Putusan Penundaan Pemilu, Kemandirian dan Kesesatan Hakim
Sekalipun kemandirian atau kebebasan hakim dilindungi UU, tampaknya hakim tak bisa benar-benar bebas dan mandiri dalam membuat putusan. Kalau kita tetap ingin hakim yang mandiri dalam membuat putusan, hakim harus bebas.
Baru-baru ini publik dikejutkan oleh adanya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Perkara No 757/ Pdt.G/2022/PN. Pst, yang memerintahkan KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024.
Tidak kurang Menko Polhukam Mahfud MD menyayangkan putusan yang dianggap sebagai sensasi berlebihan yang membuat gaduh karena Pengadilan Negeri (PN) tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara pemilu dan bahkan putusan itu bertentangan dengan konstitusi.
Menurut Mahfud, konstitusi telah menetapkan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sehingga tak bisa ditunda. Selain itu, PN juga tak berwenang untuk memeriksa perkara administrasi pemilu karena itu menjadi kewenangan Bawaslu; masalah proses pemilu (kewenangan peradilan tata usaha negara/peratun); dan masalah hasil pemilu (kewenangan Mahkamah Konstitusi/MK).
Oleh karena itu, Mahfud MD meminta KPU untuk segera banding ke Pengadilan Tinggi atas putusan tersebut.
Sementara Kepala Humas PN Jakarta Pusat menyatakan putusan pengadilan itu bukan penundaan pemilu, tetapi penundaan tahapan pemilu, dan mempersilakan untuk banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta jika tidak puas dengan putusan itu.
Pertanyaan kita kemudian, bagaimana sikap Pengadilan Tinggi nantinya menghadapi kasus ini setelah putusan ini dicerca dan diserang publik, bahkan oleh Mahfud MD selaku Menko Polhukam sebagai bagian dari pemerintah?
Bagi kami, putusan PN Jakarta Pusat dalam Perkara No 757/Pdt.G/2022/PN. Pst. ini menarik untuk dicermati karena terjadi konstelasi konflik antara kemandirian dan kesesatan hakim.
Baca juga : KPU Resmi Ajukan Banding Putusan Penundaan Pemilu PN Jakpus
Baca juga : Perkuat Memori Banding Putusan Penundaan Pemilu, KPU Serap Masukan Pakar
Kesesatan hakim
Terlalu berlebihan juga bila kita menyatakan PN tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini karena ini adalah perkara perdata perbuatan melawan hukum (PMH) di mana Partai Prima menggugat KPU yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan dirinya dalam penahapan pemilu.
Apa tidak boleh KPU digugat karena melanggar hukum yang merugikan orang lain secara keperdataan? Kami kira boleh dan hak setiap orang untuk membuktikan perbuatan dan kerugian itu di peradilan umum. Secara hukum, Partai Prima telah mengambil langkah hukum terkait dengan sengketa administrasi ke Bawaslu dan sengketa proses pemilu ke peratun.
Persoalannya kemudian adalah Partai Prima menggugat perbuatan melawan hukum (PMH), tetapi mendompleng permintaan penundaan tahapan pemilu yang merupakan bagian dari proses pemilu. Semestinya hakim sejak awal menerima eksepsi KPU yang menyatakan gugatan ini kabur dan tidak jelas antara posita PMH dengan petitum yang meminta proses pemilu ditunda.
Penundaan tahapan pemilu sama saja dengan penundaan pemilu yang bertentangan dengan konstitusi. Ketika kemudian hakim mengabulkan petitum penundaan tahapan pemilu, terjadilah apa yang kami sebut sebagai kesesatan berpikir hakim, bisa karena benar-benar disesati oleh kebodohan atau menjadi sesat karena dibeli atau dibayar.
Jika hakim benar-benar bodoh, asas ius curia novit di mana hakim dianggap tahu hukum, bisa saja menjadi mitos belaka. Bila hakim sesat karena hal yang lain, menjadi tugas Komisi Yudisial untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi etik kepada hakim yang sesat dan tidak profesional tersebut.
Hakim sesat akan menghasilkan putusan sesat dan putusan sesat selalu akan membuat gaduh. Kegaduhan yang membahayakan konstitusi memang harus dicegah dan dilawan. Hakim yang sesat dalam kasus ini adalah hakim yang gagal menyelami kesadaran kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Mereka gagal menyelami common basic idie falsafah bangsa dan tujuan dari peraturan perundang-undangan pemilu. Atau bisa saja hakim berani menjadi gagal karena tekanan uang dan kekuasaan yang tidak bisa mereka lawan.
Ujian bagi kemandirian hakim
Persyaratan mutlak atau condition sine qua non dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral atau tidak berpihak, kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Pasal 3 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, diwajibkan kepada hakim untuk selalu menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah hakim bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis.
Protes keras publik, termasuk oleh Menteri Polhukam, atas putusan penundaan tahapan pemilu dari PN Jakarta Pusat di atas dan permintaan KPU untuk segera banding ke pengadilan tinggi memunculkan problem sendiri dan merupakan ujian bagi kemandirian hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 di atas.
Sekalipun kemandirian atau kebebasan hakim dilindungi UU, tampaknya hakim tak bisa benar-benar bebas dan mandiri dalam membuat putusan.
Sekalipun kemandirian atau kebebasan hakim dilindungi UU, tampaknya hakim tak bisa benar-benar bebas dan mandiri dalam membuat putusan. Kemandirian atau kebebasan hakim tampaknya dari dulu hanya mitos belaka. Selain tak bisa bebas dari dirinya sendiri, ia juga tak bisa benar-benar bebas dari orang lain atau dari luar dirinya.
Dalam kasus ini, misalnya, hakim PN Jakarta Pusat bisa terjebak dalam petitum penundaan tahapan pemilu. Artinya. hakim tak bebas dari internal dirinya. Demikian juga, tak mungkin hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini nantinya akan benar-benar ”bebas” dalam membuat putusan untuk perkara semacam ini.
Presiden wajib turun tangan
Jelas sekali publik, bahkan ”pemerintah” melalui Menko Polhukam, secara tidak langsung sudah ”meminta” putusan itu dibatalkan oleh pengadilan tinggi. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan selalu menghormati putusan pengadilan dan tidak mau ikut campur tangan terhadap masalah hukum.
Menurut kami, dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan konstitusi seperti kasus ini, Presiden wajib turun tangan; tetapi untuk kasus-kasus lain apalagi kasus konflik kepentingan politik, pemerintah dilarang ikut campur. Bila itu ada, hal itu harus dicegah dan dilawan karena akan mengganggu kemandirian hakim.
Kalau kita tetap ingin hakim yang mandiri dalam membuat putusan, hakim harus bebas. Tak hanya bebas dari tekanan eksternal seperti uang dan kekuasaan, tetapi juga bebas dari tekanan internal seperti kebodohan dan kelemahan diri. Tekanan eksternal seperti uang dan kekuasaan karena hakim bisa disuap atau takut dengan penguasa, termasuk tekanan publik (public pressure).
Sementara tekanan internal bisa berasal dari kurangnya pemahaman atau profesionalisme dari hakim itu sendiri atau kelemahan diri yang tak kuat menghadapi tekanan. Hakim yang lemah akan menggoyahkan keyakinannya sendiri.
Hal ini penting karena hakim dalam membuat putusan selain mandiri juga harus yakin atas putusannya berdasarkan argumentasi yuridis yang jelas (laconviction raisonnee). Kemandirian dan keyakinan (conviction intime) dalam memutus sebuah perkara dari seorang hakim yang mandiri dan kuat serta pandai dapat menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara melalui tafsiran UU secara aktual, berani membentuk hukum dan berani melakukan contra legem dalam berbagai kasus secara kasuistik.
UU Kekuasaan Kehakiman telah melindungi kemandirian hakim dalam membuat putusan hukum. Oleh karena itu, publik harus tetap menghormati putusan hakim sekalipun itu sesat. Itu problem kita semua, khususnya dunia peradilan kita. Banyak cara melawan hakim sesat/putusan sesat dengan cara yang selain tak melanggar kemandirian hakim, juga tak melanggar hukum.
Amir SyamsudinMantan Menteri Hukum dan HAM RI