Etika Akademik di Tengah Badai AI
Muncul kekhawatiran kemajuan kecerdasan buatan akan menjadi bumerang yang bakal menghancurkan proses pendidikan di kampus/sekolah. Terutama terkait kecurangan dalam ujian. Menegakkan etika akademik jadi pilihan mutlak.
Awal Januari 2023 tersiar kabar mengenai universitas-universitas di Australia yang didorong untuk menggalakkan kembali ujian tertulis menggunakan bolpoin dan kertas menyusul adanya temuan penggunaan artificial intelligence (AI) oleh mahasiswa untuk menulis esai.
Sejumlah kampus besar bahkan membuat aturan bahwa menggunakan AI adalah kecurangan (The Guardian, 10/1/2023). Di New York, masih menurut media yang sama, penggunaan ChatGPT, aplikasi chatbot milik OpenAI yang mampu menjawab semua pertanyaan secara komprehensif dalam waktu singkat, telah dilarang di semua perangkat yang digunakan di sekolah negeri.
Di London, profesor dari University College London menggaungkan perlunya merancang bentuk ujian yang berbeda dari formula sebelumnya agar mahasiswa tak mengandalkan AI, khususnya ChatGPT, untuk menjawab soal ujian (London Review of Books, 5/1/2023).
Terlihat bahwa titik simpul dari beberapa contoh tersebut adalah perlu ada langkah-langkah strategis agar kemajuan AI tidak menjadi bumerang yang justru menghancurkan proses pendidikan di kampus/sekolah.
Di Indonesia, seruan serupa mulai bermunculan meski masih bersifat sporadis dan belum secara resmi menjadi peraturan pemerintah. Webinar ”Penulisan Ilmiah dalam Pusaran Artificial Intelligence” (Kompas, 14/3/2023) adalah salah satu contoh gerakan sporadis itu.
Nada dasar yang bergema dalam webinar itu adalah pentingnya menghidupkan etika akademik untuk menghindari berbagai kecurangan yang dimungkinkan oleh kecanggihan AI.
Mungkinkah etika akademik mampu meredam terjangan badai AI ini?
Baca juga : Menyadari Ketidakakuratan Kecerdasan Buatan
Baca juga : Pengembangan Kecerdasan Buatan Memunculkan Dilema Baru
Baca juga : Kecerdasan Buatan dan Pendidikan Hukum
Etika akademik butuh pendasaran rasional
Pemahaman mengenai etika akademik mesti dimulai dengan pemahaman tentang etika secara umum. Bertens (2007) mendefinisikan etika dalam tiga pengertian: (1) nilai-nilai dan norma moral yang jadi pegangan bagi seseorang/sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya; (2) kumpulan asas atau nilai moral (kode etik); (3) ilmu tentang yang baik atau buruk, kajian kritis mengenai ajaran moral (filsafat moral).
Meskipun ketiga definisi sudah cukup jelas untuk menerangkan apa itu etika akademik, definisi ketiga perlu mendapat aksentuasi khusus. Bahwa etika akademik itu adalah sekumpulan nilai/norma moral yang dipakai untuk mengatur tingkah laku masyarakat akademik, itu sudah jelas. Namun, adakah nilai-nilai atau norma-norma itu sudah dikaji secara kritis sebelum diterapkan?
Atau apakah ada pertanggungjawaban yang logis dan rasional atas etika akademik sehingga masyarakat akademik menjalankannya dengan penuh kesadaran, bukan semata-mata karena takut sanksi, misalnya?
Tak begitu sulit tentunya menjawab pertanyaan ini karena sebagian besar etika yang ada di negara kita diterapkan begitu saja tanpa disertai pertanggungjawaban yang memadai mengapa sesuatu itu harus atau tidak boleh dilakukan. Paling umum pendasaran yang dipakai untuk membuat suatu nilai/norma itu dipatuhi adalah dengan menyebutkan hukuman yang menjadi konsekuensi kalau terjadi pelanggaran.
Hukuman seakan-akan menjadi alasan paling masuk akal mengapa sesuatu itu harus atau tidak boleh dilakukan. Efeknya mudah ditebak, yakni orang berusaha sekuat tenaga menyusun siasat agar pelanggaran tidak tertangkap. Inilah yang disebut sebagai kepatuhan palsu.
Pendasaran lain yang juga acap kali digunakan adalah konsep dosa dan amal kebajikan yang diajarkan dalam agama. Sejak kecil kita diajarkan bahwa sesuatu itu tak boleh dilakukan karena itu adalah dosa yang mendatangkan hukuman, atau sesuatu itu harus dilakukan karena merupakan amal kebajikan yang berhadiah pahala.
