Perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa membuat informasi langsung ke tangan pertama—tidak peduli benar atau salah—dan turut menjadi faktor penolakan vaksin.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Temuan anak-anak yang positif terjangkit polio di Aceh dan Purwakarta, Jawa Barat, adalah kenyataan pahit yang menunjukkan kegagalan imunisasi dasar.
Polio adalah penyakit saraf yang bisa menyebabkan kelumpuhan permanen dan kadang kematian. Polio bisa diatasi dengan imunisasi. Kalau akhir 1940-an wabah polio menyebabkan lebih dari 35.000 orang lumpuh setiap tahun di Amerika Serikat, tahun 1950-an—saat vaksin polio temuan Jonas Salk mulai digunakan—kelumpuhan tinggal 15.000 kasus dan tahun 1970-an tinggal 10 kasus.
Vaksin memang merupakan salah satu kemenangan terbesar ilmu kedokteran modern. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan sudah mengumumkan keberhasilan mengeradikasi penyakit cacar tahun 1980, berkat vaksinasi cacar.
Semua itu membuat dunia optimistis dan mencanangkan Deklarasi Alma Ata: menargetkan kesehatan untuk semua bisa tercapai tahun 2000. Target ini ternyata meleset karena ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya.
Meski imunisasi terbukti merupakan cara terbaik melindungi kesehatan anak, muncul kelompok yang tidak percaya imunisasi. Belum lagi mereka yang tinggal di daerah terpencil, daerah konflik, atau menjadi anggota suku yang berpindah sehingga tidak terjangkau imunisasi.
Perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa membuat informasi langsung ke tangan pertama—tidak peduli benar atau salah—dan turut menjadi faktor penolakan vaksin. Di sisi lain, kemajuan transportasi mempermudah mobilitas dan mempercepat penyebaran virus ke seluruh dunia.
Amerika Serikat, yang sudah tidak ada lagi kasus polio sejak 1979, pada 1993 terinfeksi lagi virus polio liar yang dibawa pelaku perjalanan. Beberapa negara memang rendah cakupan imunisasinya sehingga kasus polio masih bermunculan, terutama di Pakistan, Afghanistan, dan Nigeria.
Indonesia sebenarnya pernah dianggap berhasil mengatasi polio. Imunisasi menurunkan 24 kasus pada 1994 menjadi satu kasus pada 1995. Namun, status ini tak bertahan lama. Anak berusia 20 bulan di Sukabumi, Jawa Barat, diketahui terinfeksi virus polio asal Afrika Barat yang masuk Indonesia melalui Timur Tengah. Tahun 2006 ditemukan lagi 305 kasus polio di lebih dari 10 provinsi di Sumatera dan Jawa. Penurunan cakupan imunisasi menjadi penyebab utama.
Selama pandemi Covid-19, cakupan imunisasi dasar lengkap menurun dari 84,2 persen tahun 2020 menjadi 79,6 persen pada 2021. Dampaknya tidak hanya meningkatkan kasus polio, tetapi juga kejadian luar biasa (KLB) difteri di Garut, Jabar.
Pemerintah memang mencanangkan Program Imunisasi Nasional (PIN) untuk mengatasinya, tetapi belum mengakomodasi masalah sosial pemicu penolakan vaksin. Karena itu, pemerintah harus bekerja keras mencari jalan, termasuk melibatkan semua pemangku kepentingan. Dari pemuka agama, tenaga kesehatan, hingga masyarakat.
Tanpa itu semua, Indonesia tidak akan mampu memenuhi target eradikasi polio WHO pada 2026.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO