HPP dan Tantangan Pangan 2023
Tahun ini pangan pokok kita mengalami ancaman serius karena musim tanam dan panen pertama terancam curah hujan yang tinggi, banjir dan hama di sebagian wilayah. Pemerintah perlu segera ambil tindakan di luar kebiasaan.
Selama pemerintahan ini (2015-2022), produksi padi nasional turun 0,23 persen per tahun.
Produksi padi turun dari 56,27 juta ton gabah kering giling/GKG (2014) menjadi 54,75 juta ton GKG (2022). Produksi padi juga turun pada periode 2019-2022 dari 59,20 juta ton GKG (2018) menjadi 54,75 juta ton GKG (2022) atau setara 2,56 juta ton. Pada 2019 produksi padi menurun tajam 7,7 persen karena fenomena El Nino.
Tahun 2020-2022 Indonesia mengalami La Nina yang sangat menguntungkan untuk peningkatan produksi padi karena hujan sepanjang tahun. Sayangnya, kita tak mampu melakukan itu. Produksi hanya meningkat sedikit pada 2020 sebesar 0,09 persen, kemudian menurun 0,42 persen (2021) dan sedikit meningkat 0,61 persen pada 2022.
Sepanjang La Nina 2007-2008 dan 2010, produksi padi meningkat paling rendah di angka 4,80 persen (2007). Pada La Nina 2016 produksi padi bahkan melonjak di angka 9,67 persen. Mengapa sepanjang 2020-2022 produksi nyaris tak naik saat iklim sangat mendukung?
Baca juga : Presiden Minta Harga Gabah dan Beras Untungkan Semua Pihak
Baca juga : Petani dan Penetapan Harga Gabah/Beras
Pertama, anggapan karena fenomena La Nina dalam kategori sedang. Sepanjang Agustus 2007-Juli 2008, La Nina tergolong kuat (NOAA 2008), tetapi pada 2009 iklim kembali normal, lalu terjadi La Nina lagi di 2010. Peningkatan produksi tertinggi justru terjadi ketika iklim kembali normal di 2009, yaitu 6,59 persen. Saat iklim kemarau basah kembali lagi pada 2010, terjadi peningkatan produksi 5,15 persen. Dengan demikian, tidak benar bahwa pola La Nina yang berbeda menyebabkan hasil yang berbeda pada 2007-2010 dan 2020-2022.
Kedua, penurunan anggaran di Kementerian Pertanian dan subsidi pupuk. Anggaran Kementan turun tajam dari Rp 26,01 triliun/tahun (2015-2019) menjadi Rp 16,63 triliun/tahun (2020-2022). Subsidi pupuk juga turun dari Rp 34,31 triliun (2019) ke Rp 34,24 triliun (2020), Rp 29,06 triliun (2021) dan Rp 25,28 triliun (2022). Aspek ini kemungkinan memberikan andil cukup signifikan, apalagi sejak awal 2021 harga pupuk nonsubsidi melonjak 2-3 kali lipat.
Ketiga, dan tak pernah diamati para pengamat, adalah penurunan kesejahteraan petani. Hasil survei bulanan AB2TI di 46 kabupaten sentra produksi padi di 12 provinsi menunjukkan tren penurunan harga gabah kering panen (GKP) tiga tahun terakhir (Agustus 2019-Juni 2022). Harga GKP terus menurun dari Rp 5.160/kg menjadi Rp 3.938 pada Maret 2021, meski ada periode-periode tertentu naik. Harga GKP sedikit naik pada November 2021 dan terjun bebas pada bulan-bulan selanjutnya dan mencapai angka Rp 3.944 pada Juni 2022.
Ini terkonfirmasi dari nilai tukar petani (NTP) untuk tanaman pangan. Sepanjang 2021, rata-rata NTP hanya 98,21 dan 2022 hanya 98,82. Artinya, selama dua tahun terakhir harga komoditas padi dan palawija yang dijual petani lebih rendah dibandingkan harga barang dan jasa yang dibeli petani. Secara sederhana, kesejahteraan petani menurun.
