kali usia manusia).
Baca juga: Puasa, Altruistik, dan Bahagia
Kelima, zakat fitrah (yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah manusia). Keenam, berpuasa sunah enam hari syawal (yang nilai pahalanya setara dengan puasa satu tahun). Ketujuh, halalbihalal (saling memaafkan antarsesama, yang dapat menghapus dosa-dosa adami).
Maka, bagi orang-orang mukmin, bulan Syawal ini merupakan babak baru, babak kembalinya ke fitrah yang suci.
Karena muara ibadah berpuasa Ramadhan adalah terbentuknya mukmin yang bertakwa, yang dalam Al Quran Surah Ali ‘Imran: 133 dijelaskan ciri-cirinya ada empat. Pertama, orang yang bersedia menginfakkan sebagian hartanya, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Kebiasaan bersedekah seperti ini juga dicontohkan ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha, istri Rasulullah Saw yang rutin bersedekah meski hanya dengan sebiji kurma sekalipun.
Bahkan di dalam riwayat lain, Nabi menyebutkan, harta yang dikeluarkan untuk kepentingan sedekah itu tidak akan mengurangi sedikit pun kekayaan seseorang, tetapi justru menjadi investasi akhirat yang akan dinikmati hasilnya.
Dalam surat Al-Baqarah: 261 Allah menjelaskan bahwa perumpamaan orang yang mendistribusikan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji.
Allah akan melipatgandakan (pahala) bagi mereka. Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi infak untuk kepentingan jihad fi sabilillah, pembangunan tempat-tempat ibadah: masjid, mushala, madrasah, rumah sakit, dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang diridai oleh Allah SWT.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam telah menjadi orang kuat selama sebulan karena mereka mampu mengendalikan diri dan menguasai hawa nafsunya.
Kedua, adalah orang yang mampu menguasai hawa nafsunya, yaitu jika mereka diberi cobaan oleh Allah SWT, tetap sabar dan tidak berkeluh kesah. Orang-orang inilah yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai orang kuat. Pada bulan Ramadhan, umat Islam telah menjadi orang kuat selama sebulan karena mereka mampu mengendalikan diri dan menguasai hawa nafsunya. Dalam kesempatan lain Nabi juga pernah berujar: ”Barang siapa mampu menahan diri, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa aman dan iman”.
Ketiga, sikap lapang dada, yaitu orang-orang yang oleh Nabi dikategorikan sebagai kelompok orang terhormat yang memiliki derajat tinggi di sisi Allah SWT. dan di hari kiamat mereka menempati surga-Nya.
Keempat, orang-orang yang bertobat atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Dalam suatu riwayat diceritakan dari Anas RA bahwa ketika ayat ini turun, Iblis menangis seketika, sebab ia merasa tak mampu untuk terus menggoda manusia karena ampunan Allah SWT yang terus-menerus diberikan kepada hamba-Nya yang mau bertobat, sebagaimana sabda Nabi: Setiap anak adam itu (pernah) bersalah (berdosa) dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang mau bertobat.
Saling memaafkan
Maka di sinilah Allah menjanjikan kekuatan bagi orang yang selalu membaca kalimat thayyibah: tahlil, tahmid, tasbih, dan istigfar, karena iblis tak akan pernah mampu menggoda -nya. Memang iblis pernah bersumpah akan senantiasa menggoda anak Adam sepanjang hidup manusia. Tetapi Allah menjamin akan senantiasa mengampuni dosa-dosa anak Adam selagi mereka masih mau meminta ampunan kepada-Nya.
Maka bulan Syawal ini merupakan momentum yang paling tepat bagi umat Islam untuk saling memaafkan di antara mereka, ber-halalbihalal sebagai bentuk penghapusan dosa secara horisontal dan massal. Itulah maka dalam Idul Fitri kemudian umat Islam memulai lembaran barunya dengan mengisi amal-amal kebajikan, seperti: silaturahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu, dan sebagainya.
Pada zaman modern ini, tradisi positif, seperti silaturahim yang telah dibangun oleh orang tua kita dulu, sudah semakin punah.
Ada riwayat yang menarik dalam konteks ini. Suatu hari Nabi pernah bertanya kepada para sahabatnya: ”Tahukah kalian, siapakah yang disebut orang yang bangkrut atau pailit itu?” Para sahabat kemudian menjawab: ”Orang bangkrut adalah orang yang seluruh harta bendanya ludes”.
Kemudian Nabi bersabda: ”Bukan, bukan itu. Orang bangkrut adalah orang yang saat menghadap Allah di hari kiamat dengan membawa pahala shalatnya, puasanya, zakat dan hajinya, tetapi pada waktu hidup di dunia ia suka berbuat zalim (mengganggu saudaranya, tetangga, merampas hak orang lain) dan pada waktu meninggal belum sempat meminta maaf kepada mereka….”
Pada zaman modern ini, tradisi positif seperti silaturahim yang telah dibangun orangtua kita dulu sudah semakin punah. Hal ini karena kehidupan modern cenderung materialistis dan individualis.
Orang bersedia berteman jika ada kepentingan kerja atau bisnis. Di kota-kota besar, misalnya, antara tetangga satu dengan tetangga yang lain hampir tidak saling mengenal sebagaimana yang diramalkan oleh Alvin Toffler, bahwa zaman modern akan melahirkan manusia-manusia impersonal, manusia yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya.
Baca juga: Mudik, Tradisi, dan Silaturahmi
Pengaruh teknologi informasi dan perangkat media digital juga mereduksi nilai silaturahim yang tidak lagi face-to-face, tetapi sudah digantikan dengan Facebook dan aplikasi lainnya, termasuk pembelajaran di kelas dengan e-learning.
Namun beruntung, umat Islam masih memiliki tradisi yang baik yang perlu dilestarikan untuk mengatasi dampak era digital dan modernisasi tersebut, seperti: tahlil dan yasin berjamaah, barzanji dan diba’, majelis-majelis taklim, baik di tingkat RT maupun RW. Tradisi tersebut merupakan salah satu bagian dari bentuk ukhuwah islamiyah, ukhuwah basyariyah dari sekian tradisi baik lainnya yang ada dalam ajaran Islam serta tradisi Islam Nusantara.
Rekonsiliasi nasional
Tradisi silaturahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu, merupakan perilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Bahkan ditegaskan oleh Nabi: ”Jika seorang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka supaya menjalin silaturahim”.
Maka, mengantisipasi indeks kerawanan pemilu di berbagai wilayah yang mengalami peningkatan secara signifikan dibandingkan periode sebelumnnya, sebagaimana dilaporkan Kompas (9/1/2023), maka pada momentum Idul Fitri dan halal bihalal sangat tepat jika dilakukan rekonsiliasi nasional demi kepentingan bangsa dan keutuhan nasional Indonesia tercinta.
Halalbihalal dan silaturahim antartokoh, antarpendukung partai, antarpengusung pasangan calon dan organisasi lainnya perlu segera terwujud demi terciptanya kondisi yang harmoni, damai dan sejuk berdasarkan komitmen kebangsaan dan persatuan nasional, agar menjadi Indonesia yang kuat dan bermartabat. Semoga.
M Zainuddin, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang