Kasus kekerasan seksual di sekolah seolah tak berhenti terjadi dari waktu ke waktu. Ini alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Kasus kekerasan seksual di sekolah seolah tak berhenti terjadi dari waktu ke waktu. Ini alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Kasus kekerasan seksual oleh pengasuh pondok pesantren terhadap 15 santriwatinya di Batang, Jawa Tengah (Kompas, 12/4/2023), mengingatkan kita pada kasus serupa yang menimpa 13 santriwati di Kota Bandung, Jawa Barat, pada 2021. Kasus-kasus serupa terjadi di sejumlah sekolah, kebanyakan sekolah berasrama.
Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada 2021 terjadi 18 kasus kekerasan seksual di sekolah dan pada 2022 terjadi di 17 sekolah. Pada 2023, di Banten, berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak Banten, terjadi lima kasus kekerasan seksual di sekolah berasrama (kompas.id 8/3/2023). Kasus-kasus yang mengemuka ke publik ini hanyalah fenomena gunung es. Banyak kasus tak teruangkap karena korban memilih diam karena berbagai alasan.
Sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar dan mengoptimalkan kemampuan mereka ternyata justru menjadi tempat yang paling tidak aman bagi mereka. Sangat ironis ketika sekolah justru menjadi tempat yang membuat kemampuan siswa terganggu bahkan gagal mencapai potensi penuh mereka dalam hidup.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Kemendikbudristek juga menyatakan, kekerasan seksual di sekolah merupakan satu dari tiga dosa besar pendidikan yang mendesak diatasi karena mengancam masa depan anak, masa depan bangsa.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak.
Dari aspek regulasi, tak kurang upaya pemerintah untuk mencegah kasus kekerasan seksual di sekolah, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Anak, Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak yang disahkan menjelang Hari Anak 2022, Permendikbud No 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, hingga Peraturan Menteri Agama No 73/2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama yang dikeluarkan pascakasus kekerasan seksual di sebuah pondok pesantren di Kota Bandung pada 2021.
Namun, semua itu sebatas regulasi jika para para pihak terkait tidak bergerak untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual di sekolah yang terus terjadi hendaknya menjadi peringatan keras bagi semua pihak untuk bersama-sama bergerak mengatasinya. Strategi terencana untuk mencegah kekerasan seksual di sekolah serta komitmen dan tanggung jawab setiap pihak untuk mengarusutamakan pelindungan anak menjadi kuncinya.
Di lingkungan sekolah terutama, praktik pendidikan yang menempatkan guru pada posisi dominan harus diubah karena menyuburkan ketimpangan relasi kuasa antara guru dan murid, akar masalah kekerasan seksual di sekolah. Guru mempunyai peran penting untuk membangun budaya positif di sekolah yang menjunjung tinggi hak anak dan menghargai anak.