BNPT Vs ”Rumah Batin” Jamaah Islamiyah
Melalui narasi yang dimainkan, Jamaah Islamiyah (JI) secara lihai tidak bisa dihabisi hanya dengan penjara dan peluru. JI merupakan ”rumah batin” para pendukungnya. Mereka menemukan visi dan misi sama, kehidupan islami.
Salah satu tantangan pelik Komisaris Jenderal Rycko Amelza Dahniel yang dilantik sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT oleh Presiden Joko Widodo, Senin (3/4/2023), adalah menghadapi pesona narasi yang ditawarkan secara sistematis oleh gerakan klandestin Jamaah Islamiyah.
Dengan memainkan narasi secara lihai inilah, Jamaah Islamiyah (JI) tidak bisa dihabisi hanya dengan penjara dan peluru. Oleh karena itu, melalui narasi, meskipun sering kali digambarkan oleh aparat dan media massa sebagai gerakan terorisme yang mengerikan, JI telah dan akan terus mampu mendapatkan simpati dari sebagian masyarakat.
Kenapa ini terjadi? Mungkinkah ada cara baru dalam menghadapi pola gerak JI ini? Untuk menjawab beberapa pertanyaan itu, penulis pernah melakukan wawancara langsung dengan Abu Rusydan (62) di rumahnya di Kudus, Jawa Tengah, pada 2018. Alumnus Afghanistan ini adalah tokoh senior JI yang merumuskan Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI), yang menjadi pegangan JI, pada 1998.
Lelaki bernama asli Thoriqudin ini divonis 3,5 tahun penjara pada 2003 karena terkait terorisme, yakni menyembunyikan informasi keberadaan Ali Ghufron, salah satu pelaku utama Bom Bali 2002. Ironisnya, tahun 2021, ia ditangkap lagi karena dianggap sebagai sosok penting JI dari masa ke masa.
Rusydan, yang pernah kuliah ilmu komunikasi di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, dengan ramah menerima penulis. Ia mempersilakan penulis duduk lesehan di karpet hijau yang dirawat dengan baik. Tak lupa, menyiapkan kudapan yang ditata rapi di depan kami.
Baca juga : Masa Depan Terorisme
Baca juga : Densus 88 Tangkap Empat Terduga Teroris Terafiliasi JI di Lampung
”Rumah batin” JI
Dalam wawancara kala itu, Abu Rusydan menjelaskan, ”Mereka yang bergabung dengan JI itu selalu merasakan JI sebagai ’rumah batin’ mereka karena dalam JI-lah mereka menemukan visi dan misi hidup yang sama, yaitu kehidupan yang Islami.” Imajinasi ”kehidupan Islami” bagi JI ini tampaknya bukan dalam sistem NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hal itu dibenarkan Badawi Rohman, eks narapidana terorisme yang terkait penyembunyian aset senjata JI. Lelaki ramah yang kini berjualan bubur di Semarang ini menjelaskan, JI memimpikan sistem khilafah, bukan NKRI. ”JI selalu melakukan i’dad atau persiapan dalam menyambut kebangkitan khilafah yang dijanjikan Rasulullah. Khilafah ini akan muncul setiap 100 tahun. JI menggunakan keruntuhan khilafah Usmaniah di Turki tahun 1924 sebagai landasan gerakan untuk membangkitkan JI setelah Bom Bali 2002,” tutur Badawi.
Bagi Badawi dan tak sedikit umat Islam, terutama yang membaca sejarah runtuhnya sistem kekhalifahan atau kesultanan dalam Islam, tahun 1924 adalah tahun teramat penting yang menandai kekalahan umat Islam oleh Barat.
Bagi JI, tahun 1924 menjadi ”narasi induk”, yaitu sebuah narasi yang diyakini kebenarannya karena ada rujukan sejarah yang jelas. Lalu, narasi induk ini dimaknai sebagai sebuah peristiwa sejarah yang menyakitkan bagi umat Islam, yaitu dibubarkannya sistem khilafah oleh pahlawan nasional negara Turki, Kemal Ataturk.
.
Mimpi lahirnya kembali sistem khilafah masih dirasakan di Indonesia hingga hari ini. Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada 2017 menemukan ”hampir satu dari sepuluh orang Indonesia secara eksplisit ingin mengganti NKRI dengan sistem khilafah”.
Ini bukan hanya lantaran mereka menganggap umat Islam senantiasa tertindas dalam sistem demokrasi yang ada di dunia, melainkan juga karena mereka mengimani hal itu sebagai kehendak Allah, sebagaimana yang mereka yakini terdapat dalam teks-teks induk, seperti Al Quran atau hadis-hadis politik.
Ini berarti imajinasi Badawi akan lahirnya sistem khilafah di Indonesia bukan tanpa pendukung. Bagi mereka, sistem khilafah adalah sebuah sistem paripurna yang telah dan akan membawa Islam ke tingkat kejayaan.
Dalam wawancara itu, Badawi mem-framing hadis riwayat Imam Ahmad yang berbicara tentang siklus kehidupan politik umat Islam. Yang pertama adalah kepemimpinan dari khilafah yang mengikuti jalan kenabian (khilafah ’ala Minhaaj al-Nubuwwah).
Lalu sistem ini diganti penguasa yang zalim (mulkan adhon), berikutnya muncul penguasa diktator (mulkan jabariyah), dan kemudian kembali ke sistem khilafah. Berdasarkan hadis itu, kelompok seperti JI meyakini pada 2024 sistem baru ini akan bangkit.
