Ujian Berat Demokrasi Indonesia
Melemahnya daya tanggap demokrasi menandakan melemahnya kualitas penyelenggaran sebuah negara. Tingkat kepercayaan publik yang menurun akan berdampak pada tergerusnya dukungan publik kepada demokrasi dan pemerintahan.
Daya tanggap (responsiveness) demokrasi Indonesia sedang mengalami ujian berat. Meski sudah terlihat sejak beberapa tahun terakhir, pada 2022 dan 2023 ujian itu makin nyata. Beberapa contoh adalah peristiwa pembunuhan polisi oleh polisi (kasus Sambo), kasus Kanjuruhan, dan kasus perwira tinggi polisi yang terlibat narkoba.
Pada awal 2023 mencuat lagi kasus kekayaan tak wajar Rafael Alun dan anaknya yang menganiaya berat anak orang. Yang terbaru, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengulang tahapan Pemilu 2024, yang berimplikasi pada penundaan pemilu dan potensi pelanggaran konstitusi.
Jika daya tanggap demokrasi lemah berhadapan dengan ujian ini, demokrasi kita akan makin menurun kualitasnya. Kepercayaan publik bisa turun dan lembaga serta birokrasi negara sulit mendapat legitimasi yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
Daya tanggap adalah salah satu dimensi penting demokrasi. Dua dimensi lainnya adalah prosedur dan substansi.
Daya tanggap menunjukkan seberapa baik kualitas demokrasi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebuah negara. Bentuknya adalah kebijakan negara yang sesuai dengan kebutuhan publik dan kemampuan negara memastikan agar aparatnya bertanggung jawab serta selalu melayani masyarakat. Daya tanggap oleh sejumlah ahli disebut juga sebagai hasil (result) dari demokrasi sehingga bisa jadi ukuran tinggi rendahnya kualitas penyelenggaraan sebuah negara.
Baca juga : Urgensi Reformasi Birokrasi Jokowi
Baca juga : Negara Kesejahteraan dan Politik Solidaritas
Sekarang ini, ujian berat bagi daya tanggap demokrasi, ironisnya, berasal dari dalam negara, yang seharusnya menjadi penyedia daya tanggap tersebut. Tekanan dan tuntutan publik kini tertuju lebih banyak kepada lembaga dan birokrasi negara. Kemampuan dan ketepatan untuk menghadapi ujian berat ini tergantung pada pola tanggapan lembaga dan birokrasi negara terhadap berbagai masalah yang mendera tersebut, serta dukungan publik.
Sporadis atau sistemik
Lembaga dan birokrasi negara, seperti kepolisian, Kementerian Keuangan, dan lembaga peradilan, dapat memilih memberikan tanggapan terhadap berbagai ujian tadi di antara dua pola.
Pertama, tanggapan sporadis. Ini respons yang paling mudah. Caranya adalah dengan fokus pada penyelesaian kasus yang terjadi dan mengisolasinya sebagai kasus yang sedapat mungkin tak terkait dengan masalah yang lebih mendasar.
Asumsi dari pola ini adalah kasus atau peristiwa yang terjadi bukanlah rangkaian dari masalah yang lebih besar. Kasus yang terjadi dianggap sebagai pokok masalah, bukan simtom atau gejala dari masalah utama. Dengan demikian, kasus yang terjadi dianggap berdimensi terbatas dan akan selesai dalam waktu yang terbatas juga. Tanggapan seperti ini ibarat memadamkan api kebakaran hanya di tempat yang terbakar, tidak menelusuri sampai ke sumber apinya.
Jika kasus yang terjadi sebetulnya hanya gejala, kasus yang sama akan berulang dari waktu ke waktu.
Pola tanggapan yang kedua adalah tanggapan yang sifatnya lebih sistemik. Birokrasi atau institusi negara mendekati kasus sebagai simtom atau gejala dari masalah yang lebih besar atau sistemik. Fokus tanggapan menjadi dua tahap. Pertama, menyelesaikan langsung kasus yang terjadi. Kedua, melakukan kajian atau analisis mendalam dengan melihat hubungan kasus yang terjadi dengan pelaksanaan sistem dalam institusi secara keseluruhan.
Tentu dimungkinkan untuk sampai pada kesimpulan bahwa kasus yang terjadi bersifat sporadis, bukan sistemik. Namun, dengan pola tanggapan seperti ini, birokrasi atau institusi negara bisa menemukan sumber masalah yang sesungguhnya sehingga kasus yang terjadi lebih kecil kemungkinan berulang.
Sebenarnya ada pola ketiga, yakni pembiaran. Birokrasi atau institusi negara tak memiliki kemauan untuk melakukan penyelesaian atas kasus-kasus yang terjadi. Birokrasi baru terpaksa bergerak jika kasus yang terjadi muncul dan menjadi sorotan publik. Kasus bisa juga terbongkar kalau ada persaingan antar-oknum atau antarbagian dari institusi negara. Biasanya, kasus seperti ini akan lenyap pelan-pelan jika publik tidak lagi menaruh perhatian atau jika terjadi kesepakatan antar-oknum atau antarbagian yang saling bersaing.
Melihat pola tanggapan birokrasi atau institusi negara terhadap berbagai kasus yang jadi sorotan publik belakangan ini, cukup jelas kesan bahwa pola yang terjadi lebih bersifat sporadis. Contoh yang sangat jelas adalah dalam kasus kekayaan tak wajar penyelenggara negara di Kementerian Keuangan. Kasus seperti ini sudah sering muncul ke publik.
