Bola Salju Menggelinding di Timur Tengah
Kesepakatan Iran-Saudi bukan hanya tentang memudarnya pengaruh AS di Timteng, melainkan juga tentang perubahan mendasar dalam geopolitik kawasan. Diplomasi Iran-Saudi tampaknya akan menjadi ”bola salju” di Timur Tengah.

Ilustrasi
Musim dingin baru berakhir di belahan bumi utara dan salju mulai mencair, tetapi di Timur Tengah ”bola salju” justru mulai menggelinding, dan tampaknya akan jadi longsoran besar (avalanche).
Berita dari Beijing mengenai tercapainya kesepakatan damai antara Iran dan Arab Saudi, yang difasilitasi China, telah menimbulkan gelombang besar (shock wave) di kawasan. Bahkan, dalam dua bulan, kedua negara akan saling membuka kembali kedutaan besarnya di Riyadh dan Teheran. Padahal, kurang dari setahun lalu, perkembangan positif di Timteng seperti baru sekadar ”oase”.
Menurut Maha Yahya dari Carnegie Middle East Center, untuk pertama kali China dinilai telah mengintervensi secara tegas (forcefully) diplomasi Timteng. Apalagi, bola salju ini menggelinding pada saat Amerika Serikat justru tengah berupaya keras mendorong (brokering) pembukaan hubungan diplomatik Saudi-Israel untuk semakin mengisolasi Iran.
Melalui manuver politik ini, China juga dinilai telah melakukan ”kudeta” diplomatik, pada saat hanya sedikit kemajuan terlihat di kawasan kaya dan strategis ini.
Baca juga : Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran Ubah Peta Timur Tengah
Baca juga : Setelah Rujuk dengan Iran, Kini Arab Saudi Berdamai dengan Suriah
Kemenangan Iran dan Saudi
Kesepakatan Beijing, yang menegaskan pentingnya ”menghormati kedaulatan nasional dan tidak akan campur tangan dalam masalah dalam negeri masing-masing”, jelas merupakan kemenangan bagi negeri para mullah dan negara Dua Masjid Suci ini.
Bagi Iran, perdamaian sangat penting, saat ekonominya jatuh (collapsing) akibat sanksi Barat dan mandeknya perundingan nuklir (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA).
Dengan inflasi mencapai 47 persen, disertai rangkaian gelombang protes selama beberapa waktu, kesepakatan ini dengan cepat meningkatkan nilai tukar mata uang Iran (rial) sebesar 21 persen dan 22.000 pemrotes dibebaskan. Juga penting adalah dipulihkannya program ibadah haji bagi warganya setelah selama ini ”dijatah”.
Kemenangan diplomatik China juga dinilai merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi manuver politik AS di kawasan, diimbangi juga dengan membantu Iran mengatasi sanksi ekonomi.
Bagi Saudi, rapprochement dengan Iran akan mendorong penyelesaian konflik di berbagai wilayah dan penting bagi keamanan nasionalnya, terutama di Yaman dan Suriah. Kesepakatan Beijing juga akan membuka pintu dalam diversifikasi kemitraan ekonomi dan keamanan, khususnya ketika dunia akan memasuki masa pasca-hidrokarbon (migas).
Dengan peredaan ketegangan ini, Riyadh bisa lebih fokus pada program implementasi Visi 2030, yang akan menjadikan Saudi hub ekonomi, keuangan, dan turisme kawasan dan internasional. Sementara bagi China—sebagai mitra dagang terbesar, bahkan dibandingkan dengan AS dan Uni Eropa sekaligus—kesepakatan ini memberikan peluang untuk melanjutkan pembangunan pabrik rudal dan kapabilitas militer Saudi.

Dimediasi China, Arab Saudi dan Iran Sepakat Rekonsiliasi
Menurut Yahya, peranan China ini jelas merupakan tamparan (slap in the face) terhadap pemerintahan Presiden Joe Biden yang selama ini ngotot mengupayakan pembukaan hubungan diplomatik Saudi dan Israel. Selama ini AS memberi jaminan keamanan pada Saudi dari ancaman Iran dengan mengembangkan program nuklir sipil dan mengurangi pembatasan penjualan senjatanya.
Sementara Kesepakatan Beijing akan melindungi Saudi dari kemungkinan dampak serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran dan memupus niat Tel Aviv untuk membentuk aliansi kawasan menghadapi Iran. Dan di bidang energi yang amat strategis, Iran dan Saudi sebagai dua negara yang paling berpengaruh akan dapat lebih mudah mengendalikan OPEC, mencegah fluktuasi harga yang tidak terkendali.
Konsekuensi terselubung
Kesepakatan Iran-Saudi bukan hanya tentang memudarnya pengaruh AS di Timteng, melainkan juga tentang perubahan mendasar dalam geopolitik kawasan. Meski masih terlalu dini, cepat atau lambat gaung rekonsiliasi Saudi dan Iran selain melayani kepentingan (serve the interest) kedua belah pihak, juga mencerminkan kejenuhan (fatigue) yang meluas atas konflik di Timteng dan keinginan para aktor kawasan untuk memimpin dan membentuk masa depan Timteng yang aman, damai, dan stabil.
Selain itu, dalam kesepakatan juga tersirat bahwa Saudi tak lagi memberi dukungan (termasuk finansial) pada corong media yang bertujuan menciptakan ketidakstabilan di Iran.
Bagi negara-negara seperti Yaman, Suriah, Palestina, dan Lebanon yang berada di antara kerajaan Sunni dan pusat kekuatan Syiah, pengumuman tersebut membangkitkan optimisme yang hati-hati (cautious optimism) dalam upaya penyelesaian konflik di antara pihak-pihak internalnya.
Kesepakatan Iran-Saudi bukan hanya tentang memudarnya pengaruh AS di Timteng, melainkan juga tentang perubahan mendasar dalam geopolitik kawasan.
Perjanjian damai ini menyiratkan ”kewajiban” Iran dan Saudi untuk mendorong penyelesaian konflik di negara-negara itu dengan meyakinkan pihak yang bertikai untuk memulai dialog dan negosiasi langsung.
Yang pertama, di Yaman, antara kelompok milisi Anshar Allah (Houthi) yang de facto berkuasa sejak 2014 dan pemerintah de jure di pengasingan (Riyadh). Sementara itu, Saudi juga dituntut untuk membubarkan pasukan koalisi pimpinannya yang dibentuk pada 2015 guna menundukkan pasukan Houthi.
Kedua, di Suriah, antara pemerintah Presiden Assad yang didukung Teheran dan kelompok oposisi yang didukung Riyadh. Kini terbuka kemungkinan Presiden Assad akan diundang menghadiri KTT Ke-32 Liga Arab mendatang di Saudi, dan Menlu Saudi Faisal bin Farhan berkunjung ke Damaskus, yang akan mengakhiri isolasi (suspension) Suriah di organisasi ini sejak 2011.
Ketiga, di Lebanon, kelompok Hezbollah pro-Iran diharapkan lebih dapat dikendalikan oleh Teheran demi terciptanya pemerintahan yang all inclusive, kuat, dan stabil di Beirut.
Keempat, dalam masalah internal Palestina, yang terpusat pada friksi antara kelompok Fatah dukungan Arab Saudi di Tepi Barat dan Hamas di Gaza, dukungan Iran, yang menjadi penyebab utama gagalnya inisiatif-inisiatif damai yang pernah diajukan, termasuk Perjanjian Oslo 1993.
Di lain pihak, bagi Israel, kesepakatan tersebut memberikan pukulan simbolis (symbolic blow) kepada Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, yang telah menjadikan ancaman yang ditimbulkan oleh Teheran sebagai prioritas diplomasi publik dan perang pribadinya (personal crusade).
