Melindungi Anak dan Masa Depan Kita
Kekerasan terhadap anak marak terjadi akhir-akhir ini, mulai dari penculikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Perlindungan anak masih menjadi tantangan besar untuk diwujudkan sekaligus menjamin masa depan bangsa.

Salah satu pelaku penculikan dan pembunuhan anak di Makassar, F (18), melakukan adegan dalam rekonstruksi yang digelar di Mako Brimob Polda Sulsel (17/1/2023).
Anak memiliki peran penting bagi sebuah peradaban. Nelson Mandela pernah melukiskan hubungan karakter masyarakat dengan perlakuan kepada anak. Mendiang pemimpin Afrika Selatan itu menyatakan, untuk mengetahui jiwa atau karakter suatu masyarakat dapat dilihat dari cara masyarakat itu memperlakukan anak-anak dan generasi mudanya.
Pesan senada diungkapkan John F Kennedy. Presiden Amerika Serikat (1961-1963) ini menyebutkan, anak-anak adalah pesan yang akan kita kirimkan ke masa yang tak akan kita temui. Baik Mandela maupun Kennedy melihat pentingnya anak bagi kualitas peradaban masyarakat dan keberlangsungan bangsa.
Masa depan itu akan bergantung pada apa yang diberikan atau dialami anak-anak pada saat ini. Investasi berupa bekal ilmu pengetahuan yang diajarkan, budi pekerti, kualitas lingkungan, dan kesehatan akan dituai oleh peradaban bangsa tersebut pada masa depan.
Namun, di sisi lain, pentingnya investasi masa depan bangsa ini juga menuntut sejumlah prasyarat, antara lain berupa pemenuhan hak anak. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian terkait dengan hal ini adalah menghapuskan pelanggaran hak anak dan kekerasan terhadap anak.
Hanya saja, pemenuhan hak anak itu masih menjadi tantangan yang berat bagi negeri ini. Satu indikasinya terlihat dari laporan sejumlah kasus tentang pelanggaran dan kekerasan terhadap anak yang masih tinggi di Indonesia. Dalam dua bulan terakhir, kasus kekerasan anak menghiasi pemberitaan media di Tanah Air dan menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Beberapa contoh kasus itu adalah pelecehan seksual 36 siswa SD di Lampung Tengah, dugaan kelalaian medis di Palembang (Sumatera Selatan), dan penganiayaan saat terapi terhadap seorang anak balita di Depok (Jawa Barat).

Para orang tua menjemput putra putri mereka saat pulang sekolah di SD Negeri Joglo 05, Kembangan, Jakarta Barat (30/1/2023). Pekan lalu sempat terjadi kasus upaya percobaan penculikan siswa di sekolah tersebut pada jam pulang sekolah.
Sebelumnya, di awal tahun ini ada pula kasus penculikan yang menimpa anak berusia enam tahun warga Gunung Sahari (Jakarta Pusat) dan pembunuhan seorang anak di Makassar (Sulawesi Selatan) dengan motif ingin menjual organ tubuh korban. Kasus lainnya ialah pemerkosaan yang menimpa anak berusia 15 tahun di Desa Sengon, Brebes (Jawa Tengah), dan pemerkosaan hingga hamil yang dialami anak berusia 12 tahun di Banyumas (Jateng).
Kasus-kasus itu mengindikasikan masih rentannya anak dari ekosistem yang menghadirkan rasa aman dan nyaman. Secara akumulatif, data KPAI memperlihatkan, sepanjang 2022 ada 4.683 aduan ke lembaga itu. Pengaduan paling tinggi terjadi pada kasus Perlindungan Khusus Anak yang mencapai 2.133 kasus.
Dari kluster pengaduan tersebut, kasus terbanyak yang dilaporkan ialah anak menjadi korban kejahatan seksual (834 kasus). Kasus lain yang banyak diadukan ialah anak korban kekerasan fisik dan psikis sebanyak 502 kasus. Dua kasus tersebut dominan dilaporkan ke KPAI sejak tahun lalu. Pada 2021, sebanyak 1.138 kasus pengaduan anak korban kekerasan dan 859 anak menjadi korban kekerasan seksual.
Dalam pantauan KPAI, sejumlah faktor turut menjadi penyebab pelanggaran hak anak dan kekerasan anak. Di antaranya karena lemahnya pengasuhan, kondisi lingkungan/rumah yang kurang layak, kemiskinan keluarga, hingga pengaruh negatif teknologi digital. Tanpa literasi yang memadai, relasi yang semakin dekat dengan teknologi digital, menjadikan anak rentan terkena dampak negatif, seperti perundungan dan kekerasan seksual secara daring.

Kapolres Metro Depok Komisaris Besar Ahmad Fuady (tengah) menyampaikan konferensi pers terjadi kasus penganiayaan anak yang dilakukan terapis autisme di Markas Polres Metro Depok, Jawa Barat (13/2/2023).
Tanggung jawab
Masih rentannya rasa aman bagi anak memunculkan pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada anak-anak bangsa ini? Negara melalui konstitusi sebenarnya sudah memberikan jaminan ini. Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jaminan itu dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pertama, definisi anak yang dimaksud ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Ranah perlindungan yang dimaksud dalam regulasi itu ialah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kedua, penanggung jawab perlindungan anak. Regulasi itu menyebutkan negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak dengan tugasnya masing-masing.
Kewajiban Negara ialah memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Sementara itu, pemerintah berkewajiban merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak. Pemerintah juga bertugas mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam hal yang lebih teknis, UU Perlindungan Anak memerintahkan pemerintah daerah untuk membangun kabupaten dan kota layak anak sebagai bentuk nyata perlindungan dari negara dan pemerintah.

