Darurat Prostitusi Anak Perempuan
Lebih dari sekadar alasan kemiskinan dan pendidikan, anak perempuan terjerumus dalam prostitusi seringkali dipicu ketidakberdayaan mereka menghadapi struktur sosial yang memarginalisasi dan didominasi ideologi patriarki.
Tajuk Rencana Kompas kembali mengingatkan kita tentang arti penting pelindungan anak, khususnya anak yang terperangkap di industri seksual komersial. Saat ini bisa dikatakan Indonesia sudah pada situasi darurat prostitusi anak (Kompas, 24 Maret 2023). Sebelumnya, liputan iInvestigasi harian Kompas tentang anak-anak perempuan yang dijual dan dilacurkan sebetulnya juga telah melaporkan tindak pelanggaran hak anak yang menohok rasa kemanusiaan ini.
Meskipun kisah-kisah yang menyedihkan tentang anak perempuan yang dilacurkan sudah berkali-kali dilaporkan, masyarakat tampaknya tidak pernah belajar dari kesalahan: korban-korban baru masih saja berjatuhan. Pada 16 Maret 2023, dilaporkan bahwa polisi berhasil membongkar praktik prostitusi yang melibatkan lima anak perempuan di Gang Royal, Jakarta.
Di tahun 2020, polisi juga berhasil mengungkap dua kali kasus prostitusi anak di tempat yang sama. Pada 2021, 12 anak perempuan berhasil diselamatkan dari sebuah apartemen di Jakarta Pusat karena kasus serupa (Kompas, 9-10 Maret 2023).
Baca juga: Investigasi Perdagangan Anak
Di industri seksual komersial, anak perempuan memang menjadi magnet kuat, selalu menjadi primadona. Mereka ditawarkan dengan harga paling tinggi. Lelaki yang berkunjung ke rumah bordil, yang dicari niscaya adalah pendatang baru yang masih belia. Sensasi dan rasa superioritas lelaki hidung belang yang ingin ada di pihak yang mendominasi, berkuasa, dan mensubordinasi, secara psikologis menjadi penyebab kenapa anak perempuan yang dilacurkan selalu diburu.
Hasil investigasi yang dilaporkan harian Kompas berhasil mengungkap penderitaan, trauma, dan praktik rekruitmen yang selama ini dikembangkan mucikari untuk mencari korban-korban baru. Lebih dari sekadar persoalan ekonomi, faktor yang menjadi penyebab kenapa anak-anak perempuan rentan terperangkap masuk di pusaran industri seksual komersial sesungguhnya sangat kompleks: banyak bertali-temali dengan berbagai hal.
Upaya memahami
Memahami dan mengkaji fenomena anak perempuan yang dilacurkan selama ini telah dilakukan dari berbagai perpektif dan dianalisis dengan berbagai teori, mulai dari behaviorisme, positivisme, interaksionisme simbolik, strukturalisme, Marxisme, feminisme, analisis kelas, hingga teori postmodern. Namun, penjelasan teoretis terhadap praktik pelacuran yang hanya melihat dari aspek jender, ekonomi-politik, atau sekadar menempatkan dalam konteks hubungan produksi dan reproduksi, menurut Thanh-Dam Truong (2002), sesungguhnya kurang lengkap dan bahkan dinilai bersifat ahistoris.
Untuk membongkar realitas sosial di balik makin maraknya perkembangan industri seksual komersial, studi tentang eksploitasi, ketidakberdayaan, dan berbagai kasus child abuse yang dialami anak perempuan yang dilacurkan membutuhkan keberpihakan sebagaimana sering dilakukan peneliti dari perspektif teori kritis—tanpa harus kehilangan obyektivitasnya. Seperti dikatakan Ben Agger (2003) bahwa komitmen politik tidak perlu menyingkirkan obyektivitas yang kaku, yang melihat dunia sebagaimana adanya karena penggunaan perspektif teori kritis justru akan lebih membuka tabir dan menjelaskan akar persoalan secara mendalam, termasuk persoalan anak-anak perempuan yang dilacurkan.
Perspektif behaviorisme dan positivistik, dalam banyak hal cenderung melihat persoalan anak dilacurkan semata sebagai masalah patologi sosial.
Perspektif behaviorisme dan positivistik, dalam banyak hal cenderung melihat persoalan anak dilacurkan semata sebagai masalah patologi sosial dan bahkan bukan tidak mungkin akan terjerumus kepada sikap yang mereka sebagai seseorang yang memilih terjun dalam bisnis prostitusi karena desakan faktor ekonomi. Sementara pendekatan interaksionisme simbolik umumnya lebih memahami apa yang dialami dan dilakukan anak yang dilacurkan sebagai bagian dari drama kehidupan dan kepura-puraan, tanpa dibarengi dengan munculnya sikap empati terhadap penderitaan yang dialami anak-anak tersebut.
Sementara itu, pendekatan strukturalisme dan Marxisme, meski lebih memungkinkan untuk menggali penderitaan dan eksploitasi yang dialami anak-anak yang dilacurkan, mereduksi akar permasalahan di balik kasus eksploitasi yang dialami anak tersebut semata sebagai persoalan kelas dan persoalan ekonomi. Teori kritis tidak mengatakan bahwa para determinis salah ketika memusatkan perhatiannya pada ranah ekonomi, tetapi seharusnya mereka pun harus memusatkan perhatian pada aspek lain kehidupan sosial, yakni pada ranah kultural (Ritzer & Godmaan, 2011).
Untuk perspektif feminisme, dalam beberapa kasus memang lebih bisa dipergunakan untuk memahami penderitaan anak perempuan yang dilacurkan sebagai korban ideologi patriarki dan superioritas laki-laki. Namun, perspektif ini umumnya kurang memperdalam posisi anak perempuan sebagai anak yang memiliki posisi yang asimetris dengan orang dewasa di sekitarnya, seperti mucikari atau lelaki pelanggan yang mengeksploitasi mereka.
Perspektif teori kritis
Dalam buku berjudul Anak Perempuan yang Dilacurkan: Korban Eksploitasi di Industri Seksual Komersial, penulis menetapkan mempergunakan perspektif teori kritis untuk memahami ketidakberdayaan dan eksploitasi anak perempuan dalam industri seksual komersial. Inti dari perspektif teori kritis yang dipergunakan dalam studi penulis, seperti dikatakan Axel Honneth (1987), sesungguhnya adalah bagaimana memadukan analisis ekonomi fase pascaliberal kapitalisme, penyelidikan psikologis-sosial mengenai peleburan individu ke dalam masyarakat, dan analisis kultural-teoretis mengenai mode operasional budaya massa.
Sebagai bagian dari jaringan industri seksual komersial, prostitusi yang melibatkan anak-anak perempuan sesungguhnya adalah realitas sosial yang memiliki akar historis dan bertali-temali dengan banyak hal. Hal ini mulai dari soal jender dan ideologi patriarkis, ketertundukkan, dominasi, dan eksploitasi sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme yang senantiasa mendudukkan satu pihak dalam posisi superordinasi (mucikari, calo dan lelaki yang menjadi pelanggan) dan pihak lain sebagai subordinasi (anak yang dilacurkan). Selain itu, juga berkaitan dengan persoalan gaya hidup (life style) dan menyangkut pula bagaimana anak perempuan sebagai korban menyikapi dominasi dan tekanan yang dihadapinya, baik tekanan atas pekerjaan yang terpaksa mereka lakukan maupun tekanan dari pihak-pihak yang mengeksploitasi mereka.
Baca juga: Jerat Hitam Prostitusi Anak
Sebagai anak yang tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan orang dewasa, dan sebagai perempuan yang disubordinasi oleh ideologi patriarkis, serta sebagai manusia yang diperlakukan layaknya komoditas dalam industri layanan seksual komersial, apa yang dialami anak-anak perempuan yang terjerumus dalam praktik prostitusi sungguh adalah hal-hal yang identik dengan penderitaan dan melanggar hak anak dengan cara yang benar-benar memiriskan. Lebih dari sekadar karena tekanan kemiskinan dan kebodohan atau kurangnya pendidikan, kemungkinan anak perempuan terjerumus dalam sektor industri seksual komersial seringkali dipicu oleh ketidaberdayaan mereka ketika harus menghadapi struktur sosial yang memarginalisasi dan lebih banyak didominasi ideologi patriarkis (Yamato, 2000).
Seperti dikatakan Louise Brown, prostitusi bukan sekadar produk kemiskinan. Bagi teoretisi Feminisme Materialis, seperti Chistine Delphy (1984), sumber dari ketidakberdayaan yang dialami (anak) perempuan tak pelak adalah cara kerja kapitalisme yang eksploitatif dan ideologi patriarkis yang menindas perempuan.
Anak perempuan yang terjebak dalam dunia prostitusi, mereka bukan saja berisiko menghadapi perilaku mucikari atau germo yang eksploitatif, melainkan tak jarang juga berhadapan dengan ulah calo yang selalu meminta imbalan, baik materi maupun layanan, dan juga ulah lelaki pelanggan yang biasanya akan memperlakukan mereka layaknya barang dagangan yang telah dibeli (Hipolito, 2007). Dengan posisi bargaining yang lemah ketika berhadapan dengan orang dewasa, anak-anak perempuan yang dilacurkan umumnya rentan dilanggar haknya dan boleh dikata tidak memiliki masa depan untuk dapat tumbuh kembang secara wajar.
