Degradasi Moralitas dan Tantangan Pendidikan Indonesia
Sejumlah pemberitaan yang mengentak nalar kesadaran membuat kita ”mengelus dada”. Mewacanakan pendidikan moral kembali, saat ini, bisa menjadi oase kegersangan sosial dan degradasi moralitas dan karakter bangsa.
Jagat media belakangan ini ramai membincangkan dan menyuguhkan gambaran degradasi moralitas anak bangsa yang semakin jauh dari ajaran agama dan adat istiadat.
Sejumlah pemberitaan yang mengentak nalar kesadaran membuat kita ”mengelus dada”. Menyayat hati. Sekaligus menampar wajah masyarakat Indonesia. Fenomena yang tak boleh dianggap remeh oleh siapa pun, serta membutuhkan kejujuran, kesadaran, dan keseriusan semua pihak dalam mengatasi turbulensi moralitas seperti ini, dengan berbagai cara, terutama melalui pendidikan.
Bagaimana tidak, masyarakat yang selama ini terkenal sangat agamis mendadak harus menahan kelu dan merasa tercoreng malu, semisal dengan pemberitaan kebocoran dan penyelewengan dana umat oleh ACT; salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia.
Disusul oleh masifnya pemberitaan pengepungan anak kiai di Jombang oleh polisi atas dugaan pencabulan di pesantren. Kedua kasus ini memang masih perlu dibuktikan kebenarannya di pengadilan.
Namun, jika terbukti benar, kasus ini mempertegas dan melengkapi pernyataan para ahli dan peneliti selama ini bahwa memang terdapat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan sering ”bertopeng agama” untuk berbuat kejahatan, seperti korupsi, anarkisme, radikalisme, terorisme, serta eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Melihat kenyataan itu, mewacanakan pendidikan moral kembali, saat ini, bisa menjadi oase kegersangan sosial dan degradasi moralitas dan karakter bangsa.
Melihat kenyataan itu, mewacanakan pendidikan moral kembali, saat ini, bisa menjadi oase kegersangan sosial dan degradasi moralitas dan karakter bangsa. Ini sekaligus menjadi tantangan terhadap Kurikulum Merdeka, yang kabarnya lebih menitik beratkan pada peserta didik (a child centred approach) dan diyakini dapat mendukung pengembangan karakter serta kompetensi peserta didik.
Melihat minimnya kesadaran masyarakat merawat ”modal moral”, diperlukan gerakan persuasif edukatif untuk mengembalikan kebiasaan masyarakat mentransmisikan nilai-nilai moral bagi generasi muda untuk mengimbangi perkembangan zaman.
Tidak dapat dimungkiri, zaman ”gadget society” sekarang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifatnya memang memudahkan manusia. Namun, era ini juga membawa dampak serius terhadap perubahan sikap dan tingkah laku manusia.
Di antaranya kecenderungan manusia memprioritaskan sesuatu yang berbau materialistis dan pudarnya ikatan batin manusia dengan Tuhan.
Era sekarang memang ditandai dengan keterbukaan dan komunikasi tanpa batas. Namun, sayang, dunia pendidikan juga mengalami reduksi makna. Pendidikan hanya mengejar bayang-bayang materialisme dan terjerembab pada kapitalisasi.
Tanpa disadari, sedikit demi sedikit pendidikan meninggalkan visi profetik dan kurang memuliakan manusia (dehumanisasi). Proses pendidikan yang awalnya lebih bermakna ”momong” kini menjadi sesuatu yang sangat jarang dilakukan orangtua dan guru di era virtual.
Kesibukan mereka mengesampingkan proses pendidikan yang sesungguhnya, menjadi sekadar menjejalkan pengetahuan dan miskin transmisi nilai-nilai karakter baik.
Perlu kolaborasi semua komponen, merealisasikan pendidikan moralitas dari TK hingga perguruan tinggi.
Bergandeng tangan
Melihat realitas tersebut, pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus berbenah, bergandengan tangan merumuskan kembali lembaga pendidikan (sekolah) agar menjadi wahana pencerdasan umat. Meminjam terminologi dari Ki Hadjar Dewantara, sekolah harus mempersiapkan generasi beradab, cakap, dan sejahtera lahir batin. Perlu kolaborasi semua komponen, merealisasikan pendidikan moralitas dari TK hingga perguruan tinggi.
Lembaga pendidikan, baik sekolah, madrasah, maupun pesantren harus segera menjawab persoalan degradasi moralitas dan mencarikan solusi atas eksistensi sekolah. Selama ini, sekolah dianggap belum menjawab persoalan kehidupan.
Ivan Illich, dalam buku berjudul Descholling Society (1971), menganggap sekolah sebagai sarana pembodohan terselubung dan mengacaukan proses pendidikan dengan substansi. Adapun Beatrice dan Ronald Gross dalam buku The Great School Debate (1985) menengarai sekolah menjadi biang keladi munculnya perilaku menyimpang dari peserta didik.
Didie SW
Semua lembaga pendidikan tidak perlu terjebak rutinitas, sekadar mencari murid banyak dan kemudian meluluskan, tanpa ada kepedulian sedikit pun membangun karakter positif peserta didik. Tidak ada salahnya membuka kembali referensi dan kitab-kitab yang berhubungan dengan upaya membangun moralitas yang efektif pada generasi muda.
Terutama rujukan pendidikan moral dari berbagai pendulum peradaban, baik Islam maupun Barat. Dengan demikian, para guru dan masyarakat bisa mencari rujukan secara kritis, eklektis, dan komparatif, dari para pemikir pendidikan karakter (the thinkers of moral and character education).
Referensi dan rujukan sangat diperlukan siapa pun yang ingin meningkatkan pemahaman komparatif dalam pendidikan moral. Terutama sekali, meningkatkan konsep, wawasan, dan skill bagi generasi muda, meminjam pernyataan MA Ayeni dalam The Concept of Morality in Education Discourse (2012). Ini mempersiapkan masyarakat mencapai keputusan di atas landasan yang valid dan kriteria moralitas yang tepat.
Baca juga Penafsiran Akreditasi Perguruan Tinggi
Semua sekolah harus berorientasi membangun manusia cerdas, berbudaya, dan beradab. Proses Pendidikan, menurut Imam Al-Ghazali harus mengarah pada dua tujuan: panjang dan pendek.
Tujuan panjang pendidikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semakin bertambah ilmu, seseorang seharusnya semakin dekat kepada Allah.
Adapun tujuan pendek pendidikan adalah untuk meraih profesi peserta didik sesuai bakat dan kemampuannya (Friemuth, 2006: 120).
Sekolah ramah anak
Perlu menciptakan sekolah sebagai lingkungan belajar dan ramah bagi anak. Lingkungan sekolah harus bebas dari kekerasan, perundungan, dan jauh dari sikap kompetitif dan permusuhan. Guru dan murid harus saling menghormati, mencintai, dan melindungi.
Lembaga pendidikan harus menyediakan kebudayaan positif dan menumbuhkembangkan anak secara holistik: secara individual, sosial, emosional, dan spiritual. Memungkinkan anak berkomitmen untuk belajar dan berprestasi, menjaga lingkungan, berkarakter baik, berbudi pekerti luhur, serta peduli pada keluarga dan masyarakat.
Semua perlu menyadari bahwa proses belajar di sekolah, madrasah, dan pesantren itu bukan sekadar transfer pengetahuan dan menjadikan seseorang pintar dan hapal berbagai teks keagamaan dan berbagai teori. Bukan juga proses mempelajari ilmu pengetahuan dari seseorang yang awalnya belum tahu menjadi tahu (learning to know). Belajar adalah berusaha memperbaiki diri, laku lampah, dan menghadirkan totalitas pribadi yang ber-akhlakul karimah.
Juga membawa pengertian yang baik tentang makna ibadah yang berimplikasi langsung pada karakter dan moralitas. Seseorang bisa dikatakan mampu beribadah dengan baik dan sempurna, sebagaimana pernyataan Muhammad Ghazali dalam kitab Khuluq al-Muslim: Tab’ah mutqanah munaqqahah (1988: 7-9), ”Ibadah itu harus bermakna dan terikat dengan realitas kehidupan yang dihadapi”. Maksudnya, ibadah tidak boleh ”kosong nilai” dan harus membekas pada pribadi setiap Muslim dan membentuk kesalehan sosial.
Tak kalah pentingnya, agar peserta didik menjadi pribadi dengan karakter baik, mempunyai spiritualitas kuat, menghormati perbedaan, dan bisa mencintai sesama. Maka, peran guru sangat penting.
Guru harus menjadi model terbaik bagi peserta didik. Dengan demikian, peserta didik bisa merasakan bimbingan langsung dari seorang guru. Sebagai candradimuka peserta didik, guru harus menjadi sosok yang menginspirasi, menjadi at-Tarbiyah ar-Ruhiyyah.
Guru harus bisa mendidik dan mengendalikan hawa nafsunya, penuh karakter positif dan menjadi ”manusia dewasa” yang senantiasa sabar, ikhlas, dan mengedepankan kasih sayang dalam segala hal.
Selain itu, manusia pada hakikatnya suka kelembutan, kedamaian, dan menolak konflik atau kekerasan. Tidak ada salahnya, jika seorang guru lebih mengedepankan hati dan perasaan cinta.
Sudah saatnya para guru meninggalkan bentuk pendidikan dengan sikap ”amarah”, emosi, dan suka membentak sebab hal ini pasti akan menyebabkan keburukan pada anak-anak. Bisa jadi, kegagalan pendidikan kita selama ini masih menghasilkan perilaku-perilaku menyimpang pada anak karena salah metode.
Cinta mempunyai kekuatan dahsyat untuk bisa mengubah anak-anak, dari biasa menjadi luar biasa.
Anak amanah Tuhan
Harus diketahui, anak sebagai amanah dari Tuhan yang Maha Kuasa perlu dirawat dengan sebaik-baiknya. Bentuk perawatan terbaik adalah menanamkan cinta kasih.
Cinta dapat menjadi motivator paling baik untuk belajar dan bertumbuh. Cinta mempunyai kekuatan dahsyat untuk bisa mengubah anak-anak, dari biasa menjadi luar biasa.
Seberapa besar ”sentuhan” kasih sayang dari orangtua dan guru kepada anak-anak menentukan masa depan mereka.
Jika guru atau orangtua mendidik anak tanpa kasih sayang, malah dengan kekerasan dan pelecehan, anak akan memahami bahwa ia diabaikan. Keadaan ini berdampak buruk pada psikologi anak.
Kondisi psikis akan menentukan proses belajar anak. Jika cinta yang diberikan oleh orangtua dan guru tulus, hati anak akan senang dan nyaman. Kondisi demikian memudahkan setiap anak bisa menerima setiap materi yang diajarkan. Bahkan, memungkinkan anak bergairah dan semangat mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya secara mandiri.
Kekuatan cinta mampu memengaruhi, mendorong, dan menjadi spirit bagi anak untuk melakukan sesuatu yang baik dan positif dalam kehidupan.
Syamsul Ma'arif, Guru Besar dan Dekan FPK UIN Walisongo