Puasa dan Pendidikan Moral Otentik
Orang yang berpuasa adalah orang yang dididik moralnya agar simpati, empati, dan peduli kepada orang lain. Ini antara lain misi pendidikan moral otentik yang ditawarkan puasa dan amaliah Ramadhan.
Pendidikan moral otentik merupakan misi utama yang dibawa para nabi, rasul, tokoh spiritual, filsuf, dan lainnya. Lahirnya sejumlah tokoh dalam berbagai bidang yang memiliki integritas pribadi yang tinggi dan rela mengorbankan apa saja untuk cita-cita luhur antara lain karena hasil pendidikan moral otentik.
Namun, belakangan ini pendidikan moral otentik tampak kurang efektif. Pendidikan moral beriringan dengan pelanggaran moral dan belum berbanding lurus dengan perbaikan moral.
Di antara sebab tidak efektifnya pendidikan moral, menurut Thomas Lickona dalam Educating for Character (2014:75-86), karena sifatnya yang verbalistik dan berhenti pada tataran pengetahuan moral (moral knowing) belaka. Sementara sikap moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral acting) nyaris tidak tercapai.
Perilaku moral hanya ada di permukaan, tampil sebagai topeng, settingan, kepura-puraan, atau pencitraan belaka. Di balik topeng moral yang ditampakkan itu terkandung tujuan lain yang justru bertentangan dengan tindakan moral otentik yang terhunjam dalam lubuk hati nurani yang paling dalam.
Baca juga: Degradasi Moralitas dan Tantangan Pendidikan Indonesia
Ibadah puasa dan amaliah Ramadhan menyadarkan kita tentang pentingnya pendidikan moral otentik. Orang yang berpuasa adalah orang yang tengah mempraktikkan kejujuran, disiplin, kesabaran, tanggung jawab, keikhlasan, dan perbuatan baik lainnya.
Tindakan moral yang luhur ini lahir dari hakikat puasa itu sendiri, yakni al-imsak, yang mengandung arti bukan hanya mengendalikan syahwat makan dan minum serta lainnya yang membatalkan, melainkan juga mengendalikan syahwat harta benda, kekuasaan, dan lainnya. Orang yang berpuasa adalah orang yang tengah melatih hatinya agar mampu menjauhi rasa iri, dengki, benci, dendam, dan lainnya. Hatinya tengah dilatih mencintai, menyayangi, simpati, dan empati kepada orang lain.
Orang yang berpuasa adalah orang yang tengah melatih ucapannya, agar mampu menjauhi ucapan dusta, munafik, gibah, fitnah, omong kosong, keji, buruk, dan sebagainya. Ucapan orang yang berpuasa tengah diisi dengan lantunan ayat-ayat suci Al Quran, zikir, doa, nasihat, perkataan yang bermakna, dan sebagainya.
Perbuatan orang yang berpuasa tengah dilatih dengan sikap mau peduli, berbagi, memecahkan masalah, menolong, dan membahagiakan orang lain.
Demikian pula orang yang berpuasa adalah orang yang tengah dilatih agar mampu menjauhi perbuatan buruk, seperti mengurangi timbangan dan takaran, memaksa, memonopoli, mengecoh, menipu, menjebak, mengadu domba, dan sebagainya. Perbuatan orang yang berpuasa tengah dilatih dengan sikap mau peduli, berbagi, memecahkan masalah, menolong, dan membahagiakan orang lain. Inilah di antara misi pendidikan moral otentik yang ditawarkan puasa dan amaliah Ramadhan.
Selain itu, ibadah puasa menyadarkan kita tentang pentingnya memecahkan masalah pada tataran yang strategis dan substantif, yaitu pemecahan masalah bukan pada tataran akibat, melainkan pada tataran sebab. Mengatasi rumah yang bocor, misalnya, bukan hanya dengan menadahi kucuran air dengan bejana, melainkan dengan mengganti genteng yang retak atau pecah.
Kedaulatan rohaniah
Mengatasi pelanggaran moral, misalnya, bukan hanya dengan menasihati, menakut-nakuti, atau menjatuhkan sanksi, melainkan dengan mencari sebab mengapa ia melakukan pelanggaran moral. Ibadah puasa mengajarkan kepada kita tentang penanggulangan pelanggaran moral dengan mengatasi faktor-faktor penyebabnya, yaitu dengan mengendalikan penyebab: mengendalikan dorongan hawa nafsu syahwat, nafsu amarah, bujukan setan, pergaulan yang buruk, dan lainnya.
