Tahun ini, setelah tiga tahun terhambat mudik karena pandemi, lonjakan terbesar sepanjang sejarah Indonesia diprediksi akan terjadi. Sebanyak 123 juta manusia beredar bersamaan bukan perkara ringan.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
Mudik Lebaran bukan fenomena baru di Indonesia. Namun, saya harus mengakui, saat melihat estimasi angka 123 juta pemudik tahun ini, saya cukup terkesima. Dan, cemas.
Saat saya SMA sampai awal bekerja, saya tetap tinggal di Jakarta, sedangkan orangtua berpindah-pindah ke berbagai provinsi di Indonesia mengikuti karier ayah saya di sebuah BUMN. Kebetulan BUMN tersebut termasuk yang dianggap vital dalam tanggal-tanggal mobilisasi massa, seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, sehingga justru sulit mendapatkan cuti. Alhasil, saya yang mengunjungi orangtua saya saat Lebaran, di mana pun ayah saya ditugaskan tahun itu. Tentunya bersama arus pemudik lainnya.
Karena jarak lokasi tugas ayah saya dan sedikit privilese ketersediaan dana, saya selalu ”mudik” dengan pesawat terbang, moda transportasi yang dianggap paling tertib untuk mudik. Namun, itu pun berbagai drama saya saksikan tiap tahun. Mulai dari koper ketlingsut, anak hilang, pesawat terlambat, penerbangan tak nyaman karena bayi menangis sepanjang jalan, dan sebagainya. Saya sendiri pernah nyaris terlambat karena tol bandara macet total, saya lari menyeret koper di terminal keberangkatan terpontal-pontal.
Tidak semua drama menyebalkan. Karena kebiasaan mengobrol, saya sering mendapat cerita dari penumpang di sebelah, baik saat masih menunggu di bandara atau setelah pesawat mengudara. Walau ada 1-2 yang mengaku bahwa mudik bertemu keluarga besar lebih karena menjaga tradisi dan menghindar konflik, hampir semua mengaku sukarela melakukannya dengan wajah berseri-seri. Bagi para perantau, selain melepas rindu dengan keluarga besar dan teman masa kecil, banyak yang mengaku ingin membahagiakan orangtua yang masih ada.
Di sini kadang saya lihat garis tipis di antara kesinisan bahwa mudik adalah ajang pamer dan realita bahwa pemudik ingin membahagiakan keluarga. Tentu saya tidak naif ada ekspektasi dari handai tolan bahwa pemudik harus berbagi rezeki sedang dari pemudik, ya, ada saja godaan untuk pamer keberhasilan, tetapi tidak semua begitu. Saya tidak bisa lupa kilatan mata gembira asisten rumah tangga ibu saya saat mengepak ransel bergambar Batman untuk adiknya, sesuatu yang juga saya tangkap dari penumpang pesawat di sebelah saya saat menceritakan panci pressure cooker, yang saat itu masih barang langka di kota kecilnya, yang ia belikan agar ibunya tak perlu berdiri sekian jam di dapur untuk memasak. Berkardus-kardus oleh-oleh yang dibawa mudik tidak selalu benda eksklusif bagi orang lain, tetapi benda yang jarang atau mahal di kampung halaman dan sang pemudik sekarang mampu belikan. Sudah banyak ekonom yang membahas perputaran uang yang terjadi di kota kecil dan perdesaan melalui pemudik Lebaran; pembuktian terbaliknya bisa dilihat dari matinya jejeran rumah makan di jalur pantura saat jaringan jalan tol Jawa makin tersambung dan berkembang.
Garis tipis lain hadir di kecenderungan mudik dengan kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil. Ya, kendaraan adalah salah satu marka kemampuan finansial seseorang, tetapi tidak dipungkiri kurangnya transportasi publik juga amat memegang peran. Sopir almarhum ayah saya dulu bercerita bahwa alasan dia nekat menempuh 10 jam perjalanan mudik bermotor adalah karena ia harus tiga kali berganti moda transportasi umum dalam 12-14 jam yang juga tidak akan mengantarnya sampai depan rumahnya. Belum lagi ketiadaan transportasi umum di kampungnya—motor dibutuhkan untuk beranjangsana ke sanak-saudara atau bertamasya dengan istri dan anak yang selama ini tinggal di kampung. Bagaimana kita mendebat situasi demikian dengan statistika kecelakaan motor selama mudik Lebaran?
Motor adalah batas kemampuan seorang sopir keluarga. Bagi yang lebih beruang, tentunya mobil lebih aman dan nyaman. Pernah seorang teman yang berbisnis penyewaan mobil jangka panjang bercerita tentang ceruk penyewaan mobil jangka pendek yang amat menguntungkan; seminggu sebelum dan sesudah Lebaran. Ternyata cukup banyak konsumen yang rela merogoh kocek agar bisa mudik bermobil. Alasannya mulai dari kenyamanan membawa bayi dan orang lansia, kemudahan membawa beragam oleh-oleh dan berkendara di kampung halaman, sampai unjuk gigi kesuksesan.
Dan tahun ini, setelah tiga tahun terhambat mudik karena pandemi, lonjakan terbesar sepanjang sejarah Indonesia diprediksi akan terjadi. Sebanyak 123 juta manusia beredar bersamaan bukan perkara ringan. Itu sama dengan populasi Perancis ditambah Italia, dua kali lipat penduduk Inggris Raya, atau total penduduk Jepang. Saya tidak terbayang hiruk-pikuk tahun ini di bandara, pelabuhan, terminal bis, apalagi jalan raya. Dalam sebuah wawancara TV awal minggu ini saat membahas padatnya rest area sebagai salah satu biang keladi kemacetan di jalan tol, seorang narasumber yang juga anggota otoritas pengatur mudik dengan wajah mendatar menganjurkan pemudik bermobil membawa botol sebagai solusi darurat buang air kecil seandainya rest area tak sanggup menampung pengunjung lagi.
Betul Amerika Serikat menghadapi mudik yang lebih massal saat Thanksgiving dan China saat Tahun Baru Lunar, tetapi kedua negara maju ini punya jaringan moda transportasi publik yang jauh lebih mumpuni.
Saya bisa bernapas lega karena ”mudik” saya ke rumah ibu hanya berdurasi 17-20 menit apabila tidak terhambat macet. Seorang sahabat yang tadinya ingin pulang ke kampung mertuanya, yang hanya bisa ditempuh via darat, akhirnya membatalkan rencana setelah mempertimbangkan arus mudik terbesar yang harus mereka hadapi. Namun, tidak semua orang punya keleluasaan untuk berdiam diri saat Lebaran ini. Apalagi, para polisi, otoritas perhubungan, dan petugas lapangan di berbagai titik yang harus mengendalikan arus terbesar ini di mana 123 juta manusia bergegas, digandoli banyak tas, dengan kontrol emosi yang kerap terlepas.
Saya berdoa mudik tahun ini berlangsung lancar dengan sesedikit mungkin hambatan, amit-amit sampai terjadi kecelakaan. Saya juga berdoa semoga kepenatan dan drama yang terjadi dalam arus mudik dan balik seimbang dengan kebahagiaan lahir-batin dari yang melakoninya. Sisi bisnis saya berharap acara kolosal ini akan menyiram tonik penyegar ke perekonomian yang masih tertatih-tatih bangkit dari tiga tahun pandemi. Dari kenyamanan sofa rumah keluarga, kepada para pemudik dan segenap petugas, saya haturkan selamat hari raya.