Sudah Seriuskah Kita Beradaptasi dengan Perubahan Iklim?
Dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, ibarat mengobati penyakit, obatnya sudah ada, tinggal ada kemauan atau tidak untuk menenggak obat itu. Penting, kemauan politik untuk aksi adaptasi.
Oleh
STANISLAUS RISADI APRESIAN
·4 menit baca
Artikel Kompas yang berjudul ”Ambang Kritis Bisa Terlewati pada 2030”, 23 Maret 2023, memuat poin krusial terkait perlunya keseriusan untuk melakukan adaptasi sembari berupaya menjalankan mitigasi secara paralel, seperti disampaikan oleh Edvin Aldrian, ahli iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang dikutip dalam artikel tersebut.
Adaptasi ini mendesak untuk mendapat perhatian serius pemerintah karena saat ini banyak masyarakat rentan seperti petani dan nelayan sedang berjibaku dengan bencana alam yang makin sering hanya dengan mengandalkan pengetahuan dan sumber daya seadanya. Pemerintah sudah sepatutnya mengambil peran utama untuk mempersempit gap adaptasi yang juga menjadi catatan serius dalam laporan sintesis dari Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), badan ahli di PBB, yang diluncurkan pada 20 Maret 2023.
Gap adaptasi adalah perbedaan antara level adaptasi yang dimiliki dan level kemampuan untuk merespons dan mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Pertanyaan menggelitik kemudian muncul, apakah pemerintah sudah cukup serius untuk melakukan aksi adaptasi?
Keseriusan pemerintah dapat ditakar dengan menelusuri komitmen adaptasi apa saja yang disampaikan oleh pemerintah dalam dokumen kontribusi nasional yang diperbarui (Enhanced NDC). Setidaknya 170 negara, termasuk Indonesia, sudah memasukkan adaptasi dalam kebijakan iklim dan perencanaan nasional. Langkah tersebut merupakan kemajuan yang mendapatkan catatan positif dalam laporan sintesis IPCC.
Dalam tataran perencanaan nasional, Pemerintah Indonesia mengklaim sudah memiliki dan mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) dan peta jalan adaptasi NDC yang juga menjadi referensi perumusan RPJMN. Untuk mendukung aksi adaptasi, baik di level nasional maupun daerah, pemerintah juga mengklaim memiliki Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kerentanan suatu daerah dan perencanaan aksi adaptasi. Pemerintah juga mematok target ambisius untuk Program Kampung Iklim (ProKlim), yaitu mencapai 20.000 lokasi pada 2024.
Serangkaian paket kebijakan nasional dalam Enhanced NDC tampak cukup komprehensif, tetapi perumusan kebijakan adaptasi saja tidaklah cukup. Keseriusan pemerintah juga dituntut dalam proses implementasi kebijakan dan eksekusi program adaptasi hingga level tapak.
Kurang serius
Dari segi perencanaan, beberapa dokumen perencanaan adaptasi milik pemerintah belum sinkron. Sebagai contoh dokumen peta jalan adaptasi NDC dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kaji Ulang RAN API 2018 terbitan Bappenas menggunakan metode yang berbeda dalam memetakan wilayah rentan terhadap perubahan iklim sehingga hasil pemetaannya pun berbeda.
Padahal, pemetaan wilayah rentan ini merupakan tahapan yang sangat fundamental sebelum kemudian menentukan wilayah prioritas yang perlu mendapatkan intervensi adaptasi. Pemetaan yang berbeda akan menimbulkan kebingungan bagi para pemangku kepentingan adaptasi di level nasional dan lokal. Ke mana mereka harus mendistribusikan bantuan untuk adaptasi?
Dari segi jumlah program, jumlah aksi yang fokus untuk adaptasi masih sedikit dibandingkan dengan aksi mitigasi. Menurut situs Sistem Registri National (SRN) dari KLHK, aksi adaptasi sampai artikel ini ditulis baru terdaftar 35 aksi secara nasional. Jumlah ini masih kalah jauh dengan aksi mitigasi yang jumlahnya dua kali lipat lebih. Pemerintah harus lebih serius untuk mengakselerasi aksi adaptasi secara nasional seperti aksi mitigasi, termasuk dari segi pendanaan.
Dari segi jumlah program, jumlah aksi yang fokus untuk adaptasi masih sedikit dibandingkan dengan aksi mitigasi.
Dari segi eksekusi program di level tapak, keberlanjutan menjadi tantangan utama yang harus menjadi perhatian pemerintah. ProKlim menargetkan 20.000 lokasi. Target ini terkesan ambisius, tetapi apakah semua ProKlim berkelanjutan?
Jangan sampai aksi tersebut hanya menjadi program yang bersifat seremonial untuk mencapai angka 20.000, tetapi kegiatan adaptasi berhenti setelah status ProKlim diberikan. Berdasarkan kunjungan lapangan yang saya lakukan di Jawa Barat tahun lalu, ada satu desa yang memutuskan tidak melanjutkan ProKlim karena merasa tidak ada pendampingan lanjutan setelah mendapatkan status ProKlim. Ada kekhawatiran kejadian serupa juga terjadi di provinsi lain.
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Tangkapan layar pameran virtual Proklim.
Malaadaptasi
Keseriusan pemerintah dalam perencanaan dan implementasi adaptasi perubahan iklim diperlukan untuk menghindari malaadaptasi. Morgan Phillips, penulis buku Great Adaptations, menggarisbawahi bahwa adaptasi yang dilakukan tergesa-gesa dapat berujung kepada malaadaptasi yang berbahaya.
Malaadaptasi sangat mungkin terjadi karena tidak semua aksi adaptasi selalu berdampak positif. Aksi adaptasi dapat berisiko menimbulkan dampak negatif, tidak hanya terhadap lingkungan, seperti meningkatkan emisi, tetapi juga ekonomi dan sosial.
Bantuan benih bersubsidi yang tidak sesuai dengan kondisi tanah petani, misalnya, dapat berujung gagal panen karena tanaman mati sebelum tumbuh sempurna. Petani jelas kehilangan pendapatan dan sudah melewati masa tanam. Ini adalah contoh malaadaptasi dari segi ekonomi.
Aksi adaptasi dapat berisiko menimbulkan dampak negatif, tidak hanya terhadap lingkungan, seperti meningkatkan emisi, tetapi juga ekonomi dan sosial.
Pemberian bantuan adaptasi yang tidak merata di suatu daerah, misalnya, hal ini dapat menimbulkan ketimpangan sosial karena adanya ketidakseimbangan dalam mendapatkan akses bantuan adaptasi. Laporan sintesis IPCC menekankan pentingnya menghindari malaadaptasi ini antara lain dengan melakukan aksi adaptasi yang inklusif disertai dengan perencanaan dan implementasi jangka panjang, tidak hanya bersifat ad hoc.
Kemauan politik
Saat ini kita tidak kekurangan ahli iklim dan data saintifik untuk dapat memprediksi risiko bencana iklim. Para ilmuwan juga tak jemu memberikan anjuran terkait bagaimana menghindari malaadaptasi dan memperkuat adaptasi perubahan iklim.
Ibarat mengobati penyakit, obatnya sudah ada, tinggal ada kemauan atau tidak untuk menenggak obat yang seringkali kurang enak itu. Kurang enak, dalam arti ada beberapa ”pekerjaan rumah” yang harus dibereskan. Kemauan politik adalah salah satunya, seperti yang disampaikan oleh Hoesung Lee yang dikutip dalam artikel Kompas.
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dan kemauan politik. Pertama, mengikuti anjuran dari IPCC, pemerintah harus memiliki perencanaan jangka panjang. Pemerintah Indonesia sudah memiliki beberapa dokumen perencanaan adaptasi nasional. Namun, itu saja belum cukup karena diperlukan keseriusan pemerintah untuk melakukan sinkronisasi perencanaan adaptasi lintas kementerian dan lembaga karena adaptasi perubahan iklim adalah isu lintas sektor. Hal ini juga penting untuk menghindari tumpang-tindih kebijakan dan program adaptasi.
Kedua, perencanaan dan implementasi adaptasi harus lebih inklusif dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal dan juga masyarakat rentan. Sebagai contoh, untuk menentukan bantuan apa yang akan diberikan perlu proses konsultasi untuk mendengar kebutuhan masyarakat rentan. Jangan sampai bantuan hanya bersifat templat dari atas ke bawah lalu didistribusikan ke banyak lokasi. Perlu diingat bahwa tiap daerah memiliki tantangan adaptasi yang beragam.
Terakhir, pemerintah harus memastikan keberlanjutan setiap program adaptasi. Setiap implementasi program adaptasi harus bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Monitoring menjadi hal wajib yang harus dilakukan secara berkala.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki sistem untuk monitoring dengan menggunakan SRN, tetapi informasi terperinci untuk setiap program aksi perlu diperbarui secara berkala sehingga masyarakat bisa ikut memantau keberlanjutan dari setiap program adaptasi.