Refleksi Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum
Pemberitaan media tentang peristiwa kekerasan MDS pada CDO dipandang sebagai partisipasi publik/media mengawal penanganan ABH agar sesuai aturan hukum. Media dan aparat perlu memiliki perspektif tentang penanganan ABH.
Setelah tersedot ke perkara FS, kini perhatian publik terarah ke perkara MDS vs CDO dan AG. Pada perkara FS, relasi kuasa tampak pada hubungan atasan dan bawahan. Pada perkara MDS, relasi kuasa tergambar pada relasi anak pejabat dan orang biasa.
Menurut hukum perlindungan anak, perkara MDS merupakan contoh perkara anak berhadapan dengan hukum (ABH), di mana CDO (korban) dan AG (pelaku pembantu) adalah anak, yaitu orang berusia di bawah 18 tahun.
Refleksi berguna untuk perbaikan penanganan ABH ke depan, menuju pemenuhan hak anak korban dan anak pelaku, serta tumbuh kembang ABH secara baik di kemudian hari. Berdasarkan pengalaman LPSK menangani ratusan anak korban, sejumlah hal berikut patut dijadikan perhatian bersama: privasi anak, perspektif korban, koordinasi, dan kolaborasi.
Privasi anak
Masih ada (beberapa) media memberitakan perkara di atas dengan menyebut secara lengkap nama CDO dan AG. Juga menyebut secara gamblang afiliasi sekolah dan/atau tempat tinggal keduanya. Tentu saja ini tak sesuai dengan perlindungan privasi ABH dan dapat menyulitkan perkembangan anak di masa depan. Sesungguhnya privasi ABH telah diatur di banyak regulasi dan menghendaki kita patuhi bersama tanpa kecuali.
Baca juga: Melindungi Anak dan Masa Depan Kita
Privasi sebagai bagian dari hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh semua pihak. Tujuan menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya adalah agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Privasi meliputi juga kerahasiaan identitas. UU No 31/2014 sebagai induk regulasi perlindungan saksi dan korban di Indonesia mengatur korban tindak pidana berhak atas kerahasiaan identitas dan atas identitas baru. Apabila korban tindak pidana adalah anak, UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak mengatur perlindungan khusus bagi ABH dilakukan antara lain melalui penghindaran publikasi atas identitasnya.
Berdasarkan UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), ABH meliputi anak yang jadi korban tindak pidana dan anak yang melakukan tindak pidana. Pasal 3 (i) dan 19 UU ini menentukan anak berhak tak dipublikasikan identitasnya dalam proses peradilan pidana, dan identitas ABH wajib dirahasiakan dalam pemberitaan media cetak dan elektronik.
Kerahasiaan identitas anak yang diduga melakukan tindak pidana dijamin pula dalam UU Pers. Pasal 7 (2) UU No 40/1999 tentang Pers mengatur bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 5 KEJ mengatur bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Yang dimaksud identitas adalah semua data dan informasi menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Pasal 17 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No 01/P/ KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran mengatur bahwa penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan. Ini meliputi juga siaran tentang kekerasan fisik dan melarang mengekspose identitas korban.
Pemberitaan media tentang peristiwa kekerasan MDS pada CDO dapat dipandang sebagai partisipasi publik/media mengawal penanganan ABH agar sesuai rule of the game-nya. Masih perlu ditingkatkan literasi media soal perlunya memperhatikan privasi ABH dalam pemberitaan. Atau peningkatan peran Dewan Pers dalam mengawal pelaksanaan KEJ dan KPI dalam memastikan pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran.
Perspektif korban
Perspektif aparat tentang penanganan ABH sungguh penting sebab perspektif akan mengarahkan sikap dan tindakan. Perspektif tentang the best interest principle of the child atau kepentingan terbaik bagi anak sebaiknya terus diasah, diingat, dan dipraktikkan.
UU Perlindungan Anak dan UU No 11/2012 mewanti-wanti tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi aparat berperspektif anak yang meliputi penyidik anak, penuntut umum anak, hakim anak, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial, pendamping, advokat, bahkan aparat instansi yang menangani fasilitasi kesehatan untuk publik, termasuk untuk anak korban.
UU No 11/2012 menentukan persyaratan untuk menjadi aparat SPPA meliputi, antara lain, punya minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Yang dimaksud pelatihan teknis adalah diklat terpadu minimal 120 jam (vide Pasal 26 Ayat 3, Pasal 41 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (2), dan 92 Ayat (2) UU SPPA). Sudah saatnya untuk menambahkan materi tentang anak korban dalam diklat terpadu ini agar perspektif tentang korban menjadi kian nyata atau kuat dimiliki aparat.
Perspektif tentang korban dapat menjadi solusi untuk menemukan makna yang tepat atas norma regulasi yang kurang sinkron tentang fasilitasi kesehatan untuk korban kekerasan.
Perspektif tentang korban dapat menjadi solusi untuk menemukan makna yang tepat atas norma regulasi yang kurang sinkron tentang fasilitasi kesehatan untuk korban kekerasan. Di satu sisi, kita mempunyai Pasal 90 UU SPPA, yang menentukan bahwa anak korban kekerasan, termasuk kekerasan fisik seperti CDO dalam perkara di atas, punya hak atas rehabilitasi medis.
Kita juga memiliki Pasal 6 Ayat (1) UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menentukan (anak) korban penganiayaan berat berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Namun, di sisi lain, kita juga punya Perpres No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya Pasal 52 Ayat (1) yang menentukan bahwa pelayanan kesehatan yang tak dijamin meliputi, antara lain, pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang. Jadi, korban penganiayaan dan korban kekerasan seksual tidak dijamin pelayanan kesehatannya oleh perpres tersebut.
Sesungguhnya, Jaminan Kesehatan dalam perpres di atas banyak manfaatnya. Namun, sayang sekali manfaatnya dikecualikan untuk sekelompok orang yang menjadi korban tindak pidana, yang sesungguhnya sangat membutuhkannya. Menurut hierarki, perpres tidak boleh bertentangan dengan UU. Ketidaksinkronan regulasi itu dapat dibereskan melalui amendemen atau judicial review.
Koordinasi dan kolaborasi
Di zaman kini, koordinasi dan kolaborasi antarinstansi terkait merupakan sebuah keniscayaan. Di tengah sumber daya yang terbatas di instansi, koordinasi dan kolaborasi adalah pilihan rasional dan bijak.
Semua demi terwujudnya penanganan ABH yang prima, yaitu penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan, dan pemenuhan hak-hak lain sesuai amanat UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Koordinasi dan kolaborasi adalah jembatan untuk sharing sumber daya di antara beberapa instansi terkait. Di provinsi dan atau kabupaten/kota besar tertentu, mungkin sumber daya bukan jadi persoalan. Namun, Indonesia bukan hanya provinsi dan/atau kabupaten/kota yang maju, melainkan meliputi juga yang belum/tidak maju.
Di zaman kini, koordinasi dan kolaborasi antarinstansi terkait merupakan sebuah keniscayaan.
Dalam konteks itulah koordinasi dan kolaborasi bisa jadi jembatan berbagi sumber daya antara instansi pusat dan daerah, atau antarinstansi di daerah, untuk penanganan ABH. Di beberapa daerah, untuk mewujudkan koordinasi dan kolaborasi, dibentuk wadah yang permanen ataupun ad hoc.
Di Yogyakarta dibentuk Forum Perlindungan Korban Kekerasan yang beranggotakan perwakilan beberapa instansi, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, rumah sakit, kepolisian, dan kejaksaan.
Di tempat lain digelar case conference, yaitu konferensi/ meeting bersama dihadiri wakil instansi terkait, untuk bersama-sama menangani kasus konkret yang pelik dan/atau mengundang perhatian publik. Tujuannya, mengoordinasikan penanganan perkara agar sinergis: siapa melakukan apa, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, dan sebagainya.
Antonius PS Wibowo Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban