Peran Indonesia dinilai penting dalam seluruh upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dunia. Karena itu, Indonesia harus dapat menunjukkan kepemimpinan dalam hal kehutanan, energi, dan penyerapan karbon.
Oleh
EDVIN ALDRIAN
·6 menit baca
Konferensi iklim dunia PBB atau COP (Conference of Parties atau konferensi negara-negara) ke-26 pada November 2021 yang telah berlangsung di Glasgow, Skotlandia, membawa harapan terhadap perubahan dalam politik dan kebijakan perubahan iklim dunia. Saat ini, dunia dihadapkan pada tantangan yang lebih besar lagi, dan seiring dengan waktu yang terus berjalan, akan semakin sulit tantangan yang kita hadapi.
Persoalan perubahan iklim tetap seperti sediakala, yaitu common but differentiated responsibility. Tanggung jawab secara kolektif/bersama dengan upaya lokal yang berbeda-beda. COP ke-26 telah menyelesaikan banyak ketentuan untuk pasal-pasal pelaksanaan sebagaimana tercantum dalam Paris Agreement yang disepakati tahun 2015, seperti Pasal 6 tentang pendanaan, Pasal 7 tentang adaptasi, dan Pasal 8 tentang loss and damage. Namun, masih banyak pekerjaan rumah secara kolektif yang harus diperhatikan, terutama dalam hal menahan laju kenaikan suhu bumi.
Khusus dalam peranan Indonesia, perlu diketahui bahwa Indonesia memiliki beberapa keunggulan strategis. Indonesia adalah negara dengan populasi nomor empat terbesar di dunia sehingga perannya saat ini akan dianggap penting dalam seluruh upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, Indonesia juga diramalkan untuk menjadi negara dengan tingkat ekonomi nomor empat dunia pada tahun 2050 berdasarkan prediksi dari Price Water Cooper. Tahun 2050 memiliki arti strategis. Pada saat itu, dunia diharapkan sudah memulai dan jauh lebih aktif melaksanakan program zero emission atau balance dalam hal emisi karbon. Ini adalah target global dan Indonesia diharapkan dapat mencapainya pada tahun 2060.
Selain dua hal di atas, pada tahun 2021 ini, Indonesia telah ditunjuk memegang keketuaan atau presidensi dari gerakan G-20, yaitu sebuah kelompok elite dari 20 negara dengan tingkat perekonomian terbesar dunia.
Di luar dari kesiapan peran Indonesia di atas, kita melihat persoalan perubahan iklim untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Dari hasil laporan khusus IPCC (Panel Sains Perubahan Iklim PBB) pada tahun 2018 tentang perubahan iklim dan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius, telah disebutkan bahwa kesiapan dunia menghadapi kenaikan suhu 1,5 derajat celsius diramalkan akan melewati kenaikan suhu tersebut antara 2030 hingga 2052.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kesiapan dunia dalam hal kontribusi sukarela dari semua negara sebagaimana tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi sukarela dari semua negara yang hanya dapat memenuhi sepertiga kebutuhan yang diperlukan untuk menjaga suhu bumi tidak mengalami kenaikan melebihi 1,5 derajat celsius tersebut. Artinya, dibutuhkan kontribusi sukarela yang jauh lebih ambisius lagi guna dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Dibutuhkan kontribusi sukarela yang jauh lebih ambisius lagi guna dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Pesan inilah yang sebenarnya diharapkan keluar dari COP 26 di Glasgow. Selain itu, dalam laporan IPCC keenam yang dikeluarkan pada awal Agustus tahun 2021 disebutkan bahwa prediksi suhu dunia akan mengalami kenaikan melewati 1,5 derajat celsius kemungkinan dapat dipercepat 10 tahun atau sekitar tahun 2042.
Skenario terburuk IPCC dalam jangka panjang, suhu bumi dapat meningkat mencapai 2,7 derajat celsius sampai 3,6 derajat celsius pada akhir abad ini dibandingkan pada zaman praindustri. Hal ini tentu saja mencengangkan karena hanya dalam tiga tahun dari laporan khusus tahun 2018 telah direvisi. Hal ini menunjukkan waktu dan peluang bagi dunia yang semakin sempit dan mendesak.
Pelaku utama
Apa yang dapat kita lakukan untuk menuju Indonesia sebagai pelaku utama pengendalian perubahan iklim? Dalam waktu yang relatif singkat untuk presidensi G-20, Indonesia dihadapkan pada persiapan yang relatif singkat untuk dapat memberikan contoh sebagai pemimpin dan pionir dalam tindakan nyata dalam perubahan iklim.
Indonesia harus sadar bahwa kita telah memiliki contoh nyata yang pernah kita lakukan dalam hal mitigasi perubahan Iklim, yaitu pada waktu bangsa Indonesia memutuskan untuk mengganti penggunaan minyak tanah menjadi elpiji untuk kebutuhan rumah tangga. Kegiatan top down secara nasional ini sudah terjadi pada saat Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan hal tersebut, yang kemudian diselesaikan dalam dua tahun saja secara nasional.
Untuk masalah perubahan iklim ke depan, dibutuhkan lebih banyak solusi untuk isu yang lebih besar lagi. Indonesia harus dapat menunjukkan kepemimpinan dalam hal kehutanan, pemakaian dan pembangkit energi khususnya energi yang baru dan terbarukan, dalam hal perdagangan karbon, serta soal transfer teknologi.
Khusus untuk masalah terakhir pada pertemuan COP 26 di Glasgow, pihak negara maju sudah menyiapkan dana komitmen (pledge) tahunan hingga 100 miliar dollar AS setahun. Dana tersebut diutamakan untuk keperluan alih teknologi dan kebutuhan adaptasi mitigasi lainnya.
Indonesia diharapkan dapat menggunakan dana tersebut untuk dapat memberi contoh kegiatan besar dalam hal kehutanan, energi, dan penyerapan karbon. Indonesia dapat mengusulkan untuk menjaga hutannya sebagai paru-paru dunia sehingga dapat menerima dana kompensasi teknologi transfer perubahan iklim. Kemudian, dana alih teknologi tersebut dapat dipakai guna mempercepat kemajuan teknologi dalam hal perubahan iklim.
Dalam hal ini, mungkin lebih diperlukan kerja sama bilateral daripada multilteral dalam kerangka COP 26. Sudah banyak diketahui bahwa program-program multilateral biasanya diambil oleh negara India dan China. Sebagai contoh, program-program Clean Development Mechanism dari COP pada skema Kyoto Protocol sebagai pendahulu Paris Agreement telah banyak dipakai negara-negara ini guna memperbarui pabrik-pabrik dan mesin yang sudah tua.
BPMI SETPRES/LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Para Pihak (COP) tentang Iklim, Senin (1/11/2021), di Glasgow, Skotlandia. Dalam forum yang juga dikenal sebagai COP 26 itu, Presiden memaparkan capaian Indonesia pada pengendalian penyebab perubahan iklim. Presiden juga menggugat kontribusi global untuk upaya Indonesia menjaga hutannya.
Dalam hal penanganan hutan, Indonesia diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum dalam hal kebakaran hutan, moratorium lahan gambut, dan rehabilitasi lahan pascatambang. Hal ini telah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sidang COP 26 di Glasgow yang menargetkan penyerapan bersih (net sink) dari penggunaan hutan dan lahan pada tahun 2030.
Dalam hal energi, diharapkan Indonesia dapat memiliki strategi untuk dapat menghentikan atau mengurangi pemakaian pembangkit batubara dan menukarnya dengan pembangkit lain yang lebih baru dan dapat diperbarui. Indonesia juga membutuhkan alih teknologi guna lebih memberdayakan kemajuan teknologi dalam industri selain dalam kebutuhan teknologi.
Dalam hal energi, diharapkan Indonesia dapat memiliki strategi untuk dapat menghentikan atau mengurangi pemakaian pembangkit batubara.
Selain itu, Indonesia juga diharapkan dapat memimpin pemakaian listrik dalam hal transportasi karena Indonesia dapat menjadi penghasil baterai listrik dengan sumber daya nikel yang relatif besar. Dalam hal adaptasi perubahan iklim, Indonesia perlu lebih memperkuat upaya sektoral dalam menghadapi bencana iklim yang dapat terjadi, yaitu dalam hal ketahanan pangan dan sumber daya air serta infrastruktur.
Persoalan perubahan iklim memang lebih mudah jadi berita atau bahan riset yang menarik, tetapi tetap menunggu aksi nyatanya. Sudah saatnya kita menunjukkan diri sebagai negara besar yang adidaya dan bukan bangsa yang mengemis untuk meminta dana atau tangan di atas dalam hal memberi contoh.
Indonesia harus dapat menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin dan memberi contoh dalam hal perubahan iklim dunia. Pada akhirnya, kita diharapkan dapat mewariskan masa depan dunia yang keberlanjutan untuk generasi mendatang. Dengan demikian, sidang COP ke-26 di Glasgow menunjukkan perbaikan meski masih belum cukup memadai atau memuaskan.
Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi BPPT; Intergovernmental Panel on Climate Change WG 1 Vice Chair; Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)