Orang yang berpuasa adalah orang yang tengah dilatih agar mampu menempatkan kedaulatan rohaniah di atas kedaulatan jasmaniah. Kedaulatan akal, hati nurani, fithrah keagamaan, dan kecenderungan positif harus mampu mengalahkan kecenderungan negatif. Kedaulatan rohaniah dan roh ilahiah jangan sampai mengikuti kedaulatan jasmaniah yang biasanya berkawan dengan syahwat, amarah dan hawa nafsu.
Al Quran mengingatkan: ”Seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, niscaya binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya” (QS al-Mu’minun, 23:71).
Orang yang berpuasa adalah orang yang tengah dilatih agar mampu menempatkan kedaulatan rohaniah di atas kedaulatan jasmaniah.
Pencurian, perampokan, korupsi, konflik sosial, penjajahan dan peperangan yang berdampak global sebagaimana yang terjadi di Ukraina dan berbagai belahan dunia lainnya membuktikan kebenaran pernyataan kitab suci itu, yakni bahwa berbagai konflik, permusuhan, peperangan dan lainnya yang menimbulkan malapetaka dan bencana penyebab utamanya adalah karena tidak terkendalinya syahwat, amarah, dan hawa nafsu.
Ajaran pengendalian syahwat, amarah, dan nafsu yang menghasilkan moral otentik yang dididikan oleh ibadah dan amaliah Ramadhan sifatnya universal, yakni bersifat lintas agama, etnis, golongan, budaya, dan lainnya.
M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah Jilid I (2002:485) ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah (2:183), misalnya, mengatakan bahwa puasa (menahan diri) dibutuhkan oleh setiap orang kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit, orang modern atau primitif.
Selanjutnya puasa sudah dikenal orang Mesir Kuno sebelum mereka mengenal agama Samawi. Dari mereka, praktik puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi, agama penyembah bintang, agama Buddha, Yahudi, dan Kristen.
Baca juga: Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur
Penggunaaan redaksi kutiba alaikum al-shiyam (diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa) tanpa menyebutkan Allah (Tuhan) yang mewajibkannya dalam Ayat 183 Surat Al-Baqarah tersebut, menurut M Quraish Shihab dalam tafsirnya itu, mengisyaratkan bahwa apa yang diwajibkan itu sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan kelompok sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkannya atas dirinya.
Dengan kata lain, andaikata Allah tidak mewajibkan berpuasa, manusia akan mewajibkannya sendiri agar berpuasa. Atau, karena mengingat demikian besarnya manfaat didikan Ramadhan, maka tanpa disuruh Allah pun manusia akan berpuasa dengan sendirinya.
Didikan pengendalian diri dari syahwat, amarah, dan hawa nafsu yang merupakan inti pendidikan moral juga dijumpai dalam ajaran setiap agama. Dalam agama Buddha sebagaimana dikemukakan Huston Smith dalam The Religion of Man (Agama-agama Manusia) (1985:133-134), misalnya, dikatakan, bahwa penyebab tergelincirnya manusia adalah tanha, yaitu karena tidak mampu menarik diri atau menahan diri dari kehidupan yang masih berlangsung, pemenuhan diri melalui unsur jati diri kita yang selama ini masih terbelenggu.
Jika kita tidak lagi mementingkan diri sendiri, kita akan bebas. Tanha adalah kekuatan yang merusaknya karena ia merupakan kehendak untuk memperoleh pemenuhan kepentingan diri, ibarat ”ego” yang keringatnya mengalir berbintik-bintik bagaikan luka pedih yang tidak kelihatan. Keinginan itu terdiri dari seluruh kecenderungan batin yang ingin melanjutkan atau meningkatkan kesendirian, yaitu hidup terpisah dari sasaran keinginan atau perasaan mementingkan diri sendiri.
Puasa yang dikerjakan mencakup pengendalian atau menahan diri dari mementingkan diri sendiri. Orang yang berpuasa adalah orang yang dididik moralnya agar simpati, empati, dan peduli kepada orang lain. Ali Ahmad al-Jurjawiy dalam Hikmah al-Tasyri wa Falsafah jilid I (tp th: 204) mengatakan: ”Jika manusia berpuasa dan merasakan lapar secara berulang-ulang diharapkan dapat menumbuhkan rasa lembut dan kasih sayang kepada orang-orang fakir dan miskin yang tidak memenuhi kebutuhan pokoknya setiap hari”.
Orang yang berpuasa adalah orang yang dididik moralnya agar simpati, empati, dan peduli kepada orang lain.
Selanjutnya dalam agama Hindu sebagaimana juga dikemukakan Huston Smith (1985:29) dikatakan bahwa selama ini jawaban atas apa yang diinginkan manusia dalam bentuk kesenangan dan kesuksesan terlalu dangkal. Apa yang sungguh-sungguh harus kita inginkan adalah hal-hal yang terletak pada tataran yang lebih dalam lagi, sesuatu yang abadi dan tidak berubah.
