Setelah Rujuk dengan Iran, Kini Arab Saudi Berdamai dengan Suriah
Setelah hubungan mereka membeku selama lebih dari satu dasawarsa, Arab Saudi dan Suriah memulihkan relasi kedua negara. Upaya pemulihan hubungan itu merupakan bagian dari konsensus bangsa-bangsa Arab.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
RIYADH, JUMAT — Setelah rujuk dengan Qatar dan Iran, Arab Saudi kini berusaha memulihkan hubungan dengan Suriah. Rangkaian pemulihan hubungan di kalangan bangsa-bangsa Timur Tengah ini terjadi kala kesepakatan damai Arab-Israel semakin tidak jelas perkembangannya.
Dalam laporan, Kamis (23/3/ 2023) malam waktu Riyadh atau Jumat dini hari WIB, televisi Al-Ekhbariya mengungkap pembicaraan Riyadh-Damaskus telah dimulai. Arab Saudi dan Suriah akan kembali membuka kantor layanan konsuler di kantor perwakilan diplomatik masing-masing.
Mengutip pejabat Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, Al-Ekhbariya melaporkan, upaya pemulihan hubungan itu bagian dari konsensus bangsa-bangsa Arab. Sebelumnya, Menlu Arab Saudi Faisal bin Farhan mengakui, isolasi dunia Arab terhadap Suriah tidak berguna. Dunia Arab sadar, dialog dengan Suriah harus dilakukan. Setidaknya, dialog untuk membahas isu kemanusiaan.
Liga Arab menangguhkan keanggotaan Suriah sejak perang saudara di Suriah meletus pada 2011. Sebagian anggota Liga Arab mendukung oposisi Suriah melawan pemerintahan Bashar al-Assad. Adapun Iran—bukan anggota Liga Arab—bersama Rusia mendukung Assad.
Pernyataan Riyadh disampaikan beberapa hari setelah Assad bertandang ke Uni Emirat Arab. Sebelumnya, Assad juga menyambangi Oman. Sejumlah pejabat negara anggota Liga Arab juga sudah mendatangi Suriah dan diterima Assad.
Saudi-Iran
Laporan Al-Ekhbariya disiarkan sehari setelah Faisal menelepon Menlu Iran Hossein Amirabdollahian. Faisal dan Amirabdollahian saling mengucapkan selamat berpuasa. Mereka, seperti dilaporkan IRNA dan Tasnim, juga sepakat untuk segera bertemu secara langsung dan menindaklanjuti pemulihan hubungan kedua negara.
Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran setelah Kedutaan Besar Arab Saudi untuk Iran dirusak massa pada 2016. Pada Maret 2023, kedua produsen utama minyak itu sepakat berdamai. China, Irak, dan Oman bekerja sama menjadi penengah dua bangsa terkuat di kawasan tersebut.
Bahkan, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dilaporkan telah mengundang Presiden Iran Ebrahim Raisi mengunjungi Arab Saudi. Kemenlu Iran menyebut, Raisi setuju memenuhi undangan Raja Salman dalam waktu yang akan disepakati kemudian. Sejumlah pihak berspekulasi, Raisi akan menjadi tamu negara Arab Saudi dalam musim haji tahun ini.
Faisal mengatakan, pemulihan hubungan dengan Teheran tidak berarti Riyadh menganggap semua masalah Arab Saudi-Iran selesai. Pemulihan itu justru bagian dari upaya menyelesaikan berbagai masalah di antara kedua negara. Pemulihan itu menandakan kedua bangsa sama-sama ingin mencari jalan tengah dan solusi atas perbedaan di antara mereka.
Dosen pada Naif Arab University for Security Sciences Saleh Mohammed al-Malik mengatakan, pemulihan hubungan Riyadh-Teheran bagus bagi kawasan. Stabilitas kawasan bisa lebih terjamin karena kini Iran tidak merasa lagi dimusuhi oleh salah satu tetangga terkuatnya.
”Tidak diragukan lagi, kesepakatan ini akan penting bagi kestabilan perekonomian dan keamanan kerajaan serta kawasan,” ujar Malik, pensiunan jenderal angkatan bersenjata Arab Saudi, kepada Arab News.
Kesepakatan Ibrahim
Sementara itu, hubungan bangsa-bangsa Arab dengan Israel semakin tak jelas perkembangannya. Hampir 2,5 tahun sejak Kesepakatan Ibrahim diteken UEA, Bahrain, Maroko, Sudan, dan Israel, perkembangannya justru melambat.
Sampai sekarang, tidak ada lagi tambahan negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang menjalin hubungan resmi dengan Israel. Bahkan, Oman dan Qatar yang sebenarnya tetap berhubungan dengan Israel pun menolak meresmikan hubungan itu.
Pada 2022, memang ada kejutan-kejutan, antara lain berupa pertemuan di Gurun Negev. Pertemuan itu dihadiri para menlu penandatangan Kesepakatan Ibrahim. Selain itu, Israel untuk pertama kalinya ikut latihan perang dengan negara-negara Arab. Pesawat Israel juga diizinkan melintas di wilayah udara Arab Saudi.
Namun, perkembangan di Israel membuat minat Timur Tengah dan komunitas internasional pada Kesepakatan Ibrahim terus menurun. Pemerintahan Benjamin Netanyahu semakin keras terhadap bangsa Palestina dan warga Israel keturunan Arab.
Perkembangan di Israel membuat minat Timur Tengah dan komunitas internasional pada Kesepakatan Ibrahim terus menurun.
”Israel kini lebih berbahaya bagi Palestina dibandingkan beberapa tahun lalu. Bukan karena Kesepakatan Ibrahim, melainkan karena perubahan internal di Israel yang didominasi sayap kanan. Pemerintahan Israel semakin terbuka menyanggah keberadaan Palestina,” kata mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Palestina Ghassan Khatib.
Kelompok ekstrem kanan dan ultranasionalis Israel semakin terbuka menunjukkan permusuhan atau setidaknya ketidaksukaan kepada bangsa Arab. Sejumlah pejabat di pemerintahan Netanyahu secara terbuka mendukung kekerasan oleh pemukim Yahudi terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Akibatnya, bangsa-bangsa Arab ragu untuk berhubungan dengan pemerintahan Israel di bawah Netanyahu.
”Israel tidak memanfaatkan kesepakatan itu untuk memperbaiki hubungan dengan kawasan. Israel kini malah terkesan bisa melakukan apa pun atas Palestina,” kata mantan pejabat Kemenlu Israel, Alon Liel.
Dalam jajak pendapat Washington Institute for Near East Policy terungkap, hanya 26 persen warga UEA mengganggap ada dampak positif Kesepakatan Ibrahim pada kawasan. Pelancong dari UEA, Bahrain, dan Maroko amat sedikit mendatangi Israel. Sebaliknya, justru pelancong dan pebisnis Israel rajin mendatangi tiga negara itu.
Bagi bangsa-bangsa Timur Tengah dan Afrika Utara, persoalan Palestina adalah masalah pokok yang harus diselesaikan. Para pemimpin negara-negara di kawasan tidak mau mengabaikan aspirasi warga mereka atas persoalan tersebut.
Apalagi, Arab Saudi tidak kunjung mengubah sikapnya terhadap Israel. Riyadh berkeras hubungan dengan Israel harus didasarkan pada Inisiatif Perdamaian Arab. Hal itu berarti kemerdekaan Palestina dengan ibu kota di Jerusalem Timur menjadi syarat mutlak. Padahal, kini pemerintahan Netanyahu semakin menyangkal kedua hal itu. (AFP/REUTERS)