Yair Lapid, mantan PM dan kepala oposisi Israel, menyebutnya sebagai ”kegagalan penuh dan berbahaya dari kebijakan luar negeri pemerintah Israel”, serta ”This is what happens when you deal with legal madness all day instead of doing the job with Iran…” tulisnya di Twitter (AP, 12/3/2023).

Setelah rujuk dengan Qatar dan Iran, Arab Saudi kini berusaha memulihkan hubungan dengan Suriah.
Fenomena ”black swan”
”Kehebohan” yang muncul akibat rapprochement Iran-Saudi yang terkesan mendadak dan kegegeran yang ditimbulkannya sejalan dengan fenomena Angsa Hitam yang dicetuskan oleh Nassim Nicholas Taleb, dalam bukunya yang terkenal The Black Swan: The Impact of the Higly Improbable (2007).
Thaleb terinspirasi oleh penjelajah Belanda yang melakukan perjalanan ke Australia Barat pada 1697 yang merupakan orang Eropa pertama yang melihat angsa hitam yang sangat langka ini. Menurut Thaleb, fenomena angsa hitam intinya adalah peristiwa yang langka sehingga tak dapat diprediksi.
Fenomena angsa hitam memiliki tiga komponen, yaitu peristiwa terjadi di luar ekspektasi karena tidak dapat diperhitungkan; membawa dampak/konsekuensi yang luas; dan kemudian muncul penjelasan setelah peristiwa terjadi.
Kesepakatan damai ini akan membalikkan situasi geopolitik di Timteng karena ”ini merupakan pukulan terhadap gagasan dan upaya Israel dalam beberapa tahun terakhir untuk mencoba membentuk blok anti-Iran di kawasan itu,” kata Yoel Guzansky dari Institute for National Security Studies, sebuah think tank Israel.
”Jika melihat Timteng sebagai permainan zero-sum, yang dilakukan Israel dan Iran, kemenangan diplomatik untuk Iran adalah berita yang sangat buruk bagi Israel,” demikian disebutkan. Perjanjian Beijing yang dinegosiasikan untuk memulihkan hubungan Saudi-Iran mengisyaratkan penataan ulang sementara dari aliansi dan persaingan yang biasa, dengan meninggalkan Washington di pinggir lapangan (side lines) (New York Times, 11/3/2023).
Sementara di Ukraina, AS semakin terperosok dalam perang yang berkepanjangan; dan di kawasan rapuh Timteng, China justru menikmati kelezatan kurma yang ditanamnya beberapa waktu lalu. Proses perdamaian Timteng masih panjang, tetapi sangat bijak Ratu Rania dari Jordania yang mengatakan, ”To achieve a lasting peace in the Middle East takes guts, not guns”.
Angsa hitam yang langka memang tak bisa diprediksi, tetapi ”bola salju” yang menggelinding membawa perubahan geopolitik di Timteng tentunya dapat diperkirakan dampaknya.
Angsa hitam yang langka memang tak bisa diprediksi, tetapi ”bola salju” yang menggelinding membawa perubahan geopolitik di Timteng tentunya dapat diperkirakan dampaknya. Berbondong-bondong negara akan datang untuk memanfaatkan peluang baru dalam kerja sama ekonomi, investasi, dan energi.
Dalam konteks global, avalanche ini mungkin sedang melanda AS karena, selain urusan Ukraina, ada persoalan Taiwan, Semenanjung Korea, dan kini ditambah perdamaian Iran- Arab Saudi.
Bagi Indonesia yang sedang berkutat dengan transisi energi dan pengimpor signifikan migas, dan dalam beberapa dasawarsa mendatang masih akan bergantung pada energi karbon, kesepakatan Iran-Saudi ini sangat krusial. Sebagai sahabat kedua negara utama sumber migas itu, tentunya Indonesia perlu segera berbenah untuk memanfaatkan peluang ini agar jangan sampai ketinggalan kereta lagi, seperti ketika JCPOA tercapai pada 2015.
Dian Wirengjurit,Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional, Duta Besar RI untuk Iran (2012-2016)

Dian Wirengjurit