Di industri jasa layanan seksual, posisi anak perempuan acapkali tidak berdaya, dan penurut karena adanya daya pengikat irasional yang membuat mereka senantisa tunduk terhadap dominasi dan kekuasaan mucikari. Tidak jarang terjadi, anak perempuan yang telanjur terperangkap dalam prostitusi makin dalam terjerumus dalam dunia kelam yang dijalaninya karena menjadi korban praktik pemerasan ancaman tindak kekerasan dari berbagai pihak, selain mereka juga menjadi korban stigma masyarakat yang tidak memungkinkan untuk mencari jalan kembali ke dunia di luar prostitusi.
Sebagai manusia, boleh dikata anak yang dilacurkan mengalami proses dehumanisasi, di mana mereka tidak lagi memiliki kekuasaan atas dirinya karena seluruh mekanisme kerja yang harus dijalani sehari-hari semua ditentukan mucikari dan keinginan lelaki pelanggannya, dalam kondisi apa pun mereka. Anak perempuan yang telah terjerumus dalam prostitusi niscaya tidak akan memiliki kesempatan untuk keluar dari kesengsaraan yang dialaminya karena seluruh lingkungan sosial di sekitarnya akan membelenggu dan memaksa mereka tetap menjalani kehidupan tragis yang telah merampas kemerdekaan dan haknya sebagai manusia dan anak.
Di industri jasa layanan seksual, posisi anak perempuan acapkali tidak berdaya dan penurut karena adanya daya pengikat irasional yang membuat mereka senantisa tunduk terhadap dominasi dan kekuasaan mucikari.
Penjelasan perspektif teori kritis untuk memahami ketidakberdayaan dan eksploitasi yang dialami anak perempuan dalam industri seksual komersial niscaya lebih mampu menggambarkan tidak hanya setting, faktor penyebab, dan penderitaan anak perempuan sebagai korban, tetapi juga mampu mengungkap konteks relasi anak perempuan dengan berbagai pihak di sekitar mereka yang sifatnya asimetris dan eksploitatif. Berbagai pihak, mulai dari mucikari, calo, dan lelaki pelanggan, acapkali memperoleh keuntungan terbesar karena memanfaatkan ketidakberdayaan anak perempuan yang dilacurkan.
Di industri jasa layanan seksual, posisi anak perempuan tak ubahnya seperti komoditas yang diperjualbelikan, tanpa melihat sedikit pun bahwa di balik semua itu mereka sesungguhnya adalah manusia. Terlebih mereka adalah anak-anak yang memiliki hati dan perasaan, serta berhak mempersiapkan masa dan meraih masa depan yang terbaik.
Korban
Untuk menyelamatkan anak-anak perempuan dari perangkap industri seksual komersial, harus diakui bukanlah hal yang mudah. Selama ini, berbagai strategi yang dikembangkan negara untuk membatasi ruang gerak industri pelacuran umumnya memandang entitas dan bisnis ini sebagai penyakit sosial yang harus ditutup paksa, tetapi di saat yang sama cenderung mengabaikan peran modal dan konsumen yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan industri leisure dan layanan seksual. Sering pula terjadi, upaya penanganan dan penyelamatan nasib anak-anak perempuan yang dilacurkan justru memperlakukan mereka sebagai terdakwa yang ikut disalah-salahkan sehingga dalam praktik justru makin menjerumuskan anak-anak perempuan yang dilacurkan untuk menanggung akumulasi beban yang lebih berat.
Baca juga: Selamatkan Anak-anak Kita dari Eksploitasi Seksual
Bagi anak-anak perempuan yang menjadi korban di industri seksual komersial, langkah strategis yang harus dilakukan adalah pemulihan dan reintegrasi anak-anak korban eksploitasi di sektor industri seksual komersial. Caranya, antara lain, dengan mengutamakan pendekatan nonpunitive kepada anak-anak tersebut dalam keseluruhan prosedur perundang-undangan, memberi pelayanan medis, psikologis, terhadap korban eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) dan keluarganya, khususnya korban yang terkena penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS.
Perlu dipahami bahwa mereka sebagai korban (bukan terdakwa) sehingga ketika dilakukan razia atau operasi penertiban tindak penegakan hukum seyogianya lebih difokuskan kepada germo, mucikari, calo, atau pelanggan yang nyata-nyata memanfaatkan ketidakberdayaan anak-anak tersebut. Selama ini, diakui atau tidak, dalam penanganan kasus anak-anak yang dilacurkan dan diperdagangkan sering terjadi korban justru diperlakukan sebagai bagian dari pelaku tindak kriminal seperti layaknya pembeli atau konsumen maupun pihak ketiga (germo, mucikari) yang memperoleh keuntungan dari kegiatan transaksi seksual. Dengan demikian, yang muncul bukankah tindakan simpati dan empati untuk melindungi dengan tulus, melainkan terkadang malah sekaligus menangkap korban karena dianggap juga ikut memetik keuntungan dari kasus yang menimpa mereka.
Bagong Suyanto, Dosen Sosiologi Anak di FISIP Universitas Airlangga; Menulis Disertasi tentang Anak Perempuan yang Dilacurkan