Dengan penurunan pendapatan dan kesejahteraan, kemampuan petani mengakses input produksi, baik berupa sewa lahan, upah tenaga kerja, hingga pupuk dan pestisida, terbatas sehingga menurunkan kapasitas berproduksi. Terlebih lagi semua komponen usaha tani harganya naik dengan kisaran 25-35 persen. Ini tecermin dari kenaikan tajam biaya usaha tani dari Rp 4.523/kg GKP (2019) menjadi Rp 5.667 (2022). Biaya usaha tani padi ini dihitung dengan menggunakan luasan riil yang dikelola petani kecil di 30 kabupaten sentra produksi padi, bukan per hektar sebagaimana selama ini dilakukan.
Kisruh beras dan data
Penurunan produksi empat tahun terakhir akhirnya berdampak serius pada akhir 2022 sehingga harga beras di konsumen meningkat tajam. Harga di tingkat petani di sentra produksi mulai naik dari Rp 7.630/kg (Mei 2022) ke Rp 8.294/kg (Juni 2022). Kenaikan harga kemudian tak terbendung, menyebabkan pemerintah dan masyarakat panik.
Pada Desember 2022 diputuskan mengimpor beras 500.000 ton dengan data yang tak valid. Penetrasi pasar kemudian dilakukan dengan menggelontorkan beras 100.000 ton pada Januari 2023, tetapi tak berdampak sama sekali. Harga beras di tingkat petani justru naik dari Rp 10.169 ke Rp 11.086 (Survei Bulanan AB2T).
Berdasarkan angka tetap BPS (rilis 1 Maret 2023) produksi padi 2022 sebesar 54,75 juta ton GKG setara 31,54 juta ton beras dan naik 0,61 persen, meski jauh lebih rendah dari angka ramalan sebelumnya yang 2,31 persen (BPS 17/10/2022). Produksi 2022 tetap menghasilkan kelebihan 1,34 juta ton beras sehingga impor sebenarnya tak perlu.
Penurunan produksi empat tahun terakhir akhirnya berdampak serius pada akhir 2022 sehingga harga beras di konsumen meningkat tajam.
Sebelum data produksi padi ditangani sepenuhnya oleh BPS pada 2018, data produksi pada 2017 dan sebelumnya sangat buruk. Untuk 2014, data resmi yang dikeluarkan pemerintah 70,85 juta ton GKG, sementara dari citra satelit dan sumber lain hanya 56,27 juta ton GKG. Saat BPS mengeluarkan data produksi di 2018 berdasarkan metode Kerangka Sampel Area (KSA) sebesar 59,20 juta ton GKG, Kementan pada tahun yang sama mengeluarkan data produksi 83,04 juta ton GKG atau selisih 23,84 juta ton GKG.
Data kedua yang sangat penting dalam memutuskan kebijakan impor adalah data stok beras. Setiap tahun kelebihan atau penurunan produksi di tahun berjalan akan menjadi stok awal di tahun berikutnya. Sayangnya, kita tak memiliki data stok yang bisa jadi acuan bersama. Setiap institusi memiliki data stok berbeda-beda dan semua tak valid, padahal data itu digunakan untuk memutuskan kebijakan impor beras. Penulis menyarankan Badan Pangan Nasional dan/atau BPS menyurvei data stok tersebut dengan dilengkapi sarana, prasarana, dan anggaran yang memadai.
HPP dan pangan 2023
Pendapat bahwa kenaikan harga di konsumen tak dinikmati petani adalah salah. Pada periode Juli 2022-Februari 2023 harga beras berdasarkan situs PIHPS naik dari Rp 11.755 ke Rp 12.900 (9,7 persen). Harga GKP tingkat petani naik lebih tinggi dari Rp 4.783 ke Rp 5.956 (24,5 persen). Bahkan harga beras di tingkat petani dari Rp 8.521 ke Rp 11.086 (naik 30,1 persen) (Survei AB2TI 2022- 2023). Dengan demikian, harga di tingkat konsumen tertransmisi dengan sangat baik ke tingkat petani.
Ketika harga GKP di tingkat petani melonjak signifikan pada Juli 2022 dan mencapai puncak tertinggi sepanjang sejarah pada Januari 2023, petani kecil sangat senang, tecermin dari pembicaraan di berbagai komunitas dan jaringan tani. Kegembiraan itu hanya sesaat dengan masuknya musim panen yang menyebabkan harga gabah di tingkat usaha tani kembali jatuh. Penetapan batas bawah dan atas harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras justru memperburuk keadaan.
Instrumen HPP ternyata digunakan juga oleh pedagang sebagai acuan pembelian ketika produk melimpah. Berkaitan dengan ini, semua jaringan tani meminta pemerintah segera memutuskan HPP sehingga harga gabah dan beras di tingkat usaha tani bisa tertolong.
Organisasi tani yang memiliki jaringan besar di Indonesia, yaitu AB2TI, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Aliansi Petani Indonesia (API), kompak mengusulkan kenaikan HPP di kisaran Rp 5.400-Rp 5.800
Beberapa pihak berpendapat, kenaikan HPP gabah akan memicu kenaikan harga beras di tingkat konsumen yang kemudian berdampak balik ke petani kecil karena mereka juga konsumen beras sehingga akan meningkatkan kemiskinan di perdesaan. Pendapat ini sungguh amat bias dan menyakitkan sedulur tani yang selama ini harus bertahan dalam kerugian karena harga gabah dan beras yang teramat rendah.
Pendapat itu juga mengabaikan sosiologi masyarakat desa yang berbeda dengan perkotaan. Sistem sosial masyarakat desa diikat oleh gotong royong dan solidaritas yang kuat. Selama terjadi kontraksi ekonomi di perkotaan, ketahanan masyarakat di perdesaan jauh lebih kuat. Petani juga selalu menyimpan sebagian gabah/berasnya untuk kebutuhan sendiri sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen tak berdampak pada kehidupan mereka. Menurut survei AB2TI, 20-40 persen gabah/beras yang diproduksi disimpan untuk keperluan rumah tangga, dan sisanya dijual.
Masyarakat perkotaan dan serikat pekerjanya selalu menuntut kenaikan upah setiap tahun, sebaliknya petani padi hanya menderita dalam diam, tak pernah demo menuntut kenaikan harga produk mereka. Upaya berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat perkotaan menekan harga gabah/beras berdampak jauh lebih buruk: peningkatan kemiskinan di perdesaan, peralihan penguasaan lahan dari masyarakat desa ke pemodal, dan hancurnya kedaulatan pangan yang kita bangun bersama.
Masyarakat perkotaan dan serikat pekerjanya selalu menuntut kenaikan upah setiap tahun, sebaliknya petani padi hanya menderita dalam diam, tak pernah demo menuntut kenaikan harga produk mereka.
Wacana lain yang sering muncul adalah bahwa harga beras di tingkat konsumen di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia (berdasarkan paritas daya beli). Wacana ini juga salah besar dan sarat agenda tertentu. Berdasarkan nilai nominal, harga beras di Indonesia terendah ke-9 dari 107 negara (Numbeo, 2023). Harga beras di Indonesia rata- rata Rp 12.750/kg, lebih rendah dibandingkan Filipina (Rp 13.960), Vietnam (Rp 14.720), China (Rp 16.010), Malaysia (Rp 17.760), dan Thailand (Rp 18.360).
Tahun ini pangan pokok kita mengalami ancaman serius karena musim tanam dan panen pertama justru terancam oleh curah hujan yang tinggi, banjir dan hama di sebagian wilayah. Angka sementara BPS yang menyatakan produksi padi Januari-April 2023 lebih tinggi (23,94 juta ton GKG) dibandingkan 2022 (23,82 juta ton GKG) tak akan tercapai dan kemungkinan bahkan lebih rendah. Mulai akhir Maret hingga pertengahan Agustus, iklim akan mengarah normal, tetapi akhir Agustus akan memasuki El Nino atau iklim kemarau berkepanjangan. Dengan iklim seperti ini, penulis pastikan produksi padi 2023 akan turun dengan kisaran 5 persen.
Jawaban untuk mengatasi ini hanya satu: pemerintah segera mengambil tindakan di luar kebiasaan untuk menyelamatkan pangan kita dan berupaya keras memenuhi keinginan petani. Semoga slogan ”mari sejahterakan petani” bukan jargon dan omong kosong semata.
Dwi Andreas SantosaKepala Biotech Center IPB University, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan CORE Indonesia