Tren Belanja Barang Bekas dan Pola Konsumsi Ramah Lingkungan
Berbelanja barang bekas bukan saja menghemat sumber daya serta mengurangi emisi CO2 lantaran kita telah ikut mengurangi pembuatan produk-produk baru, melainkan juga mendorong ekonomi sirkular.
Oleh
R WULANDARI
·3 menit baca
Bukan hanya menghemat uang, berbelanja barang-barang bekas juga mendorong terciptanya pola konsumsi berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan.
Tren belanja barang bekas atau thrifting, terutama di bidang pakaian, semakin meningkat akhir-akhir ini. Keberadaan sejumlah web dan aplikasi penyedia thrifting makin menyuburkan bisnis ini. Ada yang memperkirakan bahwa pasar pakaian bekas global bakal tumbuh tiga kali lebih besar pada 2026.
Thrifting berasal dari kata thrift. Cambridge Dictionary mendefinisikannya sebagai the careful use of money, especially by avoiding waste and saving money for the future. Adapun Webster Dictionary memberi definisi sebagai careful management especially of money. Jadi, intinya, thrifting adalah kehati-hatian dalam membelanjakan uang. Dengan begitu, kita dapat menghemat dan menghindari pemborosan.
Berbelanja barang-barang bekas (pakai) sudah barang tentu dapat menghemat uang. Pasalnya, harga barang-barang bekas umumnya lebih miring dibandingkan dengan harga barang-barang barang baru yang masih gres.
Membeli barang-barang bekas sesungguhnya bukan hanya dapat menghemat uang kita, melainkan juga dapat menghemat sumber daya yang pada gilirannya ikut mengurangi tingkat kerusakan lingkungan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Produk baju dari kain perca dan baju lama yang didaur ulang di stan kegiatan kampanye pemanfaatan kembali kain dan baju bekas bertajuk Barang Lama Bersemi Kembali yang diselenggarakan Setali di Mall Astha, SCBD, Jakarta, Jumat (17/6/2022),
Mari kita bayangkan betapa banyaknya sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat produk-produk baru. Untuk menghasilkan pakaian, misalnya, kita perlu lahan untuk menanam kapas, kita juga membutuhkan air untuk menyiraminya. Belum lagi pestisida untuk mengusir hama kapas. Lalu, kita membutuhkan bahan bakar untuk mengangkut kapas.
Begitu juga ketika kapas itu mulai diproses agar menjadi benang dan kain hingga akhirnya menjadi pakaian dan sampai ke tangan para konsumen, semua prosesnya membutuhkan sumber daya. Semakin banyak produk baru yang kita buat dan kita gunakan, semakin banyak sumber daya yang kita butuhkan, dan semakin besar polusi yang kita hasilkan.
Ambil contoh, dalam sektor tekstil. Menurut Johnsen (2019), produksi tekstil menyumbang 10 persen dari total emisi karbon global, setara dengan yang dihasilkan Uni Eropa. Selain itu, juga menyedot banyak sumber air bersih dan mencemari sungai. Bahkan, sekadar mencuci pakaian, kita bisa melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahun, setara dengan 50 miliar botol plastik.
Semakin banyak produk baru yang kita buat dan kita gunakan, semakin banyak sumber daya yang kita butuhkan dan semakin besar polusi yang kita hasilkan.
Laporan Quantis International 2018, seperti dikutip laman Earth.org, menemukan bahwa tiga pendorong utama dampak polusi global dari industri tekstil adalah proses pewarnaan dan finishing (36 persen), penyiapan benang (28 persen), dan produksi serat (15 persen). Laporan tersebut juga menyimpulkan bahwa produksi serat memiliki dampak terbesar pada pengambilan air bersih dan kualitas ekosistem karena proses budidaya kapas, sedangkan tahap pencelupan dan finishing, penyiapan benang, serta produksi serat memiliki dampak tertinggi pada penipisan sumber daya karena proses intensif energi yang berbasis bahan bakar fosil.
Menurut Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim, emisi dari manufaktur tekstil saja diproyeksikan akan meroket hingga 60 persen pada 2030.
Oleh sebab itu, dengan memilih berbelanja barang-barang bekas, termasuk pakaian, kita setidaknya ikut menghemat sumber daya serta mengurangi emisi CO2 lantaran telah ikut mengurangi pembuatan produk-produk baru.
Di sisi lain, aktivitas berbelanja barang bekas turut pula mendorong ekonomi sirkular. Kita sama-sama ketahui, berbagai aktivitas ekonomi kita selama ini telah ikut berkontribusi bagi kian memburuknya kualitas lingkungan. Limbah ataupun polusi adalah dua di antara sekian dampak negatif yang dihasilkan oleh beragam aktivitas ekonomi kita.
Selama ini, kita melakukan aktivitas ekonomi secara linear, dengan mengadopsi pola ABB (ambil, buat, dan buang). Sumber daya alam diekstraksi secara besar-besaran, diproses, dan digunakan, untuk kemudian berakhir sebagai limbah.
Nah, lewat penerapan model ekonomi sirkular, hal tersebut coba kita ubah. Barang-barang yang telah produksi dan kita gunakan tidak langsung kita buang begitu saja sebagai limbah. Namun, bisa digunakan kembali. Salah satunya adalah lewat aktivitas thrifting. Ini, seperti telah disebutkan di muka, pada gilirannya akan berkontribusi bagi peningkatan kualitas lingkungan.
Salah satu kajian menyebutkan bahwa dengan menerapkan ekonomi sirkular kita dapat menghindari pemborosan dan menghemat hingga mendekati 5 triliun dollar AS per tahun. Di saat yang sama, kita juga memiliki peluang lebih besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan.
Dalam salah satu karyanya berjudul How to Build a Circular Economy, David McGinty (2020) mengatakan bahwa, selain mengurangi konsumsi, langkah penting lain dalam membangun ekonomi sirkular adalah berperilaku bijak dalam mengonsumsi. Kita, katanya, perlu lebih bijak dalam melakukan aktivitas konsumsi kita dengan cara lebih selektif dalam memutuskan apa-apa yang akan kita konsumsi atau kita gunakan. Misalnya, daripada kita membeli barang baru dan mahal, kita dapat saja membeli barang bekas, tetapi masih bagus dan masih berfungsi baik dengan harga lebih murah.
Dengan mempertimbangkan dampak positifnya bagi lingkungan, aktivitas thrifting seyogianya perlu terus dipromosikan. Ini untuk menumbuhkembangkan perilaku konsumsi yang bijak dan berkelanjutan, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi sirkular.