Yang sangat terkenal, misalnya, kasus ”Gayus”. Kini kasus itu berulang dengan Rafael Alun. Ironisnya, kasus ini mencuat sebagai dampak ikutan dari penganiayaan berat yang dilakukan anak Rafael. Kita tidak tahu, kalau tidak terjadi kasus penganiayaan itu, apakah kasus Rafael akan muncul dan jadi sorotan publik.
Melihat pola tanggapan birokrasi atau institusi negara terhadap berbagai kasus yang jadi sorotan publik belakangan ini, cukup jelas kesan bahwa pola yang terjadi lebih bersifat sporadis.
Yang juga ironis, Kementerian Keuangan adalah institusi yang sering dianggap paling maju reformasi birokrasinya. Pada Desember 2019, misalnya, Kemenkeu memperoleh penghargaan sebagai role model untuk penyelenggara pelayanan publik, dari Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi.
Jika kita mengikuti pemberitaan bahwa kasus kekayaan tak wajar itu sebenarnya sudah diketahui sejak 2012, kesan yang muncul bisa lebih buruk. Yang terjadi bukan lagi tanggapan yang sporadis, tapi lebih menjurus ke pembiaran.
Kesan yang sama kita jumpai untuk kasus lainnya. Kasus Sambo dan kasus polisi atau aparat yang terlibat narkoba sudah sering muncul ke publik dalam berbagai versi. Namun, hal itu terus muncul, dan biasanya selalu diikuti dengan tindakan-tindakan korektif.
Fakta bahwa kasus-kasus itu terus muncul menunjukkan dua hal. Pertama, kasus-kasus itu adalah gejala dari masalah yang lebih serius, lebih fundamental, dan mungkin saja bersifat sistemik. Kedua, pola tanggapan yang dilakukan oleh institusi jelas lebih terkesan sporadis. Akibatnya, peristiwanya mereda sejenak, tetapi muncul lagi di tempat atau waktu yang berbeda.
Isu penundaan pemilu adalah hal yang sama. Isu ini terus muncul timbul tenggelam dua tahun terakhir. Sikap resmi Presiden cukup jelas, menolak atau tak tertarik dengan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan.
Namun, ironisnya, pihak-pihak yang gencar menyuarakan justru banyak datang dari kalangan pejabat pemerintah, seperti sejumlah menteri. Muncul berbagai kecurigaan di masyarakat. Misalnya, jangan-jangan sebetulnya Presiden diam-diam setuju sehingga tak mempersoalkan sejumlah menterinya yang menyuarakan penundaan pemilu.
Saat tahapan pemilu sudah berlangsung cukup jauh seperti sekarang ini, muncul keputusan institusi peradilan yang menimbulkan kontroversi. Jika institusi negara atau birokrasi tak kunjung memberi kejelasan soal ini, kecurigaan dan rasa tak percaya akan menguat.
Dukungan dan kepercayaan publik
Ketidakmampuan negara memberikan tanggapan yang memadai terhadap berbagai masalah publik akan menurunkan kepercayaan kepada institusi negara. Kepercayaan (trust) sangat mendasar dalam demokrasi karena dengannya negara memperoleh legitimasi dalam menjalankan tugas-tugasnya secara efektif.
Tingkat kepercayaan yang menurun, sebagai contoh, dengan jelas ditunjukkan publik terhadap lembaga kepolisian pascakasus Sambo. Dalam jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2022, tingkat kepercayaan kepada lembaga kepolisian menurun tajam dari 72 persen pada Juli (sebelum kasus mencuat) menjadi hanya 53 persen pada Oktober.
Hingga Januari 2023, tingkat kepercayaan ini belum pulih, kemungkinan karena sejumlah kasus lain, seperti keterlibatan perwira tinggi polisi dalam kasus narkoba. Tingkat kepercayaan itu mengalami peningkatan kembali pada Februari 2023 meski belum pulih seperti sebelum kasus muncul.
Kasus mencuatnya kembali kekayaan tak wajar pejabat pajak dapat diduga menimbulkan sentimen negatif dan penurunan tingkat kepercayaan kepada kementerian keuangan, terutama lembaga perpajakan. Kita belum tahu apakah publik menilai negatif atau positif pola penanganan kasus ini oleh negara.
Jika penanganan masih terkesan sporadis, apalagi diiringi dengan munculnya berbagai kasus lain, maka mengembalikan kepercayaan publik tidak akan mudah.
Jika penanganan masih terkesan sporadis, apalagi diiringi dengan munculnya berbagai kasus lain, maka mengembalikan kepercayaan publik tidak akan mudah. Ironisnya, lembaga seperti kepolisian dan perpajakan adalah dua institusi negara yang bersentuhan langsung dengan semua lapisan masyarakat sehingga lebih mudah menjadi sorotan publik.
Tingkat kepercayaan publik yang menurun akibat pola tanggapan yang tak sistemik dalam jangka menengah dan panjang akan berujung pada terkikisnya dukungan publik kepada demokrasi dan pemerintahan secara umum. Ini tak boleh terjadi karena biaya sosial politiknya sangat mahal dan membahayakan keberlangsungan kehidupan kenegaraan.
Para pengurus negara yang masih peduli harus menyadari betul masalah ini. Sorotan dan tuntutan publik yang luas menunjukkan bahwa masyarakat kita masih bisa jadi pilar untuk melakukan perbaikan yang mendasar. Menurut hasil riset LSI, tingkat komitmen masyarakat pada demokrasi, misalnya, masih di atas 70 persen selama sepuluh tahun terakhir. Namun, kita tak tahu sampai kapan komitmen itu akan bertahan jika aparat negara mengikis daya tanggap demokrasi dari dalam negara sendiri.
Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI); Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)