Dunia hukum sesungguhnya dunia nilai, bertujuan menegakkan nilai keadilan. Ini semua tidak dapat diformulasikan secara tepat dalam algoritma dan pemrograman dalam teknologi kecerdasan buatan.
Oleh
WASIS SUSETIO
·4 menit baca
Tulisan Rico Usthavia Frans di harian Kompas berjudul ”Ketika Mesin Semakin Pintar” (Selasa, 28 Maret 2023) sangat menarik dan memberi banyak inspirasi. Mengingat saat ini aplikasi kecerdasan buatan dengan antarmuka chatbot, yang bernama ChatGPT, sedang digandrungi jutaan orang sejak diluncurkan ke publik pada akhir 2022. Hal ini tidak terlepas dari fungsi ChatGPT sebagai mesin pintar yang mampu menjawab berbagai pertanyaan atau perintah singkat dengan mudah.
Sudah barang tentu, di kalangan orang awam, aplikasi ChatGPT ini semakin populer dan bahkan diprediksi mengalahkan mesin pencari Google. ChatGPT dikembangkan oleh Open AI, laboratorium riset kecerdasan buatan yang didirikan Elon Musk, Sam Altman, dan Greg Brockman pada Desember 2015. ChatGPT menjadi buah bibir karena dapat mengerjakan berbagai tugas dari pengguna, seperti menerjemahkan teks, membuat rangkuman teks, membuat kode pemrograman, membuat kerangka tulisan, dan menjawab aneka pertanyaan nyaris sedinamis manusia.
Kecanggihan ChatGPT dimungkinkan akibat inovasi Open AI telah berhasil mengembangkan sekumpulan block machine learning model yang bernama transformer dengan basis natural language processing (NLP). Penerapan transformer bertugas menjelaskan bagaimana ChatGPT mengerti percakapan manusia sehingga untuk dapat memberikan respons yang relevan dan layaknya manusia.
Mengingat tingkat kecerdasan ChatGPT dan kemudahan penggunaannya bagi orang awam, mesin kecerdasan buatan (artificial intellegent/AI) ini bukan hanya menimbulkan banyak kekaguman, melainkan di sisi lain juga memunculkan kekhawatiran terutama di dunia pendidikan yang mencemaskan adanya praktik-praktik curang terhadap proses belajar-mengajar, seperti penulisan karya ilmiah, pengerjaan ujian, dan tugas-tugas perkuliahan, bahkan menulis tugas akhir dengan cukup memasukkan perintah singkat dan memberikan petunjuk yang tepat. Penggunaan Chat GPT pun juga ditengerai akan berpotensi melakukan berbagai pelanggaran kekayaan intelektual dalam menghasilkan karya-karya tulis.
Meskipun kekhawatiran tersebut memiliki alasan, tentu kehadiran AI bukan hal yang dapat dihindari, justru AI akan sangat berperan dalam segala aktivitas manusia ke depan dan menjadi keniscayaan untuk menggantikan peran-peran tertentu yang selama ini dilakukan manusia. Oleh karena itu, tugas kita adalah secepat mungkin mengantisipasi hal-hal yang dikhawatirkan menjadi sebuah peluang dalam memanfaatkan AI untuk memperkuat dan mengembangkan profesi, termasuk profesi hukum melalui upaya revolusioner dalam kurikulum pendidikan hukum.
Dalam suatu webinar berjudul ”The Future of Lawyer in Digital Era”, yang diselenggarakan Lembaga Pasqapro, 11 Maret 2023, ada pernyataan menarik dari salah satu pembicara yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Kebangsaan Malaysia Dr Jadiy Zaidi bin Hassim bahwa hal utama dalam menjawab berbagai tantangan profesi hukum dapat dimulai dari pendidikan hukum itu sendiri.
Profesi hukum tidak akan lepas dari kemajuan tekonologi, termasuk AI, yang secara cepat berkembang dengan berbagai dampak positif dan negatifnya, dan kemajuan ini dapat berimplikasi kepada pergeseran nilai-nilai kemanusiaan, dehumanisme. Oleh karena itu, perlu penguatan atau penekanan dalam pembelajaran dan pendidikan hukum, seperti contohnya etika profesi, pembangunan karakter, logika hukum, ataupun filsafat hukum yang menginternalisasikan nilai-nilai humanisme.
Tentu pernyataan tersebut sangat mendasar, apalagi dunia hukum sesungguhnya dunia nilai, bertujuan menegakkan nilai keadilan, yang semua tidak dapat diformulasikan secara tepat dalam algoritma dan pemrograman dalam learning process mechine AI. Memang, saat ini, berbagai aplikasi telah dibuat untuk menjalankan tugas-tugas seorang pengacara, seperti di Amerika terdapat aplkikasi DoNotPay yang dibuat oleh seseorang yang tidak memiliki latar belakang profesi hukum, Joshua Browder. Pada situs web perusahaan DoNotPay dikatakan bahwa platform ini bisa dipakai untuk mendapatkan nasihat mengenai cara melawan korporasi, mengalahkan birokrasi, menemukan uang tersembunyi, melakukan penuntutan, dan secara otomatis membatalkan percobaan penahanan.
Profesi hukum tidak akan lepas dari kemajuan tekonologi, termasuk AI yang secara cepat berkembang dengan berbagai dampak positif dan negatifnya.
Banyak yang memprediksi bahwa fungsi dan tugas praktisi hukum pada akhirnya akan tergantikan oleh mesin-mesin AI yang canggih atau dikenal sebagai artificial super intelligence (ASI), yaitu teknologi kecerdasan buatan yang sengaja dibuat untuk melampaui kemampuan manusia. ASI dapat didefinisikan sebagai kecerdasan apa pun yang melebihi kinerja kognitif manusia dan terjadi pada hampir semua bidang minat, termasuk hukum.
Beberapa negara, seperti Amerika, China, Kanada, Estonia, bahkan Malaysia, terus mengembangkan AI sebagai pendukung pekerjaan di pengadilan. Meski belum menggantikan peran hakim secara keseluruhan, tampaknya manusia mulai berpikir bahwa AI dapat menjadi salah satu mesin pemutus perkara dalam pengadilan ke depan. Di Indonesia, AI mulai dipelajari sebagai alat bantu administrasi perkara oleh Mahkamah Konstitusi.
AI dan pendidikan hukum
Dengan semakin banyaknya bukti kecanggihan AI dalam menjalankan fungsinya di bidang hukum, pertanyaan besarnya, apakah AI dapat secara tepat dan benar menemukan esensi hukum, yaitu keadilan? Hukum sejatinya keadilan, dan keadilan merupakan wujud rasa yang tidak bersifat matematis sehingga algoritma kognisi sebuah mesin AI yang menggantungkan kepada data input dari jutaan informasi yang kemudian diproses melalui learning process mechine yang bersifat responsif.
Model tersebut dapat menggeneralisasikan karakteristik dari sebuah respons yang bagus dan menghasilkan respons yang sesuai dengan karakteristik tersebut. Akan tetapi, output dari respons tersebut bersifat kuantitatif. Sementara keadilan menurut Han Kelsen bersifat kualitatif dan berupa kesadaran yang subyektif di mana masyarakat itu tumbuh.
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang ditunjukkan untuk pengelompokan sosial tersebut, menurut Kelsen, sepenuhnya benar apabila tujuan utamanya untuk memuaskan semua pihak yang berkepentingan dalam masyarakat. Rindu akan keadilan adalah rindu bagi manusia akan kebahagiaan yang tidak bisa ditemukan sebagai individu dan karena itu harus dicari dalam hidup bermasyarakat.
Hukum menjadi variable yang sulit dikuantifisir oleh semata-mata kalkulasi matematis setingkat ASI sekalipun.
Von Savigny dengan teori volkgeist-nya yang menyatakan, ”Hukum sejati tidak dibuat, tapi ditemukan di dalam pergaulan masyarakat, karena antara hukum sejati dan jiwa rakyat terhadap hubungan organik. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratifnya terhadap hukum sejati”. Dari sudut pandang ini, maka teori cybernetic Talcot Person mengatagorikan hukum sebagai subbagian yang berinteraksi dengan subsistem masyarakat lainnya dalam spektrum kehidupan bermasyarakat.
Dari premistis tersebut, hukum menjadi variabel yang sulit dikuantifisir oleh semata-mata kalkulasi matematis setingkat ASI sekalipun. Sebab, masyarakat yang terdiri dari naturalijk person, manusia-manusia berkesadaran dan memiliki instinct, sense, dan rasa menjadi elemen yang belum atau bahkan mustahil dibuat seseorang dalam memprogramkan AI.
Di sinilah peran pendidikan hukum harus terus mengasah rasa, kesadaran (consciousness) akan keadilan yang ditegakkan melalui instrumen hukum. Oleh karena itu, paling tidak arah pendidikan hukum di era serba canggih AI harus membangun yang pertama rasa empati terhadap nestapa kemanusiaan melalui pengajaran rasa welas asih.
Di Kota Rio, Brasil, salah satu mata kuliah hak asasi manusia semester pertama adalah membawa mahasiswa-mahasiswa mendatangi dan membantu penduduk miskin yang tinggal di wilayah permukiman kumuh bahkan di tempat akhir pembuangan sampah. Hal ini ditujukan, pertama, untuk memupuk rasa peduli atas nasib mereka yang termarginalkan dalam sistem kemasyarakatan.
Kedua, membangun kesadaran terhadap relasi hak dan kewajiban dalam sudut pandang hak asasi dan kewajiban asasi manusia, dengan demikian terdapat kecerdasan humanis dalam perpektif keadilan. Ketiga, membangun konstruksi atau argumentasi hukum melalui pelatihan kemampuan memanfaatkan aplikasi AI dengan terlebih dahulu membangun nalar hukum yang humanis sehingga dialog seorang mahasiswa dengan aplikasi AI hanya bersifat elementer dalam hal membantu memperkuat legalreasoning-nya yang berasaskan tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Pada akhirnya, kita harus berdamai dengan AI sebagai mitra kerja profesi hukum ke depan, tetapi secara substansial keunggulan manusia sebagai makhluk berpikir yang memiliki hati nurani dan kesadaran akan moral, akan terus menjadi aktor utama di bidang hukum, bukan AI.