Menangkap dan Menghukum Putin
Mahkamah Kriminal Internasional memerintahkan penangkapan terhadap Putin yang melanggar Konvensi Geneva Tahun 1949 tentang Hukum Humaniter Internasional, khususnya perlindungan terhadap anak-anak. Namun, Rusia melawan.
Tanggal 17 Maret 2023, Presiden Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) Piotr Hofmanski, atas nama lembaga yang dipimpinnya, melayangkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin.
Dunia geger. Dunia tersentak. Pangkal soal adalah perilakunya pada 24 Februari 2022 tatkala Rusia merangsek masuk dan menginvasi Ukraina dengan cara kekerasan.
Dalam Statuta Roma Tahun 1998, ada empat jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Putin dianggap melakukan kejahatan perang.
Salah satu unsur kejahatan perang dalam Statuta Roma ini adalah melakukan deportasi dan transfer manusia secara melawan hukum dan orang-orang yang dipaksa ini berusia di bawah 18 tahun. Jaksa penuntut umum ICC, Karim Khan, dengan tegas mengatakan, ”Putin sebagai Presiden Rusia melakukan pendeportasian secara paksa terhadap anak-anak di bawah umur dan itu merupakan kejahatan besar.”
Hofmanski menegaskan, Putin jelas-jelas juga melakukan pelanggaran Konvensi Geneva Tahun 1949 tentang Hukum Humaniter Internasional, khususnya perlindungan terhadap anak-anak. Putin menerjang itu semua, kata Hofmanski.
Ada dua hal yang mengemuka dengan surat penangkapan ini. Pertama, pengadilan menunjukkan taring dan komitmennya untuk melindungi anak-anak sejagat. Kedua, pengadilan seolah mengaum, tak memandang siapa pun, termasuk Putin yang dinilai sangat perkasa, harus digiring mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Salah satu unsur kejahatan perang dalam Statuta Roma ini adalah melakukan deportasi dan transfer manusia secara melawan hukum dan orang-orang yang dipaksa ini berusia di bawah 18 tahun.
Debat hukum
Spontan Rusia menjawab surat pengadilan itu dengan cibiran. Medvedev, Wakil Kepala Dewan Keamanan Rusia, sekutu kental Putin dalam politik, langsung bereaksi dengan mengatakan, surat penangkapan itu hanya kertas toilet belaka. Presiden Putin tak bisa ditangkap hanya dengan perintah ICC karena Rusia tidak ikut sebagai pihak atau tidak pernah meratifikasi Statuta Roma 1998. Karena itu, Rusia tidak terikat.
Dalam prinsip hukum internasional, berlaku dalil pacta sunt servanda, semua pihak yang bertanda tangan dalam sebuah ikatan harus tunduk pada ikatan itu. Prinsip ini berlaku sebagai prinsip umum.
Satu hal yang terlupakan bagi mereka yang menganggap Putin tak bisa disentuh oleh pengadilan internasional hanya karena Rusia tak menandatangani Statuta Roma 1998 adalah Ukraina, lawan Rusia, yang menjadi korban keganasan Putin, adalah pihak dalam Statuta Roma 1998. Ukraina telah meratifikasi perjanjian ini.
Maka, segala kekejaman Rusia sejak 24 Februari 2022 hingga kini, yang berlangsung dalam yurisdiksi Ukraina yang menjadi pihak dalam konvensi Statuta Roma 1998, tetap harus dipertanggungjawabkan oleh Rusia. Karena kekejaman dan pelanggaran itu berlangsung di wilayah Ukraina yang menjadi pihak, maka instrumen hukum Statuta Roma 1998 wajib melindungi pihak Ukraina.
Bentuk perlindungannya adalah menghukum pihak-pihak yang melanggar segala hak Ukraina, seperti yang diatur dalam Statuta Roma 1998.
Penerapan hukum yang tertuang dalam Statuta Roma 1998 terhadap Putin yang dinilai menerjang hukum adalah mengikuti prinsip erga omnes, norma hukum yang berlaku kepada siapa saja, karena ini menyangkut prinsip kemanusiaan.
Orang atau pihak yang melakukan pelanggaran dalam wilayah kemanusiaan berlaku prinsip universal. Tak boleh ada orang atau pihak yang menerjang dan menyentak rasa kemanusiaan dan hati nurani manusia. Yang boleh bebas hanya karena ia bukan pihak pada sebuah instrumen hukum.
Preseden hukum yang bisa kita pakai untuk kasus ini ialah putusan Mahkamah Internasional tahun 1986, dalam kasus Nikaragua melawan Amerika Serikat. AS membela diri dengan mengatakan Nikaragua tak memiliki legal standing di mahkamah karena ia tak pernah meratifikasi piagam mahkamah. Mahkamah ketika itu menyalahkan penggunaan kekerasan yang dilakukan AS atas wilayah Nikaragua.
Mahkamah dengan tegas mengatakan, ”Walaupun Mahkamah Internasional tak dapat mengadili berdasarkan perjanjian internasional, mahkamah dapat mengadili berdasarkan kebiasaan internasional.”
Tak boleh ada orang atau pihak yang menerjang dan menyentak rasa kemanusiaan dan hati nurani manusia.
Slobodan Praljak, seorang jenderal Kroasia, dituntut sebagai penjahat perang yang melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perang Kroasia-Bosnia. Namun, saat diadili oleh Pengadilan Internasional untuk bekas Yugoslavia pada 2017, Slobodan minum racun dan meninggal.
Kasus berikutnya adalah Slobodan Milosevic, mantan Presiden Federasi Yugoslavia, yang diadili oleh Pengadilan Internasional untuk bekas Yugoslavia pada 1999 dengan tuntutan penjahat perang dan kejahatan kemanusiaan selama perang Kosovo. Sementara kasusnya bergulir, ia meninggal dalam tahanan Mahkamah Internasional karena serangan jantung.
Dalam kasus lebih klasik, Jenderal Yamashita, ahli perang Jepang selama Perang Dunia (PD) II, diadili oleh mahkamah khusus seusai perang. Ia dianggap bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat dan tentara negara-negara Asia Timur yang diduduki oleh Jepang. Ia dihukum gantung.
Kita juga pernah dikagetkan dengan pengadilan Israel yang mengadili Adolf Eichman, seorang kolonel tentara Nazi selama PD II. Ia diculik dari Argentina oleh agen rahasia Israel, lalu dibawa ke Israel. Ia dianggap bertanggung jawab atas pembantaian keturunan Yahudi dengan cara membunuh mereka dalam ruangan bergas dan beracun. Pengadilan Israel bisa membuktikan bahwa Eichman adalah penjahat perang dan melakukan kejahatan kemanusiaan selama PD II. Ia dihukum mati dan dieksekusi pada 1961.
Baca juga : Hakim Polandia Perintahkan Penangkapan Putin
Baca juga : Upaya Mencari Bukti Dugaan Kejahatan Perang Putin
Deretan fakta ini jelas menegaskan, tak boleh ada orang yang bebas dari hukum jika melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Cepat atau lambat, semuanya akan menghadapi pengadilan dan tuntutan keadilan.
Jaksa penuntut umum ICC yang menangani kasus Putin ini dengan tegas mengatakan, ”Untuk mereka yang merasa bisa melakukan kejahatan di siang hari dan tidur nyenyak di malam hari, mungkin mereka harus melihat sejarah kembali.” Sejarah tentang penegakan keadilan.
Hamid Awaludin, Duta Besar RI untuk Federasi Rusia 2008-2011; Mantan Menteri Hukum dan HAM