Selama ini terdapat beberapa lembaga pendidikan yang dinilai mampu melaksanakan pendidikan moral otentik, antara lain pondok pesantren. Di lembaga pendidikan ini, ajaran moral otentik tentang hidup sederhana, sabar, ikhlas, baik sangka, suka berbagi, simpati, empati, disiplin, jujur, tanggung jawab, dan lainnya, tidak diajarkan secara verbal atau teoretik, tetapi ditampakkan dalam praktik kehidupan yang empirik sehari-hari.
Makan dan minum dengan menu yang disajikan pengelola pondok pesantren atau mereka dengan cara masak sendiri; pakaian yang mereka kenakan, pondokan yang mereka tempati, pergaulan hidup dan sebagainya yang mereka alami menggambarkan didikan moral otentik yang sederhana. Jauhnya mereka dari orangtua dan kemewahan hidup memberikan didikan moral tentang sikap prihatin, kemandirian, kesabaran, dan sebagainya.
Baca juga: Pesantren: Makna dan Misi Etika-Moralitas
Melihat keberhasilan pondok pesantren melakukan pendidikan moral otentik itu menarik perhatian lembaga pendidikan pada umumnya untuk mengintegrasikan sistem pondok pesantren ke dalam lembaga pendidikan yang dikelolanya. Kemudian bermuncullan lembaga pendidikan dengan sistem boarding school, yaitu lembaga pendidikan yang mewajibkan para siswanya tinggal di pondok (asrama).
Namun, sebagian penelitian melaporkan bahwa di antara lembaga pendidikan yang menerapkan sistem boarding school itu ada yang berhasil, setengah berhasil, dan ada juga yang gagal. Di antara sebab kegagalannya adalah karena tidak adanya figur yang mampu melakukan peran kiai sebagaimana yang dijumpai di pondok pesantren, yaitu bukan kiai karena ditugaskan atau diangkat, melainkan kiai yang tumbuh secara natural karena kedalaman dan keluasan ilmu dan pengalamannya karena keluhuran moral dan kepribadiannya, serta karena berbagai prestasi spiritual lainnya yang patut dicontoh dan memiliki daya tarik untuk diteladani. Kiai dengan tipologi dan kriteria sebagaimana yang terdapat di pondok pesantren itu tidak dijumpai di lembaga pendidikan dengan sistem boarding school pada umumnya.
Ibadah dan amaliah Ramadhan yang memberikan didikan moral otentik yang efektif itu berjalan secara natural dan murah. Tidak ada orang atau lembaga yang membuat rancangan, desain pendidikan moral otentik, dan menggerakkannya seperti yang ditunjukkan didikan Ramadhan.
Pendidikan moral otentik Ramadhan adalah pendidikan tanpa biaya. Allah SWT langsung bertindak sebagai instruktur dan pengawas. Siang dan malam selama Ramadhan menjadi waktu penyelenggaraannya; tidak membutuhkan tempat khusus; kurikulumnya pengendalian diri siang dan malam, hubungan vertikal melalui shalat Tarawih, pencerahan spiritual melalui tadarus (mempelajari) Al Quran, infak, shadaqah (sedekah), dan lainnya. Ijazah bagi yang lulus langsung diberikan Allah berupa surga Al-Rayyan di akhirat nanti.
Baca juga: Sedekah Itu Menyehatkan
Melalui inspirasi yang diberikan ibadah dan amaliah Ramadhan itu, kini saatnya kita mengembangkan pendidikan moral otentik. Caranya bukan dengan membuat rancangan atau desain yang secara khusus dan membutuhkan biaya yang mahal yang akhirnya terjebak ke dalam model pendidikan seperti yang ada sekarang, melainkan pendidikan yang natural, yaitu dengan memanfaatkan setiap peluang atau lingkungan yang ada dan telah membentuk sistem di masyarakat.
Selain ibadah puasa dan amaliah Ramadhan, masih banyak peluang dan lingkungan yang disediakan agama, seperti ritualitas keagamaan, hari-hari besar keagamaan, kegiatan pengelolaan zakat, sedekah, infak, hibah, wakaf, termasuk pondok pesantren dan sebagainya yang dapat dijadikan sarana bagi pendidikan moral otentik. Dimensi pemahaman, penghayatan, dan pengamalan atas berbagai kegiatan ritualitas dan lainnya harus ditingkatkan dan dilihat efektivitasnya bagi pembentukan moral autentik.
Abuddin Nata, Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta