Kontroversi Rangkap Jabatan
Rangkap jabatan kerap memunculkan konflik kepentingan. Rangkap jabatan menyalahi aturan, berpotensi mendistorsi pengambilan keputusan, dan menghasilkan konsekuensi yang bisa merusak kredibilitas pelaku dan organisasi.

Ilustrasi
Sebagaimana dikutip harian Kompas (9/3/2023), Kementerian Keuangan atau Kemenkeu menyatakan bahwa rangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN yang dilakukan para pejabat Kemenkeu tidak menyalahi aturan.
Hal itu sudah diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU BUMN bahwa Menteri Keuangan dan jajarannya harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan milik negara. Terlebih, Kemenkeu berperan sebagai pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholder).
Rangkap jabatan jelas menyalahi aturan. Kajian Ombudsman RI, pada 2020 terdapat 397 perangkapan jabatan pejabat publik sebagai komisaris BUMN. Sebanyak 254 berasal dari kementerian, 112 dari lembaga nonkementerian, dan 31 berasal dari akademisi.
Pandangan Kemenkeu mengenai rangkap jabatan, menurut saya, bisa saja merupakan salah kira atas maksud pembuat peraturan (zelfstandingheid der zaak), salah kira atas hak orang atau badan hukum lain (dwaling in een subjetieve recht), salah kira atas makna suatu ketentuan (in het een objectieve recht), dan salah kira atas wewenang sendiri (dwaling in eigen bevoegheid).
Baca juga : Wapres Amin: Rangkap Jabatan Tak Masalah jika Ada Izin Presiden
Baca juga : Rangkap Jabatan di Ranah Penegak Hukum Perlu Diatur Ulang agar Cegah Korupsi
Pemegang saham pengendali terakhir
Secara lini masa, UU No 17/ 2003 (Keuangan Negara) dan UU No 19/2003 (BUMN) berurut-urutan diterbitkan pada 5 April 2003 dan 19 Juni 2003.
Namun, perlu diingat, pada 14 Juli 2003, terbit PP No 41/ 2003 yang melimpahkan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menkeu pada BUMN perseroan dan BUMN perusahaan umum kepada Menteri BUMN.
Melalui PP ini, Menteri BUMN mewakili pemerintah selaku pemegang saham atau rapat umum pemegang saham pada BUMN perseroan dan wakil pemerintah pada perusahaan umum. Satu-satunya kewenangan yang masih dimiliki Menkeu adalah dalam pengusul -an dan penatausahaan modal.
Argumentasi ”Menkeu adalah pemegang saham pengendali terakhir”, melahirkan pertanyaan yang lahir dari pernyataan Menteri BUMN bahwa ”melalui program holdingisasi BUMN, jumlah BUMN berkurang dari 142 BUMN menjadi hanya 41 BUMN”, ditandai dengan luruhnya prefix (perseroan) pada nama perusahaan, dan tak lagi dijadikannya UU BUMN sebagai rujukan pada Anggaran Dasar BUMN Perseroan.
Vis-a-vis yang disebut holdingisasi adalah privatisasi. Masalahnya, justru Menkeu tak melaksanakan tugasnya dalam penatausahaan modal, dalam hal ini holdingisasi cum privatisasi.
Pada khazanah perundang-undangan Indonesia terdapat tujuh UU yang eksplisit dan tegas melarang perangkapan jabatan, dan empat UU yang eksplisit melarang perangkapan jabatan, melalui pendekatan pelarangan konflik kepentingan dan hubungan afiliasi.

Konflik kepentingan dalam bentuk sederhana, yang sering kali dikerjakan tanpa disadari oleh si pelaku atau dianggap sebagai kelaziman, adalah menggunakan fasilitas negara atau perusahaan (office supplies, telepon, internet, mobil dinas), dan penggunaan waktu kerja untuk keperluan pribadi.
Konflik kepentingan telah menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan (Moore, Tanlu, dan Bazerman, 2010). Konflik kepentingan memengaruhi proses berpikir (kognitif) melalui dua cara berbeda: sadar dan bawah sadar (self-interest).
Ketika terjadi dilema moral, itu manusiawi karena memang sifatnya, seseorang akan lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama yang jadi tujuan organisasi. Pilihan moral ini dilakukan tidak dalam kondisi steril, tetapi merupakan bagian dari interaksi sosial yang melahirkan nomina ”kolusi” dan ”nepotisme”. Keputusan yang diambil didasari motif interaksi sosial, seperti menunjukkan kesetiaan, mempertahankan kepercayaan, atau balas budi (Moore dan Loewenstein, 2004).
Konflik kepentingan merupakan masalah signifikan karena memengaruhi etika dengan mendistorsi pengambilan keputusan dan menghasilkan konsekuensi yang bisa merusak kredibilitas pelaku dan organisasi.
Cossin dan Lu (2017) mengelompokkan konflik kepentingan menjadi empat tier. Perangkapan jabatan komisaris BUMN oleh pejabat eselon 1 dan wakil menteri adalah konflik kepentingan tier-I, konflik aktual atau potensial antara sang perangkap dengan instansi asal (kementerian/badan publik). Konsepnya sederhana: seorang direktur tak boleh mengambil keuntungan pribadi dari posisinya.
Jika para pejabat eselon 1 merangkap sebagai komisaris karena Kemenkeu adalah ultimate shareholder BUMN dan mereka ini menjalankan tugas pengawasan BUMN, seharusnya honorarium dan tantiem yang diperolehnya disetorkan ke kas negara, bukan masuk rekening pribadi.
Jika para pejabat eselon 1 merangkap sebagai komisaris karena Kemenkeu adalah ultimate shareholder BUMN dan mereka ini menjalankan tugas pengawasan BUMN, seharusnya honorarium dan tantiem yang diperolehnya disetorkan ke kas negara, bukan masuk rekening pribadi. Masuknya pendapatan honorarium dan tantiem ke rekening pribadi merupakan indikasi awal atau red flag bahwa dengan rangkap jabatan, pejabat itu mendapatkan keuntungan personal dari beberapa paket remunerasi dan kompensasi.
Selain 11 UU, juga terdapat beberapa PP yang eksplisit melarang rangkap jabatan. Salah satunya PP No 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Ayat 2 Pasal 49 PP menyatakan, ”Anggota Dewan Pengawas dapat terdiri dari unsur-unsur pejabat di bawah Menteri Teknis, Menteri Keuangan, Menteri dan pimpinan departemen/lembaga nondepartemen yang kegiatannya berhubungan langsung dengan Perum”.
Berdasarkan argumentum a contrario, ketentuan ini hanya berlaku bagi BUMN perusahaan umum yang organ pengawasannya disebut dewan pengawas sehingga bagi BUMN perseroan yang organ pengawasannya disebut dewan komisaris (bukan dewan pengawas), dewan komisaris justru dilarang berasal dari unsur-unsur pejabat di bawah menteri teknis, Menkeu, atau menteri dan pimpinan departemen/lembaga nondepartemen.
Bahkan, dalam isu perangkapan jabatan dalam satu organisasi pemerintahan berlaku PP No 11 /2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang melarang jabatan fungsional merangkap jabatan sebagai pejabat administrasi.
Jangan lupa, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption melalui UU No 7/2006 yang di dalamnya mengandung nomina conflict of interest, trading influence, abuse of function, hingga asset concealment. Pada konvensi ini, bahkan pejabat publik, yang karena pensiun atau mengundurkan diri, baru boleh menduduki jabatan apa pun di operator industri setelah melalui masa cooling-off.

Diskusi hasil studi kasus terkait konflik kepentingan dalam rangkap jabatan aparat penegak hukum di Jakarta, Selasa (28/2/2023). Polri menduduki posisi kedua dan masuk lima besar instansi nonkementerian di ranah penegak hukum yang melakukan rangkap jabatan terbanyak.
Konflik kepentingan
Perangkapan jabatan komisaris oleh pejabat publik, terlebih pejabat eselon 1, pasti melahirkan konflik kepentingan!
Dari yang sederhana, mulai dari mencuri waktu kerja, menggunakan fasilitas kementerian, sampai yang agak rumit (tetapi tetap bisa dibuktikan) adalah dagang pengaruh (trading influence). Rangkap jabatan para pejabat kementerian/nonkementerian sebagai komisaris BUMN melahirkan hubungan afiliasi dan selanjutnya komisaris yang bersangkutan akan bekerja in favor of (lebih berpihak ke) BUMN.
Dalam kondisi ini, loyalitas seorang pejabat kementerian/nonkementerian yang merangkap jabatan komisaris BUMN memiliki peringkat dan prioritas, mana yang dinomorsatukan dan mana yang dinomorduakan: tugasnya sebagai pejabat di instansi asal atau sebagai komisaris di BUMN.
Terdapat potensi terjadinya rembesan informasi (inside information) dari instansi asal (sebagai regulator dan pengawas industri) kepada BUMN (sebagai operator industri), atau bahkan sebaliknya, BUMN tempat yang bersangkutan merangkap jabatan memerlukan dibuatkan satu regulasi khusus yang in favor of BUMN, maka komisaris yang bersangkutan dalam kedudukannya di kementerian bisa saja mengusulkan pembuatan regulasi yang in favor of BUMN tersebut.
Jika nomina trading influence dan favoured entity sulit dicerna, isu perangkapan jabatan komisaris pada beberapa perusahaan operator jalan bebas hambatan oleh beberapa pejabat Badan Pengatur Jalan Tol adalah contoh baik untuk sesuatu yang tidak baik.
Berdasarkan ciri-ciri theoretical (Pietro Manzella, 2019) ataupun ciri-ciri practical dari kasus perangkapan jabatan, bisa dilihat bahwa rangkap jabatan pejabat publik sebagai komisaris BUMN, beberapa—bahkan di swasta—tidak masuk kategori penugasan, tetapi moonlighting (bekerja di dua lembaga berbeda) belaka.
Shalahuddin Haikal, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI; Pemerhati Isu ”Fraud”