Kasus Polio di Aceh dan Purwakarta Menjadi Alarm Tanda Bahaya
Baru-baru ini, kasus polio kembali mencuat setelah delapan tahun lamanya Indonesia mendapat predikat bebas polio. Pemerintah perlu memastikan cakupan imunisasi dasar meningkat.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sederet temuan kasus polio yang mencuat akhir-akhir ini menjadi alarm bahaya bagi pemerintah dan masyarakat. Imunisasi dasar lengkap perlu digenjot demi mencapai target eradikasi polio pada 2026.
Tahun 2022 atau delapan tahun setelah Indonesia memperoleh sertifikat bebas polio pada 2014, tiga anak di Kabupaten Pidie, Aceh, ditemukan positif virus polio. Kemudian, disusul pada awal 2023, tiga anak dilaporkan positif polio, yakni di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen, Aceh, serta Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Ketua Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi Hindra Irawan Satari menyampaikan, rentetan kejadian tersebut adalah imbas dari minimnya cakupan imunisasi di sejumlah daerah. Jika cakupan imunisasi meningkat, seharusnya kasus polio menurun.
”Jadi, kalau kasus polio muncul kembali, itu adalah sinyal bahwa kita ternyata masih gagal menumpas penyakit. Dikhawatirkan, di sejumlah provinsi lain sudah ada, tapi tidak terdeteksi. Kalau semua bergerak mencari, mungkin di beberapa daerah lain ditemukan juga, hanya saja sekarang belum terlaporkan karena tingkat kesadaran kurang,” ujar Hindra kepada wartawan seusai peringatan Pekan Imunisasi Global 2023 di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, per 2022 terdapat 30 provinsi dan 415 kabupaten/kota yang masuk kriteria berisiko tinggi polio. Selain itu, cakupan imunisasi polio juga menurun dari tahun 2020 dengan cakupan vaksin polio oral (OPV) sebesar 86,8 persen menjadi 80,2 persen pada 2021. Sementara cakupan vaksin polio suntik (IPV) meningkat dari 37,3 persen pada 2021 menjadi 66,2 persen pada 2022.
Polio atau poliomyelitis adalah penyakit infeksi akibat virus polio yang dapat menyerang sistem saraf hingga memicu kelumpuhan secara permanen. Seseorang dapat tertular virus polio dari makanan ataupun minuman yang tercemar melalui feses dan biasanya terkait dengan buruknya sanitasi lingkungan.
Terdapat tiga tipe atau tiga strain virus polio, yakni strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan strain-3 (Leon). OPV merupakan vaksin yang dibuat dengan melemahkan virus polio dan memberikan kekebalan terhadap virus polio strain-1 dan strain-3. Sementara IPV merupakan vaksin yang dibuat dengan mematikan virus polio dan memberikan kekebalan terhadap ketiga jenis virus tersebut.
Menurut Hindra, pemerintah perlu mengevaluasi data cakupan vaksin polio di tiap-tiap daerah. Sebab, wilayah yang cakupan imunisasi polionya berada di bawah 50 persen berpotensi memunculkan kasus baru.
”Ini adalah bom waktu. Tinggal menunggu waktu saja nanti akan muncul kasus-kasus baru jika tidak ditangani secara serius,” ujarnya.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes Prima Yosephine Berliana Yumiur Hutapea menyampaikan, kasus polio yang akhir-akhir ini mencuat adalah polio strain-2. Kasus tersebut muncul di daerah kantong atau daerah yang selama ini cakupan vaksinasinya tidak mencapai target, terutama cakupan IPV.
”Kita bersama-sama dengan negara lain menargetkan eradikasi atau pemberantasan penyakit polio pada tahun 2026. Artinya, tidak ada lagi penyakit polio. Salah satu strateginya adalah dengan menggunakan vaksin IPV secara keseluruhan,” kata Prima.
Imunisasi memiliki peran penting dalam kesehatan masyarakat. Tidak hanya memberikan pelindungan terhadap spesifik bagi individu yang diimunisasi, tetapi juga mampu memberikan kekebalan pada kelompok atau komunitas.
Dengan cakupan imunisasi polio minimal 90 persen, kekebalan komunitas akan terbentuk. Walakin, Prima menargetkan cakupan vaksinasi di setiap daerah dapat mencapai 100 persen.
Untuk mencapai target tersebut, menurut Hindra, pemerintah daerah perlu berkolaborasi dalam menuntaskan vaksinasi tersebut. Dengan anggaran daerah serta pengawasan dari dinas kesehatan cakupan vaksinasi dapat terus ditingkatkan.
”Selain itu, sanitasi lingkungan juga perlu diperhatikan. Perilaku buang air besar sembarangan (BABS) dan pemanfaatan air sungai yang tidak higienis menjadi faktor penyebaran berbagai penyakit, termasuk polio,” kata Hindra.
Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Kementerian Kesehatan, 30,16 juta penduduk Indonesia masih BABS. Di Provinsi Jawa Barat, angka Stop BABS-nya baru mencapai 33 persen dan di Provinsi Aceh hanya 15 persen.
Imunisasi rutin lengkap
Pada Pekan Imunisasi Dunia 2023 ini, pemerintah mengusung tema ”Ayo Lindungi Diri, Keluarga, dan Masyarakat dengan Imunisasi Lengkap”. Melalui sambutan yang dibacakan Sekretaris Jenderal P2P Kemenkes Yudhi Pramono, Dirjen P2P Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu berharap orangtua berpartisipasi aktif untuk mencapai status imunisasi rutin lengkap.
”Imunisasi memiliki peran penting dalam kesehatan masyarakat. Tidak hanya memberikan perlindungan spesifik bagi individu yang diimunisasi, tetapi juga mampu memberikan kekebalan pada kelompok atau komunitas. Hal ini dapat diwujudkan dengan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata,” kata Yudhi.
Selama pandemi Covid-19, cakupan imunisasi di Indonesia menurun. Kementerian Kesehatan menyebut, cakupan imunisasi dasar lengkap menurun dari 84,2 persen pada 2020 menjadi 79,6 persen pada 2021.
Oleh sebab itu, pemerintah berusaha mengatasi ketertinggalan tersebut melalui kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional. Namun, pemerintah menilai kesadaran masyarakat terhadap imunisasi masih minim dan sumber daya untuk imunisasi masih terbatas.
”Kami akan mengatasi ketertinggalan cakupan imunisasi anak-anak yang belum lengkap. Pemerintah daerah telah kami berikan surat edaran untuk mendorong anak balita di tiap-tiap daerah guna mendatangi posyandu. Sementara puskesmas kami minta mengatasi ketertinggalan imunisasi anak dengan melakukan skrining terhadap anak,” ujar Prima.
Adapun imunisasi rutin lengkap terbagi menjadi tiga tahap, yakni bagi anak usia 0 sampai 11 bulan, 12 bulan sampai 24 bulan, dan anak usia sekolah dasar. Pada tahap pertama atau imunisasi dasar lengkap, anak akan menerima imunisasi untuk mencegah penularan tuberkulosis, polio, difteri, batuk rejan, hepatitis B, meningitis, pneumonia, serta campak.
Pada tahap selanjutnya atau imunisasi lanjutan, anak menerima imunisasi untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia, meningitis, serta campak dan rubela. Pada tahap selanjutnya, imunisasi diberikan agar anak terhindar dari penyakit campak dan rubela, tetanus, difteri, radang paru, radang selaput otak, radang telinga, diare berat, serta kanker leher rahim.
”Harapan kami, semua vaksin yang termasuk dalam program imunisasi nasional itu bisa mencakup seluruh anak di Indonesia karena vaksin-vaksin tersebut adalah hak anak. Imunisasi harus diberikan secara rutin dan lengkap supaya penyakit-penyakit tidak lagi membebani anggaran untuk membiayai anak-anak yang seharusnya sakitnya bisa dicegah,” ujar Prima.