Sedekah Itu Menyehatkan
Sedekah, infaq, atau zakat yang diajarkan agama tak hanya bermanfaat bagi penerima, tapi juga pemberinya. Dengan membagi apa yang dimiliki, seseorang bakal merasakan kebagiaan sebagaimana orang yang menerimanya.
Agama mengajarkan umatnya untuk berbagi atas apa yang mereka miliki kepada orang lain demi kehidupan spiritual yang baik. Sejalan dengan agama, sains menunjukkan berbagi berdampak baik bagi kesejahteraan jiwa dan raga.
Kesusahan yang dialami masyarakat selama pandemi Covid-19 tak memudarkan semangat mereka untuk terus berbagi. Menggantungkan bahan makanan di pagar rumah, membuka warung makan gratis, membagikan masker dan cairan pembersih tangan, hingga menggalang dana untuk penanganan wabah banyak dilakukan.
Gairah berbagi itu makin menemukan momentumnya seiring datangnya bulan Ramadhan 1441 Hijriah. Meski gerak masyarakat lebih terbatas dibanding Ramadhan sebelumnya, berbagi tetap dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan.
Semangat itu makin membesar karena pembatasan aktivitas sosial yang sudah berlangsung hampir tiga bulan demi mencegah penularan dan penyebaran virus berdampak besar bagi perekonomian dan kesehatan mental masyarakat.
Semua agama mengajarkan untuk berbagi. Manfaatnya pun sudah jelas, mulai dari pahala, mensucikan harta, hingga memperpanjang umur. Sedekah juga bermakna besar bagi kehidupan sosial ekonomi, mengurangi ketimpangan, menumbuhkan solidaritas, hingga menggerakkan ekonomi.
Tak hanya bermakna spiritual, ekonomi dan sosial, sedekah, infak, zakat, kolekte, aksi puasa pembangunan, punia, derma, filantropi, kesukarelawanan, gotongroyong, atau apapun namanya dari tindakan memberikan sebagian yang kita miliki untuk orang lain yang membutuhkan, nyatanya juga bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga.
Baca juga: MUI: Zakat Dapat Dimanfaatkan untuk Penanganan Covid-19
Asal usul
Manusia adalah makhluk yang egois dan agresif, namun manusia juga merupakan spesies yang murah hati. Summer Allen dalam The Science of Generosity, 2018 menulis kedermawanan pada manusia kemungkinan berasal dari proses evolusi manusia, bukan hanya tumbuh dalam perkembangan manusia sebagai individu saja.
Lebah, burung, kelelawar, tikus dan simpanse semuanya menunjukkan sikap kedermawanan yang digambarkan sebagai perilaku prososial, yaitu tindakan yang menguntungkan orang lain. Sikap murah hati yang banyak ditemukan pada berbagai spesies itu menunjukkan, berbagi merupakan proses adaptasi evolusi yang penting demi menjaga keberlangsungan hidup spesies, termasuk manusia.
Proses evolusi itu membuat kedermawanan menjadi sikap bawaan. Akibatnya, anak dibawah umur tiga tahun pun sudah menunjukkan sikap berbagi dan bekerja sama. Namun dorongan berbagi dan bekerja sama itu biasanya melambat saat manusia tumbuh dewasa, saat mereka menjadi cenderung selektif dan memiliki motif beragam atas tindakannya.
Terlepas dari asal usul sikap kedermawanan manusia itu, sedekah memiliki banyak manfaat kesehatan. “Orang yang bersedekah dan aktif berkegiatan sosial memiliki kualitas kesehatan lebih baik dan umur lebih panjang,” kata Muh Khidri Alwi, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia Makassar dalam diskusi daring Sedekah: Sehat dan Menyehatkan, Sabtu (9/5/2020).
Orang yang terbiasa sedekah akan memiliki kadar imunoglobulin A (IgA) lebih tinggi dalam tubuhnya. Antibodi IgA itu berfungsi melindungi tubuh dari bakteri dan mikroba yang menyerang sistem pernapasan dan pencernaan.
Selain itu, saat seseorang memberi, tubuh mereka akan melepaskan hormon endorfin yang menimbulkan rasa senang dan meningkatkan imunitas tubuh. Tubuh juga akan mengeluarkan hormon oksitosin atau hormon kasih sayang yang membuat orang yang memberi akan merasakan hal yang sama dengan orang yang menerima pemberian.
“Saat seseorang memberi, maka dia akan memiliki kebahagiaan sama seperti yang menerima,” katanya.
Studi lain juga menunjukkan, orang yang rajin bersedakah juga memiliki risiko kematian lebih rendah dibanding orang yang tak terbiasa berbagi. Selain itu, 76 persen orang yang aktif dalam kegiatan sosial memiliki kualitas kesehatan lebih baik dibanding mereka yang tidak aktif.
Lebih rendahnya risiko kematian orang yang gemar berbagi dan terlibat kegiatan sukarela, bahkan mereka yang memiliki penyakit jantung sekalipun, juga diungkapkan Mitchell Popovetsky dari Rush University Medical Center, Chicago, Amerika Serikat di rush.edu.
Orang yang melakukan kegiatan sukarela selama 200 jam setahun atau 1-2 jam per minggu berisiko lebih rendah mengalami serangan jantung atau meninggal dalam dua tahun berikutnya. Kecilnya risiko serangan jantung itu karena berbagi bisa menurunkan tekanan darah. Namun mereka yang bekerja sukarela lebih 200 jam tidak akan mendapat manfaat itu akibat kelelahan dan stres yang menyertainya.
Baca juga: Pandemi Tak Menghentikan Kegiatan Saling Berbagi
Harga diri
Memberi juga meningkatkan kualitas hidup seseorang. Berbagi akan meningkatkan harga diri, rasa percaya diri, kepuasan hidup dan perasaan memiliki tujuan hidup.
Berbagi juga menurunkan risiko depresi. Perasaan positif saat memberi akan mengurangi peluang seseorang mengalami kesedihan dan rasa tak berdaya yang merupakan ciri-ciri depresi. Depresi dan kurangnya harga diri akan meningkatkan kadar kolesterol jahat dan indeks masa tubuh hingga meningkatkan risiko penyakit jantung.
Agar apapun yang dibagikan memberi manfaat bagi kesehatan, Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak mengatakan dibutuhkan setidaknya dua syarat, yaitu memiliki sesuatu untuk dibagikan, baik yang bersifat material maupun non material, serta memberikannya dengan lapang dada atau ikhlas, bukan karena keterpaksaan.
Sesuatu yang kita miliki merupakan bagian dari kita. Saat bagian dari diri itu dibagikan ke orang lain, misal senyuman, maka akan menimbulkan rasa senang pada orang. “Sebaliknya, seseorang yang melepaskan bagian dari dirinya itu akan merasa terhormat,” katanya. Proses inilah yang membuat seseorang yang memberikan sesuatu akan meningkat harga dirinya.
Saat memberi, bagian otak yang aktif adalah sistem limbik yang merupakan pusat pengaturan segala emosi. Emosi itu bukan hanya tentang sedih atau marah, namun bisa juga cinta dan kasih sayang. “Itu berarti memberi adalah tindakan emosional, bukan rasional,” katanya.
Namun, tambah Popovetsky, sistem limbik itu tidak hanya aktif saat kita memberi. Pusat pengatur rasa senang dan penghargaan di otak itu juga bisa diaktifkan oleh makanan, obat-obatan dan seks.
Taufiq menambahkan keikhlasan atau kelapangan dada saat melepas bagian dari diri itu penting karena kehilangan sesuatu itu justru akan menimbulkan rasa senang. Jika pemberian dilakukan dengan keterpaksaan, karena tuntutan atau sekedar menggugurkan kewajiban, maka manfaat kesehatan berbagi atau sedekah itu tidak akan didapat.
Selain itu, Taufiq menganjurkan agar saat bersedekah atau berbagi itu diutamakan diberikan secara langsung. Saat pemberi dan penerima saling mengenal, tidak hanya sekedar memberi sesuatu kepada orang lain, maka akan tumbuh empati atau sikap saling memahami di antara keduanya.
“Empati yang terbentuk akan menumbuhkan solidaritas sosial yang bisa dimanfaatkan menjadi modal sosial,” katanya.
Memang tidak ada yang salah jika pemberian itu dilakukan tidak secara langsung atau kepada orang yang tidak saling mengenal. Terlebih di zaman modern sekarang, saat jumlah penderma dan mereka yang membutuhkan makin besar, serta demi memperluas manfaat dan mengoptimalkan pengelolaan, banyak sedekah diberikan kepada lembaga tertentu. Namun, cara ini hanya akan menumbuhkan simpati, bukan empati.
"Disamping disalurkan melalui lembaga pengelola, sebagian rejeki sebaiknya tetap dibagikan secara langsung," katanya. Selain itu, karena berbagi tak melulu tentang materi, kemurahan hati dan jiwa yang hangat tetap bisa dibagikan kepada siapa saja dan kapan saja hingga terbangun masyarakat yang bahagia bersama.
Baca juga: Dompet Digital Perluas Potensi Zakat, Infak, dan Sedekah