Simak saja, misalnya, dalam pemakaian sehari-hari jamak terdengar orang menyebut plagiarisme sebagai ”dosa akademik”. Tentu konsep itu tak ada salahnya dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, tetapi tak cukup kuat sebagai alasan untuk taat, sebab sangat tergantung pada kadar keyakinan (iman) setiap orang.
Belum lagi keyakinan tentang Tuhan Maha Pengampun, misalnya, bisa dipakai untuk permisif terhadap pelanggaran. Pendasaran hanya menggunakan konsep ajaran agama juga cenderung menempatkan pelanggaran akademik sebagai pelanggaran atau dosa pribadi yang tak memiliki pengaruh pada kehidupan bersama.
Karena itu, kita membutuhkan pendasaran yang melampaui urusan reward and punishment, yakni landasan rasional yang membuat orang mematuhi etika atau ajaran moral dengan penuh kesadaran.
Sebagai misal, alih-alih hanya menyatakan bahwa plagiarisme atau mencontek adalah kejahatan atau dosa akademik, mesti ada sejumlah alasan yang masuk akal mengapa tindakan itu dianggap kejahatan dan apa efek tindakan tersebut secara sosial dan terhadap berbagai dimensi kehidupan yang lain.
Demikian pun ketika orang mematuhi etika akademik, mesti ada penjelasan mengapa itu dianggap sebagai kebajikan. Itulah yang menjadi fokus perhatian dalam etika sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk.
Namun, tentunya tak cukup kalau itu hanya dilakukan dalam pengajaran etika, sebab proyek besar kita adalah membiasakan orang untuk memiliki alasan rasional atas semua hal atau sekurang-kurangnya sanggup mempertimbangkan berbagai hal dengan alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan itu, orang tidak terjebak dalam kepatuhan palsu atau ketaatan buta terhadap nilai-nilai yang ada dalam kehidupan bersama. Pada titik inilah kita membutuhkan ilmu kritis seperti filsafat.
Minimal pendalaman ilmu logika atau berpikir kritis menjadi instrumen yang bisa diandalkan dalam hal ini. Sayangnya, ilmu seperti ini memang belum banyak diakomodasi dalam sistem pendidikan kita. Malah yang ada hanya kecurigaan bahwa ilmu-ilmu ini bisa merusak moral dan akhlak bangsa.
Menegakkan etika akademik di tengah kuatnya amukan badai AI memang pilihan mutlak yang tak bisa ditawar-tawar.
Etika akademik bukan pemadam kebakaran
Menegakkan etika akademik di tengah kuatnya amukan badai AI memang pilihan mutlak yang tak bisa ditawar-tawar.
Namun, dengan beberapa catatan di atas, tampaknya sejauh ini etika akademik baru menjadi semacam pemadam kebakaran yang hanya bertindak saat pelanggaran terjadi. Sementara fungsinya sebagai suatu sistem preventif yang disokong berbagai faktor lain belum banyak diperhatikan. Etika akademik dengan demikian masih sebatas instrumen eksternal dan belum tertanam sebagai nilai yang inheren dalam diri masyarakat akademik.
Untuk itu, selain membudayakan latihan berpikir melalui ilmu-ilmu kritis (filsafat/logika), bidang studi lain yang mengusung misi pembentukan karakter juga perlu dipelajari dengan pendekatan kritis. Artinya, nilai-nilai moral atau etika yang disajikan melalui bidang studi-bidang studi tersebut dikaji secara kritis sehingga tidak diterima begitu saja sebagai nilai yang taken for granted.
Dengan demikian, peserta didik terbiasa mematuhi nilai atau norma karena mereka paham makna dan manfaat dari nilai atau norma tersebut, termasuk norma akademik.
Adapun strategi yang dilakukan di beberapa negara sebagaimana dikutip di awal tulisan ini merupakan langkah antisipatif darurat untuk mencegah pelanggaran etika akademik. Dunia pendidikan di negara kita juga perlu melakukan hal serupa atau menciptakan strategi lain yang lebih efektif.
Namun, tetap upaya-upaya antisipatif seperti itu tidak bisa menggantikan proyek jangka panjang kita untuk menciptakan pribadi-pribadi yang memahami makna dan manfaat seluas-luasnya dari setiap panduan moral-etis sehingga terhindar dari bahaya kepatuhan palsu. Mari bersiap, badai yang lebih besar pasti akan datang.
Heribertus Jani Anggota Pusat Studi Kebangsaan Indonesia, Universitas Prasetiya Mulya