Bersiaplah, Ambang Kritis Iklim Bisa Terlewati Tujuh Tahun Lagi
Adaptasi terhadap dampak pemanasan global tak bisa ditunda lagi. Tujuh tahun lagi, kenaikan suhu global diperkirakan bakal melebihi titik kritis 1,5 derajat celsius.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F31%2F44031ed3-1bed-474e-878a-975d6cf6e92e_jpg.jpg)
Pengendara bermotor berusaha melalui banjir rob yang menggenangi beberapa titik di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, Minggu (8/1/2023).
Perubahan iklim mendekat dan dampaknya semakin terasa dengan meningkatnya intensitas gelombang panas, kenaikan muka air laut, banjir, kekeringan, gagal panen, hingga kepunahan spesies. Di tahun-tahun mendatang, bencana terkait iklim ini bisa lebih hebat lagi seiring dengan bakal terlampauinya ambang kritis kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat celsius pada 2030.
Laporan sintesis dari Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), badan ahli yang diselenggarakan oleh PBB dan dirilis dari Swiss, Senin (20/3/2023), secara gamblang menyampaikan situasi pemanasan global, yang kian mengkhawatirkan ini. Disebutkan suhu rata-rata global diperkirakan naik 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri sekitar ”paruh pertama tahun 2030-an”.
”Ambang kritis iklim pada 2030 ini dekat sekali. Kenaikan suhu 1,5 derajat celsius yang dikhawatirkan para ahli bakal tembus. Tidak bisa dihindari lagi,” kata Edvin Aldrian, ahli iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), salah satu ilmuwan yang turut menyusun laporan IPCC ini, Rabu (22/3/2023).
Ini menjadi tahun yang terpenting bagi Presiden Joko Widodo untuk meninggalkan warisan dengan membuat komitmen dan aksi iklim yang lebih ambisius.
Edvin mengatakan, bakal terlampauinya kenaikan suhu 1,5 derajat celsius pada 2030 ini jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. ”Sebelumnya, pertemuan IPCC pada akhir 2017 masih memperkirakan ambang kritis ini bakal tercapai pada tahun 2052. Berikutnya, pada akhir 2019, kita bertemu lagi dan menghitung ulang perkiraan tercapainya ambang kritis pada 2042,” ujarnya.
Kegagalan global
Menurut Edvin, terlampauinya ambang kritis pemanasan global yang lebih cepat ini disebabkan kegagalan global dalam mengerem laju emisi gas rumah kaca (GRK). ”Mitigasi kita tidak jalan. Hampir semua negara gagal mencapai NDC (kontribusi nasional terkait Perjanjian/Kesepakatan Paris),” ujarnya.

Keterangan Grafis: (a) Perubahan iklim telah menimbulkan dampak luas dan kerugian serta kerusakan terkait sistem manusia dan ekosistem darat, air tawar dan laut yang berubah di seluruh dunia. Ketersediaan air secara fisik meliputi keseimbangan air yang tersedia dari berbagai sumber termasuk air tanah, kualitas air dan kebutuhan air. (b) Dampak yang diamati terkait dengan perubahan iklim fisik termasuk banyak yang dikaitkan dengan pengaruh manusia seperti pemicu dampak iklim terpilih ditampilkan..(c) Diamati (1900–2020) dan diproyeksikan (2021–2100) perubahan suhu permukaan global (relatif terhadap 1850–1900), yang terkait dengan perubahan iklim, menggambarkan bagaimana iklim telah berubah dan akan berubah sepanjang rentang hidup tiga generasi yang representatif (lahir tahun 1950, 1980 dan 2020).
Berdasarkan Perjanjian Paris 2015, setiap negara sebenarnya telah sepakat untuk ”mengejar upaya” untuk menahan pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius dengan menetapkan target pengurangan emisi. Jika kenaikan suhu ini terlampaui, dampak bencana terkait perubahan iklim seperti gelombang panas, banjir, kekeringan, kenaikan muka air laut, gagal panen, hingga kepunahan spesies menjadi jauh lebih sulit untuk ditangani umat manusia.
