Media Massa di Antara Dua Pertaruhan
Buku karya Agus Sudibyo tentang bagaimana media massa menghadapi disrupsi digital mustahil diremehkan. Buku tersebut melibatkan dua pertaruhan penting. Pertama, terkait produk jurnalistik; kedua, terkait demokrasi.

Judul: Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Cetakan I, 2022
Tebal Buku : 273 halaman
ISBN : 978-602-481-934-7
ISBN Digital : 978-602-481-935-4
Buku Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital yang ditulis Agus Sudibyo mustahil untuk diremehkan. Sebab, buku tersebut melibatkan dua pertaruhan penting. Pertama pertaruhan yang sedang dihadapi media massa beserta produk pokok jurnalistiknya, yang selama dua dekade terakhir mengalami disrupsi digital. Kedua, pertaruhan pertama itu memunculkan pertaruhan berikutnya, bahwa nasib buruk yang dihadapi media masa akan membawa dampak buruk bagi demokrasi di Indonesia.
Kita mendiskusikan pertaruhan kedua di bagian akhir. Yang perlu kita dahulukan adalah ringkasan argumen Agus Sudibyo untuk pertaruhan yang pertama, dan menyimak jalan keluar yang ditawarkannya untuk mengatasi problem mutakhir yang dihadapi media massa.
Disrupsi digital memunculkan problem eksistensial pada bisnis media massa. Model lama bisnis yang mengandalkan iklan dan pelanggan sebagai sumber pendapatan utama tergerus drastis dengan kehadiran platform digital. Setelah menggambarkan situasi winner-takes-all-market di tingkat global pada Bab Pendahuluan, Agus Sudibyo mendeskripsikan proses dominasi platform digital yang terjadi di tingkat nasional.
Platform digital telah berkembang menjadi lembaga intermediary atau perantara dalam bisnis periklanan. Fungsi keperantaraan ini mencakup trading desk, DMP (data management platform), DSP (demand-side platform), ad exchange, dan SSP (supply-side platform). Semua ini adalah rangkaian perangkat lunak digital yang berfungsi untuk proses pengumpulan, pengorganisasian, dan analisis data audiens yang menjadi target iklan dari berbagai sumber – online dan offline. Fungsi-fungsi lain yang dijalankan perangkat lunak tersebut juga mencakup manajemen inventori iklan, otomasi pembelian dari sisi permintaan dan penawaran, serta proses lelang slot iklan secara real-time.
Disrupsi digital memunculkan problem eksistensial pada bisnis media massa.
Pemanfaatan setiap unit perangkat lunak tersebut memungut biaya pada setiap proses matching iklan. Namun distribusi keuntungannya sangat timpang. Katakanlah, sebuah perusahan mengeluarkan belanja seribu rupiah untuk iklannya. Dari seribu rupiah itu, sekitar 70 persennya diambil oleh perusahaan perangkat lunak digital tersebut, dan hanya sisanya sajalah yang diperuntukkan perusahaan media massa sang pemuat iklan.
Model baru bisnis yang dibawa teknologi digital itulah yang menjungkirkan model bisnis media massa konvensional karena salah satu kaki penting penopangnya digerogoti oleh perusahaan-perusahaan digital itu. Disrupsi itu menjadi sempurna ketika Google dan Facebook sebagai platform digital mampu mengintegrasikan semua fungsi itu yang menjadikannya sebagai perusahaan perantara periklanan yang sangat perkasa. Celakanya, disrupsi itu kini menjadi mode transaksi bisnis iklan yang kini telah mapan. Mode ini memang lebih menarik bagi perusahaan-perusahaan pemasang iklan karena lebih efisien, lebih presisi dalam membidik target iklan, dan lebih murah dibandingkan dengan mode lama pemasangan iklan yang langsung ke media massa.
Argumen Agus Sudibyo bergerak ke tingkat berikutnya, menyoroti dampak ikutan yang tidak kalah gawat, yakni menurunnya kualitas pemberitaan, yang prosesnya berlangsung dalam dua jalur.

infografik halaman 15 daya hidup pers nasional akibat disrupsi digital dan pandemi covid 19
Pertama, penurunan pendapatan yang diperoleh perusahaan media massa memaksa mereka memangkas pengeluaran untuk produksi berita. Sebagaimana kita tahu, berita yang berkualitas bertumpu pada proses verifikasi. Proses ini melibatkan banyak teknik untuk penggalian fakta, pengujian kebenaran faktual, pengutamaan orisinalitas, dan sejumlah segi lain lagi. Proses kerja jurnalistik itu memerlukan biaya. Namun, dengan menurunnya pendapatan media, maka proses-proses tersebut sering dipangkas dan berujung pada kualitas produk jurnalistik yang buruk.
Kedua, penurunan kualitas pemberitaan juga terjadi melalui jalur adaptasi yang dilakukan oleh para pengelola media massa terhadap mekanik dan logika baru yang dibawa platform digital. Praktiknya, bots dan algoritma platform digital mampu menciptakan engagement dengan audiens sekaligus menentukan proses diseminasi serta distribusi pemberitaan dari media. Pada akhirnya, otomasi dan algoritma itu mengubah pertimbangan dan pilihan-pilihan para wartawan dan pengelola media massa saat memroduksi berita. Alih-alih mengutamakan signifikansi sosial pemberitaan, mereka cendrung mengedepankan volume traffic atau klik agar bisa menangguk iklan programatik yang digawangi platform digital.
Apa yang bisa dilakukan oleh para wartawan dan para pengelola media massa dalam situasi baru sekarang?
Bab IV adalah bab yang paling kuat memberikan wawasan dan ilustrasi empirik. Bab ini mendeskripsikan aneka siasat para pengelola media di Indonesia untuk menghadapi disrupsi digital. Siasat itu merentang dari upaya pemaksimalan atau pencarian keseimbangan antara pemasaran langsung dan periklanan programatik, pengurangan ketergantungan terhadap platform digital, penciptaan ekosistem digital yang mandiri, sampai dengan penekanan pentingnya segmentasi audiens. Namun, dua pertanyaan pokok terasa tetap menggantung. Sejauh mana berbagai siasat tersebut mampu sekaligus meraih tujuan bisnis dan penjagaan mutu jurnalisme? Mana siasat paling mujarab agar media massa jurnalisme tetap awet?
Sejauh mana berbagai siasat tersebut mampu sekaligus meraih tujuan bisnis dan penjagaan mutu jurnalisme? Mana siasat paling mujarab agar media massa jurnalisme tetap awet?
Agus Sudibyo mendiskusikan dua alternatif lain untuk menyelesaikan kemelut disrupsi digital dalam dua bab berikutnya. Bab V secara khusus mendiskusikan inisiatif “ads for news”, yakni gerakan internasional yang mencoba menautkan perusahaan global agar bermitra iklan dengan media massa lokal yang kredibel. Sedangkan Bab VI membahas isu “bargaining code atau publisher right”. Gagasan dasarnya, para penerbit media harus memperjuangkan posisi tawarnya di hadapan platform digital. Sebab, relasi yang tidak adil perlu disuarakan dan ditangani. Sejauh ini platform digital tidak memasukkan beban biaya produksi berita yang berkualitas itu dalam kalkulasi iklan programatik.
Dari argumen yang disampaikan dalam bab-bab yang bernas itu, tampaknya ada empat isu yang sedikit terabaikan.
Pertama, praktik pengenaan pajak periklanan bagi para platform digital raksasa yang penggunaannya khusus ditujukan untuk menghidupi jurnalisme yang berkualitas bisa menjadi piliha tambahan. Upaya ini menggema di beberapa negara maju, seperti di Skandinavia dan Australia.
Kedua, diskusi tentang bisnis media jauh lebih banyak pada sisi periklanan, sementara sisi pelanggan yang bisa menjadi sumber pendapatan media kurang didiskusikan. Agar adil, buku tersebut memang mendiskusikan serba sedikit agar pengelola media berani menarik biaya langganan dengan menjajakan berita berkualitas. Tetapi, yang belum diukur adalah besar pangsa pasar yang mampu menopangnya. The New York Times berhasil menjaga kualitas pemberitaan dan editorialnya, dan di saat yang sama harian itu relatif sukses menjangkau pelanggan dari pasar global.
Ketiga, buku ini memfokuskan perhatian pada media massa di tengah memudarnya mode komunikasi yang bersifat masif dan tren semakin terpecahnya audiens. Audiens nasional kini memudar digantikan dengan kelompok-kelompok audiens kecil yang memiliki perhatian yang beragam. Media massa mulai tergantikan oleh media akar rumput, sebagaimana broadcasting pun mulai tergantikan dengan narrowcasting. Jika demikian, upaya membangkitkan kembali media massa mungkin terasa sebagai sebuah langkah anakronistik – berlawanan dengan perubahan jaman.

Suasana Konvensi Nasional Media Massa: Peluang di Tahun Menantang pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Medan, Sumatera Utara, Rabu (8/2/2023).
Keempat, ada bagian yang terasa terlepas dari keseluruhan bab-bab buku, yakni Bab II. Bab ini berbicara tentang anomali pertumbuhan jumlah media di era disrupsi. Data yang disajikan Agus Sudibyo riil tentang pertumbuhan jumlah itu. Tetapi pertumbuhan itu diterangkan dalam kerangka kemunculan berbagai pers daerah yang bersandar pada iklan-iklan politik dan diseminasi kebijakan pemerintahan daerah. Pertumbuhan ini sesungguhnya lebih banyak bertaut dengan siklus politik di daerah-daerah ketimbang disrupsi digital.
Isu terakhir tersebut membawa kita pada diskusi tentang pertaruhan kedua, yang disebut di bagian awal dan sengaja kita tunda diskusinya. Bahwa jurnalisme yang berkualitas sangatlah penting bagi keberlangsungan demokrasi – khususnya di Indonesia. Dia membantu pemilih untuk membuat keputusan memilih secara tepat dan berkualitas. Jurnalisme yang bagus juga membantu pembentukan opini publik yang berbasis informasi ketimbang emosi. Produk jurnalistik yang baik juga bisa meningkatkan legitimasi pemerintah. Pertanyaannya, apakah jurnalisme memang hanya bisa terwadahi oleh media massa – atau bahkan terbatas hanya diwadahi media massa yang telah diverifikasi Dewan Pers saja sementara media pemberitaan online di luarnya begitu berjubel?
Apa pun jawaban kita terhadap pertanyaan terakhir itu, buku yang ditulis Agus Sudibyo ini adalah gerbang untuk diskusi-diskusi lanjutan yang bernas tentang jurnalisme di Indonesia.
KUSKRIDHO AMBARDI, dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Gadjah Mada.

Kuskridho Ambardi