EMT (44), tersangka yang merupakan muncikari kasus eksploitasi ekonomi dan seksual anak di beberapa apartemen di Jakarta dan Tangerang, dihadirkan di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta (21/9/2022).
Dari sisi masyarakat, tanggung jawab perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat. Kewajiban orang tua ditunjukkan dengan mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Orang tua juga berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Peran orang tua sangat strategis dilakukan sebagai tahap awal mencegah kekerasan pada anak, sekaligus mencegah anak berhadapan atau bahkan berkonflik dengan hukum seperti yang terjadi pada kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora (17 tahun) di Jakarta Selatan pada 20 Februari 2023 lalu.
Dalam hal ini, upaya perlindungan anak sebenarnya sudah memiliki konsep yang jelas berikut peran masing-masing pihak. Dalam hal pembangunan kota layak anak, misalnya, hingga 2022 sudah ada 312 kabupaten/kota dan delapan provinsi yang sudah mengupayakan pembangunan kota layak anak. Data ini merujuk pada penghargaan kabupaten dan kota layak anak tahun 2022 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Ada pula inisisasi Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Terhadap Anak melalui Inpres Nomer 5 Tahun 2014. Pemerintah juga membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Namun, kebijakan-kebijakan itu belum sepenuhnya mampu mengikis kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan anak.
Jika dicermati lebih lanjut, masih ada sejumlah tantangan dalam mewujudkan perlindungan anak, seperti dalam hal kota layak anak. Meski menunjukkan tren peningkatan, hingga tahun 2022 belum ada satu daerah yang mencapai predikat kabupaten/kota layak anak.
Capaian tertinggi penghargaan kota layak anak ialah kategori Utama yang diraih delapan kabupaten/kota yaitu Kabupaten Siak, Kota Jakarta Timur, Kabupaten Sleman, Kota Probolinggo, Kota Surabaya, Kota Surakarta, Kota Yogyakarta, dan Kota Denpasar. Kategori Utama ini merupakan jenjang terakhir sebelum mencapai predikat kota layak anak.Demikian pula dalam hal keberadaan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Jumlah KPAD pada 2022 masih terbilang minim, yaitu di dua provinsi, enam kota, dan 23 kabupaten.

Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin sedang menunjukkan foto Malika saat ditemukan. Malika ditemukan pada Senin (2/1/2023) malam.
Strategi
Kekerasan anak dan pelanggaran hak anak bukan hanya menjadi tantangan bagi Indonesia. Di tataran dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan secara global diperkirakan hingga satu miliar anak berusia 2-17 tahun pernah mengalami kekerasan (who.int, 29/11/2022). Kekerasan ini mencakup segala bentuk tindakan baik itu penganiayaan, perundungan termasuk perundungan secara daring, kekerasan seksual, sampai kekerasan psikologis seperti ancaman, intimidasi, dan diskriminasi yang dilakukan oleh orang tua, saudara, pengasuh, teman, hingga orang yang tidak dikenal.
Dampak pada kesehatan, kesejahteraan, hingga trauma seumur hidup membuat lembaga-lembaga dunia seperti PBB, Unicef, dan WHO menyerukan penghentian kekerasan sekaligus perlindungan terhadap hak-hak anak di dunia. Sejak 1989, negara-negara dunia sepakat menjanjikan hak yang sama bagi seluruh anak melalui Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak agar tiap-tiap anak dapat tumbuh sehat dan diperlakukan dengan adil.
Negara-negara di dunia juga memasukkan poin mengakhiri kekerasan terhadap anak dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Dalam upaya mencapai tujuan itu, WHO bersama 10 lembaga internasional mengembangkan program “Inspire” yang berisi tujuh strategi besar untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak.
Program “Inspire” itu terdiri dari strategi penegakan hukum, penyesuaian norma, menciptakan lingkungan yang aman, dan membangun kesadaran orang tua. Selain itu, juga memuat strategi program untuk menguatkan ekonomi keluarga, membuka akses pendidikaan/keterampilan bagi anak, serta penyediaan layanan pengaduan bagi anak korban kekerasan.Menurut WHO, sebagian besar program yang diinisasi sejak 2016 ini telah terbukti memiliki efek pencegahan berbagai jenis upaya kekerasan anak.

Di Indonesia, dukungan program itu tampak dari regulasi dan penyediaan layanan respon publik. UU Perlindungan Anak sudah disahkan sejak 2014, sedangkan layanan pencegahan dan respon ini telah dijalankan melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2020 seiring tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pasal 22 mengatur penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Secara teknis kementerian membuka layanan telepon Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Baik korban mupun masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan pada anak dan perempuan dapat melaporkan melalui telepon di nomor 021-129 atau melalui layanan whatsapp 08111129129.
Baca juga: Cegah Kekerasan Anak, Surabaya Buka Pusat Bimbingan Konseling di Kampung
Keberadaan instrumen hukum dan layanan laporan bagi korban maupun masyarakat menjadi harapan untuk mencegah dan mengakhiri praktik kekerasan terhadap anak di Tanah Air. Masih terus terjadinya kekerasan pada anak akhir-akhir ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat dalam hal konsistensi penanganan dan kecepatan respon penanganan.
Komitmen ini terus diperlukan agar kekerasan anak dapat berakhir serta hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa benar-benar dapat terpenuhi dan terlindungi. Tanpa perlindungan yang maksimal, kualitas peradaban masyarakat dan keberlangsungan bangsa di masa depan menjadi terancam. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga Kompaspedia: Potret Perlindungan Perempuan dan Anak