Ringkasan 36 halaman yang merangkum enam laporan utama IPCC sejak 2018 ini menjadi alarm bahaya tentang bencana di depan mata. Meski demikian, laporan ini juga memberi pesan bahwa saat ini masih ada waktu untuk mencegah kehancuran lebih fatal lagi dengan menahan suhu global tidak semakin tinggi lagi.
”Kita memang sudah berada di point no return, menuju kiamat. Namun, belum sepenuhnya tamat, masih ada sedikit kesempatan," kata Edvin.
Baca juga: Laporan IPCC Terbaru Tegaskan Target Pengurangan Emisi hingga 2050
Akan tetapi, upaya untuk menahan kenaikan suhu global ini akan membutuhkan langkah drastis, terutama kemauan negara-negara industri untuk segera memangkas emisi GRK mereka minimal setengahnya pada tahun 2030 dan kemudian secara total berhenti menambahkan emisi pada awal tahun 2050-an. Jika kedua langkah itu dilakukan, dunia akan memiliki peluang sekitar 50 persen untuk tetap membatasi pemanasan tidak lebih tinggi lagi dari 1,5 derajat celsius.

Perempuan mengenakan masker saat berjalan kaki dalam kondisi udara yang berpolusi di Beijing, China, awal November 2021.
Penundaan untuk memangkas emisi, bahkan jika hanya beberapa tahun, kemungkinan besar akan membuat tujuan itu tidak tercapai. ”Kecepatan dan skala dari apa yang telah dilakukan sejauh ini dan rencana saat ini tidak cukup untuk mengatasi perubahan iklim,” kata Hoesung Lee, Ketua Panel Iklim IPCC, dalam rilis. ”Kita sedang berjalan ketika kita seharusnya berlari cepat.”
Jangankan berjalan maju untuk memangkas emisi, situasi saat ini justru menunjukkan pemburukan. Setelah dilanda pandemi dan kemudian perang Rusia-Ukraina yang memicu krisis energi, negara-negara maju saat ini berlomba untuk kembali ke energi fosil.
Laporan The International Energy Agency (IEA) pada Kamis (2/3/2023) menunjukkan, tahun 2022 menjadi rekor tertinggi emisi karbon dioksida sejak pencatatan tahun 1900, menyusul pulihnya perjalanan udara setelah pandemi dan lebih banyak yang beralih ke batubara sebagai sumber listrik berbiaya rendah. Laporan ini menunjukkan, emisi GRK yang disebabkan oleh produksi energi tumbuh 0,9 persen mencapai 36,8 gigaton pada tahun 2022. Sementara itu, emisi karbon dioksida dari batubara tumbuh 1,6 persen tahun lalu.
Baca juga: Upaya Menurunkan Emisi Karbon Minim Pembiayaan
Baru-baru ini, dua pencemar terbesar dunia, China dan Amerika Serikat, menyetujui proyek bahan bakar fosil baru. Seperti dilaporkan Centre for Research on Energy and Clean Air, tahun lalu, China mengeluarkan izin untuk 168 pembangkit listrik tenaga batubara dengan berbagai ukuran. Sementara itu, Presiden Joe Biden baru saja menyetujui proyek pengeboran minyak besar yang dikenal sebagai Willow yang akan berlangsung di tanah federal di Alaska.

Pemandangan di pelabuhan di New Jersey beserta Patung Liberty, November 2022.
Situasi serupa juga terjadi di Indonesia. Target pengurangan emisi GRK Indonesia yang terbaru, seperti tertulis dalam Enhanced NDC, menurut Climate Action Tracker, masih sangat tidak memadai dan akan membawa kenaikan temperatur hingga 4 derajat celsius jika semua negara mengadopsi komitmen serupa.
Sektor energi, yang diproyeksikan akan menyumbang 58 persen dari total emisi tahun 2023, seharusnya menjadi kunci bagi pemerintah dalam upaya pengurangan emisi GRK. ”Sayangnya, beberapa kebijakan pemerintah seperti Perppu Cipta Kerja, RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan, dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 justru masih memberikan ruang dan insentif bagi energi fosil,” kata Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Persentase energi terbarukan pun masih rendah, yakni 10,4 persen pada 2022. Dengan capaian ini, sepertinya bakal sulit mencapai target 34 persen energi terbarukan pada 2030, sesuai kesepakatan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JET-P).
Mode adaptasi
Laporan IPCC, yang disetujui oleh 195 pemerintah, mengatakan bahwa infrastruktur bahan bakar fosil yang ada dan yang direncanakan saat ini sudah akan menghasilkan karbon dioksida yang cukup untuk menghangatkan planet sekitar 2 derajat celsius di abad ini. Untuk menjaga pemanasan di bawah tingkat itu, banyak dari proyek tersebut perlu dibatalkan, pensiun dini, atau dibersihkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F04%2F3d04ad8d-19df-4a2a-a3c0-4c4d9ce862a2_jpg.jpg)
Asap membubung dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Barat 2 atau yang dikenal dengan PLTU Pelabuhan Ragu yang terletak Pantai Cipatuguran, Kelurahan Jayanti, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/1/2023).
Adila mengatakan, Pemerintah Indonesia seharusnya mengacu analisis ilmiah IPCC terbaru ini dalam membuat kebijakan untuk mengurangi emisi GRK, yaitu dengan melakukan percepatan transisi energi serta menghentikan penggunaan batubara dan energi fosil lain. ”Ini menjadi tahun yang terpenting bagi Presiden Joko Widodo untuk meninggalkan warisan dengan membuat komitmen dan aksi iklim yang lebih ambisius menuju Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-28,” tuturnya.
Selain tetap berupaya menjalankan mitigasi, menurut Edvin, situasi saat ini sudah harus mendorong pada keseriusan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dipastikan akan semakin kuat. ”Kita di daerah tropis, yang paling tinggi suhunya. Kenaikan suhu akan sangat besar dampaknya terhadap penyempitan zona kehidupan. Selain itu, kita juga negara kepulauan. Banyak pulau kecil kita yang rentan,” ujarnya.
Edvin menambahkan, tidak ada alasan lagi untuk menunda adaptasi. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, selama 2022, Indonesia telah mengalami 3.544 bencana, sekitar 90 persen di antaranya bencana hidrometeorologi. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga menunjukkan, tren bencana hidrometeorologi Indonesia telah mengalami peningkatan selama 40 tahun terakhir dan Bank Indonesia menganalisis, kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Baca juga: Krisis Iklim Memperparah Bencana Banjir dan Longsor
”Banjir di pantura Jawa, Sumatera, dan banyak daerah kita sudah semakin sering dan membesar skalanya. Sudah saatnya tidak bisa bermain-main lagi,” kata Edvin.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F16%2F4b0314c8-17ad-44c5-ac96-801d12d3931f_jpg.jpg)
Sarmini bersama entok piaraannya saat berada di rumahnya yang masih tergenang banjir di Desa Kasiyan, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (16/3/2023). Banjir yang menggenangi sejumlah wilayah di Kabupaten Pati, Kudus dan Rembang terjadi selama beberapa bulan.
Meski demikian, seperti diingatkan IPCC, proses adaptasi yang dilakukan seharusnya berbasis ekosistem agar tidak justru memicu maladaptasi, yang selain memicu bencana baru juga meningkatkan emisi. Edvin mencontohkan, untuk menghadapi banjir rob bukan dengan membuat tanggul atau tembok pinggir pantai, tapi dengan menanam mangrove.
Laporan dari para ahli dari IPCC ini memang telah menggambarkan situasi umat manusia seolah berada di atas es tipis dan es itu mencair dengan cepat. Namun, seperti sebagaimana dikatakan Hoesung Lee, manusia sebenarnya telah memiliki pengetahuan, teknologi, peralatan, sumber daya keuangan untuk mengatasi masalah iklim ini.
”Yang kurang pada saat ini adalah kemauan politik yang kuat untuk menyelesaikan masalah ini untuk selamanya,” ujarnya.