Laporan IPCC Terbaru Tegaskan Target Pengurangan Emisi hingga 2050
IPCC merilis laporan terbaru yang menjadi penutup dari siklus penilaian keenam perubahan iklim. Dalam laporan ini, IPCC menetapkan dan menegaskan kembali target pengurangan emisi yang harus dicapai hingga 2050.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sejumlah aktivis pemerhati lingkungan berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Rabu (3/11/2021). Mereka meminta negara-negara kaya yang pada saat itu sedang bertemu dalam KTT Iklim COP 26 di Glasgow, Skotlandia, selain memenuhi janji pendanaan iklim yang telah tertunda, juga membayar utang iklim mereka kepada negara-negara berkembang.
JAKARTA, KOMPAS – Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC merilis laporan terbaru yang menjadi penutup dari siklus penilaian keenam perubahan iklim. Dalam laporan penilaian keenam ini, IPCC menetapkan dan menegaskan kembali target pengurangan emisi yang harus dicapai semua negara hingga 2050.
Hasil laporan sintesis penilaian keenam (AR6) tersebut disampaikan IPCC dalam konferensi pers yang diikuti secara daring, Senin (20/3/2023) malam waktu Indonesia. Laporan paling komprehensif terkait perubahan iklim ini diluncurkan setelah IPCC melakukan sidang pleno selama satu minggu di Interlaken, Swiss, yang dibuka pada Senin (13/3/2023).
Laporan sintesis yang menjadi akhir dari siklus penilaian keenam (SYR) ini juga memberikan gambaran umum dari temuan-temuan pada laporan-laporan penilaian yang dihasilkan oleh ketiga Kelompok Kerja IPCC. Selama siklus penilaian keenam ini, IPCC secara total telah menerbitkan delapan karya ilmiah terkait perubahan iklim beserta dampaknya.
Salah satu poin yang ditekankan dalam laporan ini adalah penetapan persentase target pengurangan emisi untuk mencegah kenaikan suhu Bumi hingga 2050. Target pengurangan emisi ini harus dilakukan bersama-sama oleh semua negara dengan berbagai upaya, termasuk menghentikan penggunaan energi kotor dan beralih ke energi bersih.
Target pengurangan emisi ini ditetapkan secara bertahap sejak 2023 hingga 2050. Pada 2030, target pengurangan emisi harus mencapai 48 persen. Lima tahun kemudian atau tahun 2035, target pengurangan emisi kembali ditingkatkan menjadi 65 persen.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Asap membubung dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Barat 2 atau yang dikenal dengan PLTU Pelabuhan Ragu yang terletak di Pantai Cipatuguran, Kelurahan Jayanti, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/1/2023).
Pengurangan emisi ini harus lebih ambisius pada 2040 dengan target sebesar 80 persen. Kemudian, pada 2050, semua negara harus sudah mengurangi emisi hingga 99 persen agar Bumi terhindar dari kenaikan suhu dan mencegah krisis iklim semakin parah.
Ketua IPCC Hoesung Lee menyampaikan, laporan sintesis ini menyatukan temuan kunci dari tiga laporan khusus dan tiga laporan kelompok kerja yang telah dirilis sebelumnya. Laporan ini sekaligus memberikan perspektif yang memberikan peringatan bahwa upaya yang dilakukan selama ini belum cukup untuk mengatasi perubahan iklim.
Pakta ini menekankan bahwa semua negara penghasil emisi tinggi harus melakukan upaya yang lebih besar untuk menurunkan emisi.
”Tindakan yang lebih ambisius diperlukan dalam dekade ini untuk mengatasi perubahan iklim. Pada 2018, IPCC menyoroti tantangan dalam menjaga suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Lima tahun kemudian, tantangan dalam mengatasi perubahan iklim yang dihadapi ini jauh lebih besar,” tutur Lee saat konferensi pers.
Lee menekankan bahwa emisi harus dikurangi hampir separuhnya pada 2030 bila semua pihak ingin suhu Bumi tetap berada di bawah 1,5 derajat celsius. Solusi mengatasi perubahan iklim ini pun tetap harus mengedepankan aspek keadilan bahwa pihak yang paling rentan harus mendapatkan perlindungan yang lebih besar.
Ketua IPCC Hoesung Lee saat konferensi pers, Senin (20/3/2023) malam.
Beragam laporan telah menunjukkan bahwa perubahan iklim semakin terlihat dan dirasakan dampaknya. Dampak perubahan iklim ini seperti kekeringan dan banjir yang mengancam ketahanan pangan ataupun air. Bahkan, laporan juga menyebutkan dampak perubahan iklim telah menghilangkan mata pencarian dan merusak ekonomi global.
”Setiap peningkatan suhu Bumi akan menyebabkan bahaya yang lebih besar dan lebih cepat. Dampak perubahan iklim ini akan semakin sulit diatasi ketika digabungkan dengan peristiwa lainnya, seperti pandemi maupun konflik,” ungkap Lee.
Pakta Solidaritas Iklim
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengibaratkan perubahan iklim seperti bom waktu yang sedang berdetak. Namun, laporan dari IPCC telah memberikan panduan dan cara dalam menjinakkan bom waktu iklim tersebut.
Menurut Guterres, PBB telah mengusulkan kepada negara-negara G20 tentang Pakta Solidaritas Iklim. Pakta ini menekankan bahwa semua negara penghasil emisi tinggi harus melakukan upaya yang lebih besar untuk menurunkan emisi. Di sisi lain, negara tersebut juga harus memobilisasi sumber daya keuangan dan teknis untuk mendukung negara berkembang dalam mengatasi ataupun menghadapi dampak dari perubahan iklim.
AHMAD ARIF
Waktu menuju ambang pemanasan global dalam model iklim global.
”Kami berencana untuk meningkatkan upaya guna mencapai Pakta Solidaritas Iklim melalui semua percepatan agenda. Hal ini dimulai dengan upaya dari pihak-pihak untuk segera mempercepat tenggat emisi bersih mereka pada tahun 2050,” katanya.
Ketua Kelompok Least Developed Countries (LDC) Madeleine Diouf Sarr menilai, upaya transisi energi yang sudah dilakukan di banyak negara tidak cukup dalam mengatasi perubahan iklim. Oleh karena itu, perubahan iklim ini harus diatasi dengan berbagai upaya dan dukungan pendanaan yang dipimpin oleh negara-negara maju.
”Sangat mengecewakan bahwa pertumbuhan pendanaan iklim telah melambat sejak tahun 2018. Kesenjangan terbesar terjadi di negara berkembang. Kita harus mengubah arus ini dan meningkatkan akses terhadap pendanaan untuk memajukan kemakmuran bersama sekaligus mencapai emisi bersih,” ucapnya.