Namun, sebetulnya, dalam alam pikir orang Jawa, gagasan seperti itu juga senantiasa hidup, seperti Ratu Adil atau Imam Mahdi, dan ide-ide tentang kedatangan messiah. Dan sesuai dengan masanya, gagasan itu akan muncul dan tenggelam di era perhelatan politik seperti pergantian kepemimpinan.
Mimpi lahirnya kembali sistem khilafah masih dirasakan di Indonesia hingga hari ini.
Narasi alternatif khilafah
Tidaklah berlebihan jika salah satu hal yang perlu dilakukan pemimpin BNPT yang baru adalah mendorong munculnya narasi alternatif khilafah.
Untuk melakukan kerja ini, BNPT harus kembali menggandeng berbagai pihak, terutama para eks anggota JI yang telah melakukan ikrar NKRI, tokoh agama, akademisi, dan juga masyarakat sipil secara luas, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Satu hal yang dilupakan Badawi dan para pendukung khilafah di Indonesia ini adalah bahwa istilah khilafah sendiri sebagai sistem bukanlah istilah tunggal dan generik.
Tidak ada rujukan tunggal untuk menggambarkan apa yang mereka maksud dengan sistem khilafah itu. Sering mereka merujuk pada Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang berjumlah empat, sebagai pelanjut Nabi, yang dianggap sebagai ”khalifah yang mendapatkan bimbingan yang benar”, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
Padahal, dalam kenyataan sejarahnya, mereka menghadapi perlawanan internal yang serius hingga tiga dari keempatnya dibunuh. Atau konsep khilafah di era kemudian yang menjelma menjadi sistem politik yang tak jarang diwarnai dengan intrik dan pertumpahan darah. Nyatanya, sistem itu tidak jauh berbeda dengan sistem kerajaan, monarki, atau kekaisaran Kristen yang ambisius di Eropa.
Ilustrasi
Kenyataannya, selama beberapa generasi, tidak ada sistem khilafah tunggal. Misalnya, Kekhalifahan Abbasiyah berada di Baghdad, Kekhalifahan Fatimiyah yang ada di Kairo, dan Kekhalifahan Umayya di Kordoba.
Belum lagi munculnya kerajaan Islam atau kesultanan yang kecil-kecil, yang tak terhitung jumlahnya, yang berada di luar pengaruh langsung khilafah di Timur Tengah. Misalnya, kekuasaan Sunni Ghaznawi di Asia Selatan, atau banyak kerajaan Islam di Afrika Barat, seperti di Mali, atau di Nusantara.
Kadang posisi khilafah hanya berfungsi seremonial, seperti ketika Kekhalifahan Abbasiyah didirikan di Mamluk, Kairo, setelah Baghdad diporak-porandakan bangsa Mongol pada 1258.
Latar belakang kemunduran dan kekacauan sistem khilafah Abbasiyah inilah yang mendorong pemikir politik Islam, Abu al-Hasan al-Mawardi (meninggal pada 1058) menulis sebuah risalah klasik tentang otoritas khilafah, Al Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat Addiniyyah (Tata Cara Pemerintahan), pada abad ke-11.
Tidak ada rujukan tunggal untuk menggambarkan apa yang mereka maksud dengan sistem khilafah itu.
Tidak perlu fobia Islam
Namun, harus diakui, peradaban modern yang melahirkan renaisans di Eropa tidak akan muncul jika tanpa peran Islam, terutama pada masa khilafah Abbasiyah.
Dalam The Darkening Age: The Christian Destruction of the Classical World (2017), Catherine Nixey mengingatkan, hari ini dunia sering lupa bahwa ketika Barat menjadi Kristen, itu diwarnai dengan pesta penghancuran budaya klasik, terutama tulisan Aristoteles, Plato, Socrates, dan lain-lain, oleh pengikut Kristen radikal. ”Hanya satu persen dari sastra Latin yang akan selamat dari pembersihan. Barang antik, karya seni, dan tradisi kuno yang tidak terhitung jumlahnya hilang selamanya,” tutur Nixey.
Narasi dalam dunia pengetahuan biasanya dimulai dari tradisi Yunani, kemudian Romawi, lalu tiba-tiba muncul masa renaisans dengan menghapus peran pemikir Islam pada masa khilafah Abbasiyah. Namun, sebuah fresco atau lukisan dinding karya Raffaello Sanzio (1483-1520) di perpustakaan pribadi Paus Yulius II di Vatikan berbicara lain.
Fresco itu sekarang disebut sebagai ”The School of Athens”, yaitu sekolah para filsuf dari Athena.
Yang menarik dari gambar tersebut, terdapat sosok lelaki yang memakai turban khas dan berjubah sedang berdiskusi dengan Pythagoras. ”Ia adalah seorang filsuf Muslim yang bernama Averroes atau Ibnu Rusdi (1126-1198). Dialah sosok yang merawat ’api pengetahuan Yunani’ terus menyala,” tulis Violet Moller dalam prakata bukunya, The Map of Knowledge: A Thousand Year History of How Classical Ideas Were Lost and Found (2019).
Meski demikian, narasi kebangkitan Islam dengan pemahaman yang ahistoris terus dirawat mereka yang memimpikan bangkitnya kembali sistem khilafah di dunia. Narasi kebangkitan Islam itu sejatinya tidak orisinal dalam kelompok-kelompok seperti JI.
Noor Huda Ismail Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura