Terungkapnya kasus prostitusi anak, bahkan berulang di lokasi yang sama, mengindikasikan bahwa Indonesia sudah masuk darurat prostitusi anak. Perlu terobosan hukum dan kepedulian masyarakat untuk mencegah kasus terulang.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Terungkapnya kasus prostitusi anak, meski setiap tahun selalu ada kasus baru yang terungkap, mengejutkan kita. Apalagi, kasus itu terjadi di lokasi yang sama.
Pada 16 Maret 2023, polisi mengungkap praktik prostitusi yang melibatkan lima anak perempuan di Gang Royal. Ini bukan kali pertama, pada Januari 2020 dua kali polisi mengungkap praktik prostitusi di Gang Royal yang melibatkan anak-anak perempuan (Kompas, 23/3/2023).
Kasus serupa tidak hanya terjadi di Gang Royal. Pada awal 2021, polisi mengungkap kasus perdagangan anak untuk prostitusi di sebuah apartemen di kawasan Jakarta Pusat. Kasus yang melibatkan 12 anak sebagai korban tersebut menjadi pemberitaan di media massa waktu itu. Pada awal 2023, polisi kembali mengungkap kasus prostitusi anak di apartemen tersebut.
Jika kita menyelisik pemberitaan di media massa, tak terhitung pengungkapan kasus prostitusi yang melibatkan anak-anak perempuan. Meski begitu, tak ada data pasti berapa jumlah anak-anak perempuan yang menjadi korban. Data yang ada, bahkan kasus-kasus yang terungkap, hanyalah fenomena puncak gunung es. Jika Unicef dalam laporan pada 1998 memperkirakan jumlah anak yang dilacurkan 40.000-70.000 anak (KPPPA, 2016), saat ini bisa lebih banyak lagi.
Dalam setiap pengungkapan kasus, biasanya polisi berhasil menangkap mucikari atau mereka yang menjadi perantara terjadinya prostitusi anak tersebut. Namun, sering kali pengungkapan tak sampai berhasil menggulung jaringan sindikat prostitusi anak. Karena itu, kasus prostitusi anak tak bisa dianggap sebagai kasus biasa, bahkan dapat dikatakan Indonesia sudah darurat prostitusi anak. Tanpa terobosan hukum, jaringan sindikat prostitusi anak tetap ”bebas” beraksi dan kasus demi kasus prostitusi anak akan terus terjadi.
Prostitusi anak tidak hanya melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Lebih dari itu, ini merupakan tindak pidana perdagangan orang yang melanggar hak asasi manusia. Ancaman hukuman dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga 15 tahun penjara dan denda Rp 120 juta-Rp 600 juta ditambah sepertiga jika dilakukan terhadap anak, nyatanya belum memberikan efek jera.
Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 mengenai Bentuk Pekerjaan Terburuk; Konvensi Hak-hak Anak; serta Protokol Operasional dari Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Tiga instrumen internasional ini secara keras melarang perdagangan dan perbudakan anak untuk tujuan apa pun termasuk prostitusi.
Masyarakat juga mempunyai tanggung jawab untuk menjaga lingkungan agar ramah terhadap anak. Keberadaan Kampung Terpadu Ramah Anak perlu dievaluasi dan dioptimalkan fungsinya. Selain kebutuhan fisik anak seperti tempat bermain, kebutuhan psikis dan kesejahteraan anak perlu pula mendapat perhatian. Apakah lingkungan masyarakat sudah mendukung untuk tumbuh kembang psikologis anak secara sehat pula?
Tidak ada anakku atau anakmu, yang ada anak-anak kita, yang harus kita lindungi dan kita jaga agar tumbuh dan berkembang dengan baik.